Kerajaan Majapahit di Indonesia
Majapahit adalah sebuah
kerajaan yang berpusat di Jawa Timur, Indonesia, yang pernah berdiri dari
sekitar tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya
menjadi kemaharajaan raya yang menguasai wilayah yang luas di Nusantara pada
masa kekuasaan Hayam Wuruk, yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389. Kerajaan
Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Nusantara dan
dianggap sebagai salah satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia.[2]
Menurut Negarakertagama, kekuasaannya terbentang di Jawa, Sumatra, Semenanjung
Malaya, Kalimantan, hingga Indonesia timur, meskipun wilayah kekuasaannya masih
diperdebatkan.
Hanya terdapat sedikit
bukti fisik dari sisa-sisa Kerajaan Majapahit,[4] dan sejarahnya tidak jelas.
Sumber utama yang digunakan oleh para sejarawan adalah Pararaton ('Kitab
Raja-raja') dalam bahasa Kawi dan Nagarakretagama dalam bahasa Jawa Kuno.
Pararaton terutama menceritakan Ken Arok (pendiri Kerajaan Singhasari) namun
juga memuat beberapa bagian pendek mengenai terbentuknya Majapahit. Sementara
itu, Nagarakertagama merupakan puisi Jawa Kuno yang ditulis pada masa keemasan
Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk. Kakawin Nagarakretagama pada tahun
2008 diakui sebagai bagian dalam Daftar Ingatan Dunia (Memory of the World
Programme) oleh UNESCO. Setelah masa itu, hal yang terjadi tidaklah jelas.
Selain itu, terdapat beberapa prasasti dalam bahasa Jawa Kuno maupun catatan
sejarah dari Tiongkok dan negara-negara lain.
Historiografi
Keakuratan semua naskah
berbahasa Jawa tersebut dipertentangkan. Tidak dapat disangkal bahwa
sumber-sumber itu memuat unsur non-historis dan mitos. Beberapa sarjana seperti
C.C. Berg menganggap semua naskah tersebut bukan catatan masa lalu, tetapi memiliki
arti supernatural dalam hal dapat mengetahui masa depan.[10] Namun, banyak pula
sarjana yang beranggapan bahwa garis besar sumber-sumber tersebut dapat
diterima karena sejalan dengan catatan sejarah dari Tiongkok, khususnya daftar
penguasa dan keadaan kerajaan yang tampak cukup pasti.[5] Tahun 2010 sekelompok
pengusaha Jepang dipimpin Takajo Yoshiaki membiayai pembuatan kapal Majapahit
atau Spirit Majapahit yang akan berlayar ke Asia. Menurut Takajo, hal ini
dilakukan untuk mengenang kerjasama Majapahit dan Kerajaan Jepang melawan
Kerajaan China (Mongol) dalam perang di Samudera Pasifik.[11] Menurut Guru
Besar Arkeologi Asia Tenggara National University of Singapore John N. Miksic
jangkauan kekuasaan Majapahit meliputi Sumatera dan Singapura bahkan Thailand
yang dibuktikan dengan pengaruh kebudayaan, corak bangunan, candi, patung dan
seni.[12] Bahkan ada perguruan silat bernama Kali Majapahit yang berasal dari
Filipina dengan anggotanya dari Asia dan Amerika. Silat Kali Majapahit ini
mengklaim berakar dari Kerajaan Majapahit kuno yang disebut menguasai Filipina,
Singapura, Malaysia dan Selatan Thailand.
SEJARAH
Bedirinya
Majapahit
Sebelum
berdirinya Majapahit, Singhasari telah menjadi kerajaan paling kuat di Jawa.
Hal ini menjadi perhatian Kubilai Khan, penguasa Dinasti Yuan di Tiongkok. Ia
mengirim utusan yang bernama Meng Chi[14] ke Singhasari yang menuntut upeti.
Kertanagara, penguasa kerajaan Singhasari yang terakhir menolak untuk membayar
upeti dan mempermalukan utusan tersebut dengan merusak wajahnya dan memotong
telinganya.[14][15] Kubilai Khan marah dan lalu memberangkatkan ekspedisi besar
ke Jawa tahun 1293.
Ketika itu,
Jayakatwang, adipati Kediri, sudah menggulingkan dan membunuh Kertanegara. Atas
saran Aria Wiraraja, Jayakatwang memberikan pengampunan kepada Raden Wijaya,
menantu Kertanegara, yang datang menyerahkan diri. Kemudian, Wiraraja mengirim
utusan ke Daha, yang membawa surat berisi pernyataan, Raden Wijaya menyerah dan
ingin mengabdi kepada Jayakatwang.[16] Jawaban dari surat di atas disambut
dengan senang hati.[16] Raden Wijaya kemudian diberi hutan Tarik. Ia membuka
hutan itu dan membangun desa baru. Desa itu dinamai Majapahit, yang namanya
diambil dari buah maja, dan rasa "pahit" dari buah tersebut. Ketika
pasukan Mongol tiba, Wijaya bersekutu dengan pasukan Mongol untuk bertempur
melawan Jayakatwang. Setelah berhasil menjatuhkan Jayakatwang, Raden Wijaya
berbalik menyerang sekutu Mongolnya sehingga memaksa mereka menarik pulang
kembali pasukannya secara kalang-kabut karena mereka berada di negeri
asing.[17][18] Saat itu juga merupakan kesempatan terakhir mereka untuk
menangkap angin muson agar dapat pulang, atau mereka terpaksa harus menunggu
enam bulan lagi di pulau yang asing.
Tanggal pasti yang
digunakan sebagai tanggal kelahiran kerajaan Majapahit adalah hari penobatan
Raden Wijaya sebagai raja, yaitu tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 saka yang
bertepatan dengan tanggal 10 November 1293. Ia dinobatkan dengan nama resmi
Kertarajasa Jayawardhana. Kerajaan ini menghadapi masalah. Beberapa orang
terpercaya Kertarajasa, termasuk Ranggalawe, Sora, dan Nambi memberontak
melawannya, meskipun pemberontakan tersebut tidak berhasil. Pemberontakan
Ranggalawe ini didukung oleh Panji Mahajaya, Ra Arya Sidi, Ra Jaran Waha, Ra
Lintang, Ra Tosan, Ra Gelatik, dan Ra Tati. Semua ini tersebut disebutkan dalam
Pararaton.[19] Slamet Muljana menduga bahwa mahapatih Halayudha lah yang
melakukan konspirasi untuk menjatuhkan semua orang tepercaya raja, agar ia
dapat mencapai posisi tertinggi dalam pemerintahan. Namun setelah kematian
pemberontak terakhir (Kuti), Halayudha ditangkap dan dipenjara, dan lalu
dihukum mati.[18] Wijaya meninggal dunia pada tahun 1309.
Putra dan penerus Wijaya adalah Jayanegara.
Pararaton menyebutnya Kala Gemet, yang berarti "penjahat lemah".
Kira-kira pada suatu waktu dalam kurun pemerintahan Jayanegara, seorang pendeta
Italia, Odorico da Pordenone mengunjungi keraton Majapahit di Jawa. Pada tahun
1328, Jayanegara dibunuh oleh tabibnya, Tanca. Ibu tirinya yaitu Gayatri
Rajapatni seharusnya menggantikannya, akan tetapi Rajapatni memilih
mengundurkan diri dari istana dan menjadi bhiksuni. Rajapatni menunjuk anak
perempuannya Tribhuwana Wijayatunggadewi untuk menjadi ratu Majapahit. Pada
tahun 1336, Tribhuwana menunjuk Gajah Mada sebagai Mahapatih, pada saat
pelantikannya Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa yang menunjukkan rencananya
untuk melebarkan kekuasaan Majapahit dan membangun sebuah kemaharajaan. Selama
kekuasaan Tribhuwana, kerajaan Majapahit berkembang menjadi lebih besar dan
terkenal di kepulauan Nusantara. Tribhuwana berkuasa di Majapahit sampai
kematian ibunya pada tahun 1350. Ia diteruskan oleh putranya, Hayam Wuruk.
Kejayaan Majapahit
Sesudah mencapai
puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit berangsur-angsur melemah.
Setelah wafatnya Hayam Wuruk pada tahun 1389, Majapahit memasuki masa
kemunduran akibat konflik perebutan takhta. Pewaris Hayam Wuruk adalah putri
mahkota Kusumawardhani, yang menikahi sepupunya sendiri, pangeran
Wikramawardhana. Hayam Wuruk juga memiliki seorang putra dari selirnya
Wirabhumi yang juga menuntut haknya atas takhta.[5] Perang saudara yang disebut
Perang Paregreg diperkirakan terjadi pada tahun 1405-1406, antara Wirabhumi
melawan Wikramawardhana. Perang ini akhirnya dimenangi Wikramawardhana,
semetara Wirabhumi ditangkap dan kemudian dipancung. Tampaknya perang saudara
ini melemahkan kendali Majapahit atas daerah-daerah taklukannya di seberang.
Pada kurun pemerintahan
Wikramawardhana, serangkaian ekspedisi laut Dinasti Ming yang dipimpin oleh
laksamana Cheng Ho, seorang jenderal muslim China, tiba di Jawa beberapa kali
antara kurun waktu 1405 sampai 1433. Sejak tahun 1430 ekspedisi Cheng Ho ini telah
menciptakan komunitas muslim China dan Arab di beberapa kota pelabuhan pantai
utara Jawa, seperti di Semarang, Demak, Tuban, dan Ampel; maka Islam pun mulai
memiliki pijakan di pantai utara Jawa.[26]
Wikramawardhana
memerintah hingga tahun 1426, dan diteruskan oleh putrinya, Ratu Suhita, yang
memerintah pada tahun 1426 sampai 1447. Ia adalah putri kedua Wikramawardhana
dari seorang selir yang juga putri kedua Wirabhumi. Pada 1447, Suhita mangkat
dan pemerintahan dilanjutkan oleh Kertawijaya, adik laki-lakinya. Ia memerintah
hingga tahun 1451. Setelah Kertawijaya wafat, Bhre Pamotan menjadi raja dengan
gelar Rajasawardhana dan memerintah di Kahuripan. Ia wafat pada tahun 1453 AD.
Terjadi jeda waktu tiga tahun tanpa raja akibat krisis pewarisan takhta. Girisawardhana,
putra Kertawijaya, naik takhta pada 1456. Ia kemudian wafat pada 1466 dan
digantikan oleh Singhawikramawardhana. Pada 1468 pangeran Kertabhumi
memberontak terhadap Singhawikramawardhana dan mengangkat dirinya sebagai raja
Majapahit.[9]
Ketika Majapahit
didirikan, pedagang Muslim dan para penyebar agama sudah mulai memasuki
Nusantara. Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di
seluruh Nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan
perdagangan baru yang berdasarkan Islam, yaitu Kesultanan Malaka, mulai muncul
di bagian barat Nusantara.[27] Di bagian barat kemaharajaan yang mulai runtuh
ini, Majapahit tak kuasa lagi membendung kebangkitan Kesultanan Malaka yang
pada pertengahan abad ke-15 mulai menguasai Selat Malaka dan melebarkan
kekuasaannya ke Sumatera. Sementara itu beberapa jajahan dan daerah taklukan
Majapahit di daerah lainnya di Nusantara, satu per satu mulai melepaskan diri
dari kekuasaan Majapahit. Sebuah tampilan model kapal Majapahit di Museum
Negara Malaysia, Kuala Lumpur, Malaysia.
Singhawikramawardhana
memindahkan ibu kota kerajaan lebih jauh ke pedalaman di Daha (bekas ibu kota
Kerajaan Kediri) dan terus memerintah di sana hingga digantikan oleh putranya
Ranawijaya pada tahun 1474. Pada 1478 Ranawijaya mengalahkan Kertabhumi dan
mempersatukan kembali Majapahit menjadi satu kerajaan. Ranawijaya memerintah
pada kurun waktu 1474 hingga 1519 dengan gelar Girindrawardhana. Meskipun
demikian kekuatan Majapahit telah melemah akibat konflik dinasti ini dan mulai
bangkitnya kekuatan kerajaan-kerajaan Islam di pantai utara Jawa. Waktu
berakhirnya Kemaharajaan Majapahit berkisar pada kurun waktu tahun 1478 (tahun
1400 saka, berakhirnya abad dianggap sebagai waktu lazim pergantian dinasti dan
berakhirnya suatu pemerintahan[28]) hingga tahun 1527.
Dalam tradisi Jawa ada
sebuah kronogram atau candrasengkala yang berbunyi sirna ilang kretaning bumi.
Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai
0041, yaitu tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah “sirna
hilanglah kemakmuran bumi”. Namun yang sebenarnya digambarkan oleh
candrasengkala tersebut adalah gugurnya Bhre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit,
oleh Girindrawardhana.[29] Menurut prasasti Jiyu dan Petak, Ranawijaya mengaku
bahwa ia telah mengalahkan Kertabhumi [29] dan memindahkan ibu kota ke Daha
(Kediri). Peristiwa ini memicu perang antara Daha dengan Kesultanan Demak,
karena penguasa Demak adalah keturunan Kertabhumi. Peperangan ini dimenangi
Demak pada tahun 1527.[30] Sejumlah besar abdi istana, seniman, pendeta, dan
anggota keluarga kerajaan mengungsi ke pulau Bali. Pengungsian ini kemungkinan
besar untuk menghindari pembalasan dan hukuman dari Demak akibat selama ini
mereka mendukung Ranawijaya melawan Kertabhumi.
Dengan jatuhnya Daha
yang dihancurkan oleh Demak pada tahun 1527, kekuatan kerajaan Islam pada awal
abad ke-16 akhirnya mengalahkan sisa kerajaan Majapahit.[31] Demak dibawah
pemerintahan Raden (kemudian menjadi Sultan) Patah (Fatah), diakui sebagai
penerus kerajaan Majapahit. Menurut Babad Tanah Jawi dan tradisi Demak,
legitimasi Raden Patah karena ia adalah putra raja Majapahit Brawijaya V dengan
seorang putri China. Catatan sejarah dari Tiongkok, Portugis (Tome Pires), dan
Italia (Pigafetta) mengindikasikan bahwa telah terjadi perpindahan kekuasaan
Majapahit dari tangan penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus, penguasa dari
Kesultanan Demak, antara tahun 1518 dan 1521 M.[29] Demak memastikan posisinya
sebagai kekuatan regional dan menjadi kerajaan Islam pertama yang berdiri di
tanah Jawa. Saat itu setelah keruntuhan Majapahit, sisa kerajaan Hindu yang
masih bertahan di Jawa hanya tinggal kerajaan Blambangan di ujung timur, serta
Kerajaan Sunda yang beribukota di Pajajaran di bagian barat. Perlahan-lahan
Islam mulai menyebar seiring mundurnya masyarakat Hindu ke pegunungan dan ke
Bali. Beberapa kantung masyarakat Hindu Tengger hingga kini masih bertahan di
pegunungan Tengger, kawasan Bromo dan Semeru.
Jatuhnya
Majapahit
Sesudah
mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit berangsur-angsur
melemah. Setelah wafatnya Hayam Wuruk pada tahun 1389, Majapahit memasuki masa
kemunduran akibat konflik perebutan takhta. Pewaris Hayam Wuruk adalah putri
mahkota Kusumawardhani, yang menikahi sepupunya sendiri, pangeran
Wikramawardhana. Hayam Wuruk juga memiliki seorang putra dari selirnya
Wirabhumi yang juga menuntut haknya atas takhta.[5] Perang saudara yang disebut
Perang Paregreg diperkirakan terjadi pada tahun 1405-1406, antara Wirabhumi
melawan Wikramawardhana. Perang ini akhirnya dimenangi Wikramawardhana,
semetara Wirabhumi ditangkap dan kemudian dipancung. Tampaknya perang saudara
ini melemahkan kendali Majapahit atas daerah-daerah taklukannya di seberang.
Pada kurun pemerintahan
Wikramawardhana, serangkaian ekspedisi laut Dinasti Ming yang dipimpin oleh
laksamana Cheng Ho, seorang jenderal muslim China, tiba di Jawa beberapa kali
antara kurun waktu 1405 sampai 1433. Sejak tahun 1430 ekspedisi Cheng Ho ini
telah menciptakan komunitas muslim China dan Arab di beberapa kota pelabuhan
pantai utara Jawa, seperti di Semarang, Demak, Tuban, dan Ampel; maka Islam pun
mulai memiliki pijakan di pantai utara Jawa.[26]
Wikramawardhana
memerintah hingga tahun 1426, dan diteruskan oleh putrinya, Ratu Suhita, yang
memerintah pada tahun 1426 sampai 1447. Ia adalah putri kedua Wikramawardhana
dari seorang selir yang juga putri kedua Wirabhumi. Pada 1447, Suhita mangkat
dan pemerintahan dilanjutkan oleh Kertawijaya, adik laki-lakinya. Ia memerintah
hingga tahun 1451. Setelah Kertawijaya wafat, Bhre Pamotan menjadi raja dengan
gelar Rajasawardhana dan memerintah di Kahuripan. Ia wafat pada tahun 1453 AD.
Terjadi jeda waktu tiga tahun tanpa raja akibat krisis pewarisan takhta.
Girisawardhana, putra Kertawijaya, naik takhta pada 1456. Ia kemudian wafat
pada 1466 dan digantikan oleh Singhawikramawardhana. Pada 1468 pangeran
Kertabhumi memberontak terhadap Singhawikramawardhana dan mengangkat dirinya
sebagai raja Majapahit.[9]
Ketika Majapahit
didirikan, pedagang Muslim dan para penyebar agama sudah mulai memasuki
Nusantara. Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di
seluruh Nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan perdagangan
baru yang berdasarkan Islam, yaitu Kesultanan Malaka, mulai muncul di bagian
barat Nusantara.[27] Di bagian barat kemaharajaan yang mulai runtuh ini,
Majapahit tak kuasa lagi membendung kebangkitan Kesultanan Malaka yang pada
pertengahan abad ke-15 mulai menguasai Selat Malaka dan melebarkan kekuasaannya
ke Sumatera. Sementara itu beberapa jajahan dan daerah taklukan Majapahit di
daerah lainnya di Nusantara, satu per satu mulai melepaskan diri dari kekuasaan
Majapahit.
Singhawikramawardhana
memindahkan ibu kota kerajaan lebih jauh ke pedalaman di Daha (bekas ibu kota
Kerajaan Kediri) dan terus memerintah di sana hingga digantikan oleh putranya
Ranawijaya pada tahun 1474. Pada 1478 Ranawijaya mengalahkan Kertabhumi dan
mempersatukan kembali Majapahit menjadi satu kerajaan. Ranawijaya memerintah
pada kurun waktu 1474 hingga 1519 dengan gelar Girindrawardhana. Meskipun
demikian kekuatan Majapahit telah melemah akibat konflik dinasti ini dan mulai
bangkitnya kekuatan kerajaan-kerajaan Islam di pantai utara Jawa. Waktu
berakhirnya Kemaharajaan Majapahit berkisar pada kurun waktu tahun 1478 (tahun
1400 saka, berakhirnya abad dianggap sebagai waktu lazim pergantian dinasti dan
berakhirnya suatu pemerintahan[28]) hingga tahun 1527.
Dalam tradisi Jawa ada
sebuah kronogram atau candrasengkala yang berbunyi sirna ilang kretaning bumi.
Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai
0041, yaitu tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah “sirna
hilanglah kemakmuran bumi”. Namun yang sebenarnya digambarkan oleh
candrasengkala tersebut adalah gugurnya Bhre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit,
oleh Girindrawardhana.[29] Menurut prasasti Jiyu dan Petak, Ranawijaya mengaku
bahwa ia telah mengalahkan Kertabhumi [29] dan memindahkan ibu kota ke Daha
(Kediri). Peristiwa ini memicu perang antara Daha dengan Kesultanan Demak,
karena penguasa Demak adalah keturunan Kertabhumi. Peperangan ini dimenangi
Demak pada tahun 1527.[30] Sejumlah besar abdi istana, seniman, pendeta, dan
anggota keluarga kerajaan mengungsi ke pulau Bali. Pengungsian ini kemungkinan
besar untuk menghindari pembalasan dan hukuman dari Demak akibat selama ini
mereka mendukung Ranawijaya melawan Kertabhumi.
Dengan jatuhnya Daha
yang dihancurkan oleh Demak pada tahun 1527, kekuatan kerajaan Islam pada awal
abad ke-16 akhirnya mengalahkan sisa kerajaan Majapahit.[31] Demak dibawah
pemerintahan Raden (kemudian menjadi Sultan) Patah (Fatah), diakui sebagai
penerus kerajaan Majapahit. Menurut Babad Tanah Jawi dan tradisi Demak,
legitimasi Raden Patah karena ia adalah putra raja Majapahit Brawijaya V dengan
seorang putri China. Catatan sejarah dari Tiongkok, Portugis (Tome Pires), dan
Italia (Pigafetta) mengindikasikan bahwa telah terjadi perpindahan kekuasaan
Majapahit dari tangan penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus, penguasa dari
Kesultanan Demak, antara tahun 1518 dan 1521 M.[29] Demak memastikan posisinya
sebagai kekuatan regional dan menjadi kerajaan Islam pertama yang berdiri di
tanah Jawa. Saat itu setelah keruntuhan Majapahit, sisa kerajaan Hindu yang
masih bertahan di Jawa hanya tinggal kerajaan Blambangan di ujung timur, serta
Kerajaan Sunda yang beribukota di Pajajaran di bagian barat. Perlahan-lahan
Islam mulai menyebar seiring mundurnya masyarakat Hindu ke pegunungan dan ke
Bali. Beberapa kantung masyarakat Hindu Tengger hingga kini masih bertahan di
pegunungan Tengger, kawasan Bromo dan Semeru.
Kebudayaan
Nagarakretagama menyebutkan budaya keraton
yang adiluhung dan anggun, dengan cita rasa seni dan sastra yang halus, serta
sistem ritual keagamaan yang rumit. Peristiwa utama dalam kalender tata negara
digelar tiap hari pertama bulan Caitra (Maret-April) ketika semua utusan dari
semua wilayah taklukan Majapahit datang ke istana untuk membayar upeti atau
pajak. Kawasan Majapahit secara sederhana terbagi dalam tiga jenis: keraton
termasuk kawasan ibu kota dan sekitarnya; wilayah-wilayah di Jawa Timur dan
Bali yang secara langsung dikepalai oleh pejabat yang ditunjuk langsung oleh
raja; serta wilayah-wilayah taklukan di kepulauan Nusantara yang menikmati
otonomi luas.[32]
Ibu kota Majapahit di Trowulan merupakan kota besar
dan terkenal dengan perayaan besar keagamaan yang diselenggarakan setiap tahun.
Agama Buddha, Siwa, dan Waisnawa (pemuja Wisnu) dipeluk oleh penduduk
Majapahit, dan raja dianggap sekaligus titisan Buddha, Siwa, maupun Wisnu.
Nagarakertagama sama sekali tidak menyinggung tentang Islam, akan tetapi sangat
mungkin terdapat beberapa pegawai atau abdi istana muslim saat itu.[2]
Walaupun batu bata telah digunakan dalam candi pada
masa sebelumnya, arsitek Majapahitlah yang paling ahli menggunakannya.[33]
Candi-candi Majapahit berkualitas baik secara geometris dengan memanfaatkan
getah tumbuhan merambat dan gula merah sebagai perekat batu bata. Contoh candi
Majapahit yang masih dapat ditemui sekarang adalah Candi Tikus dan Gapura
Bajang Ratu di Trowulan, Mojokerto. Beberapa elemen arsitektur berasal dari
masa Majapahit, antara lain gerbang terbelah candi bentar, gapura paduraksa
(kori agung) beratap tinggi, dan pendopo berdasar struktur bata. Gaya bangunan
seperti ini masih dapat ditemukan dalam arsitektur Jawa dan Bali.
Catatan yang berasal dari sumber Italia mengenai
Jawa pada era Majapahit didapatkan dari catatan perjalanan Mattiussi, seorang
pendeta Ordo Fransiskan dalam bukunya: "Perjalanan Pendeta Odorico da
Pordenone". Ia mengunjungi beberapa tempat di Nusantara: Sumatera, Jawa,
dan Banjarmasin di Kalimantan. Ia dikirim Paus untuk menjalankan misi Katolik
di Asia Tengah. Pada 1318 ia berangkat dari Padua, menyeberangi Laut Hitam dan
menembus Persia, terus hingga mencapai Kolkata, Madras, dan Srilanka. Lalu menuju
kepulauan Nikobar hingga mencapai Sumatera, lalu mengunjungi Jawa dan
Banjarmasin. Ia kembali ke Italia melalui jalan darat lewat Vietnam, China,
terus mengikuti Jalur Sutra menuju Eropa pada 1330.
Di buku ini ia menyebut kunjungannya di Jawa tanpa
menjelaskan lebih rinci nama tempat yang ia kunjungi. Disebutkan raja Jawa
menguasai tujuh raja bawahan. Disebutkan juga di pulau ini terdapat banyak
cengkeh, kemukus, pala, dan berbagai rempah-rempah lainnya. Ia menyebutkan
istana raja Jawa sangat mewah dan mengagumkan, penuh bersepuh emas dan perak.
Ia juga menyebutkan raja Mongol beberapa kali berusaha menyerang Jawa, tetapi
selalu gagal dan berhasil diusir kembali. Kerajaan Jawa yang disebutkan di sini
tak lain adalah Majapahit yang dikunjungi pada suatu waktu dalam kurun
1318-1330 pada masa pemerintahan Jayanegara.
EKONOMI
Majapahit merupakan
negara agraris dan sekaligus negara perdagangan.[21] Pajak dan denda dibayarkan
dalam uang tunai. Ekonomi Jawa telah sebagian mengenal mata uang sejak abad
ke-8 pada masa kerajaan Medang yang menggunakan butiran dan keping uang emas
dan perak. Sekitar tahun 1300, pada masa pemerintahan raja pertama Majapahit,
sebuah perubahan moneter penting terjadi: keping uang dalam negeri diganti
dengan uang "kepeng" yaitu keping uang tembaga impor dari China. Pada
November 2008 sekitar 10.388 keping koin China kuno seberat sekitar 40 kilogram
digali dari halaman belakang seorang penduduk di Sidoarjo. Badan Pelestarian
Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur memastikan bahwa koin tersebut berasal
dari era Majapahit.[35] Alasan penggunaan uang logam atau koin asing ini tidak
disebutkan dalam catatan sejarah, akan tetapi kebanyakan ahli menduga bahwa
dengan semakin kompleksnya ekonomi Jawa, maka diperlukan uang pecahan kecil
atau uang receh dalam sistem mata uang Majapahit agar dapat digunakan dalam
aktivitas ekonomi sehari-hari di pasar Majapahit. Peran ini tidak cocok dan
tidak dapat dipenuhi oleh uang emas dan perak yang mahal.[32]
Beberapa gambaran mengenai skala ekonomi dalam
negeri Jawa saat itu dikumpulkan dari berbagai data dan prasasti. Prasasti
Canggu yang berangka tahun 1358 menyebutkan sebanyak 78 titik perlintasan
berupa tempat perahu penyeberangan di dalam negeri (mandala Jawa).[32] Prasasti
dari masa Majapahit menyebutkan berbagai macam pekerjaan dan spesialisasi
karier, mulai dari pengrajin emas dan perak, hingga penjual minuman, dan jagal
atau tukang daging. Meskipun banyak di antara pekerjaan-pekerjaan ini sudah ada
sejak zaman sebelumnya, namun proporsi populasi yang mencari pendapatan dan
bermata pencarian di luar pertanian semakin meningkat pada era Majapahit.
Menurut catatan Wang Ta-Yuan, pedagang Tiongkok,
komoditas ekspor Jawa pada saat itu ialah lada, garam, kain, dan burung kakak
tua, sedangkan komoditas impornya adalah mutiara, emas, perak, sutra, barang
keramik, dan barang dari besi. Mata uangnya dibuat dari campuran perak, timah
putih, timah hitam, dan tembaga.[36] Selain itu, catatan Odorico da Pordenone,
biarawan Katolik Roma dari Italia yang mengunjungi Jawa pada tahun 1321,
menyebutkan bahwa istana raja Jawa penuh dengan perhiasan emas, perak, dan
permata.[37]
Kemakmuran Majapahit diduga karena dua faktor.
Faktor pertama; lembah sungai Brantas dan Bengawan Solo di dataran rendah Jawa
Timur utara sangat cocok untuk pertanian padi. Pada masa jayanya Majapahit
membangun berbagai infrastruktur irigasi, sebagian dengan dukungan pemerintah.
Faktor kedua; pelabuhan-pelabuhan Majapahit di pantai utara Jawa mungkin sekali
berperan penting sebagai pelabuhan pangkalan untuk mendapatkan komoditas
rempah-rempah Maluku. Pajak yang dikenakan pada komoditas rempah-rempah yang
melewati Jawa merupakan sumber pemasukan penting bagi Majapahit.[32]
Nagarakretagama menyebutkan bahwa kemashuran
penguasa Wilwatikta telah menarik banyak pedagang asing, di antaranya pedagang
dari India, Khmer, Siam, dan China. Pajak khusus dikenakan pada orang asing
terutama yang menetap semi-permanen di Jawa dan melakukan pekerjaan selain
perdagangan internasional. Majapahit memiliki pejabat sendiri untuk mengurusi
pedagang dari India dan Tiongkok yang menetap di ibu kota kerajaan maupun
berbagai tempat lain di wilayah Majapahit di Jawa.
STRUKTUR
PEMERINTAHAN
Majapahit memiliki
struktur pemerintahan dan susunan birokrasi yang teratur pada masa pemerintahan
Hayam Wuruk, dan tampaknya struktur dan birokrasi tersebut tidak banyak berubah
selama perkembangan sejarahnya.[39] Raja dianggap sebagai penjelmaan dewa di
dunia dan ia memegang otoritas politik tertinggi.
1.
Aparat
Birokrasi
Raja dibantu oleh sejumlah pejabat
birokrasi dalam melaksanakan pemerintahan, dengan para putra dan kerabat dekat
raja memiliki kedudukan tinggi. Perintah raja biasanya diturunkan kepada
pejabat-pejabat di bawahnya, antara lain yaitu:
·
Rakryan Mahamantri Katrini, biasanya
dijabat putra-putra raja
·
Rakryan Mantri ri Pakira-kiran, dewan
menteri yang melaksanakan pemerintahan
·
Dharmmadhyaksa, para pejabat hukum
keagamaan
·
Dharmma-upapatti, para pejabat keagamaan
Dalam
Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yang terpenting yaitu
Rakryan Mapatih atau Patih Hamangkubhumi. Pejabat ini dapat dikatakan sebagai
perdana menteri yang bersama-sama raja dapat ikut melaksanakan kebijaksanaan
pemerintahan. Selain itu, terdapat pula semacam dewan pertimbangan kerajaan
yang anggotanya para sanak saudara raja, yang disebut Bhattara Saptaprabhu.
2.
Pembagian
Wilayah
Dalam pembentukannya, kerajaan Majapahit merupakan
kelanjutan Singhasari,[18] terdiri
atas beberapa kawasan tertentu di bagian timur dan bagian tengah Jawa. Daerah
ini diperintah oleh uparaja yang disebut Paduka Bhattara yang bergelar Bhre atau
"Bhatara i". Gelar ini adalah gelar tertinggi bangsawan kerajaan.
Biasanya posisi ini hanyalah untuk kerabat dekat raja. Tugas mereka adalah
untuk mengelola kerajaan mereka, memungut pajak, dan mengirimkan upeti ke
pusat, dan mengelola pertahanan di perbatasan daerah yang mereka pimpin.
Selama
masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350 s.d. 1389) ada 12 wilayah di Majapahit,
yang dikelola oleh kerabat dekat raja. Hierarki dalam pengklasifikasian wilayah
di kerajaan Majapahit dikenal sebagai berikut:
1.
Bhumi: kerajaan, diperintah oleh
Raja
2.
Nagara: diperintah oleh rajya
(gubernur), atau natha (tuan), atau bhre (pangeran atau bangsawan)
3.
Watek: dikelola oleh wiyasa,
4.
Kuwu: dikelola oleh lurah,
5.
Wanua: dikelola oleh thani,
6.
Kabuyutan: dusun kecil atau tempat
sakral.
No
|
Provinsi
|
Gelar
|
Penguasa
|
Hubungan dengan Raja
|
1
|
Bhre
Kahuripan
|
Tribhuwanatunggadewi
|
ibu
suri
|
|
2
|
Bhre
Daha
|
Rajadewi
Maharajasa
|
bibi
sekaligus ibu mertua
|
|
3
|
Tumapel (bekas
ibukota dari Singhasari)
|
Bhre
Tumapel
|
Kertawardhana
|
ayah
|
4
|
Bhre
Wengker
|
Wijayarajasa
|
paman
sekaligus ayah mertua
|
|
5
|
Matahun (sekarang Bojonegoro)
|
Bhre
Matahun
|
Rajasawardhana
|
suami
dari Putri Lasem, sepupu raja
|
6
|
Bhre
Wirabhumi
|
Bhre
Wirabhumi1
|
anak
|
|
7
|
Bhre
Paguhan
|
Singhawardhana
|
saudara
laki-laki ipar
|
|
8
|
Bhre
Kabalan
|
Kusumawardhani2
|
anak
perempuan
|
|
9
|
Bhre
Pawanuan
|
Surawardhani
|
keponakan
perempuan
|
|
10
|
Lasem (kota
pesisir di Jawa Tengah)
|
Bhre
Lasem
|
Rajasaduhita
Indudewi
|
sepupu
|
11
|
Bhre
Pajang
|
Rajasaduhita
Iswari
|
saudara
perempuan
|
|
12
|
Mataram (sekarang Yogyakarta)
|
Bhre
Mataram
|
Wikramawardhana2
|
keponakan
laki - laki
|
Catatan:
1 Bhre Wirabhumi sebenarnya adalah gelar: Pangeran Wirabhumi (blambangan), nama aslinya tidak diketahui dan sering disebut sebagai Bhre Wirabhumi dari Pararaton. Dia menikah dengan Nagawardhani, keponakan perempuan raja. 2 Kusumawardhani (putri raja) menikah dengan Wikramawardhana (keponakan laki-laki raja), pasangan ini lalu menjadi pewaris tahta. |
Sedangkan
dalam Prasasti Wingun Pitu (1447 M) disebutkan
bahwa pemerintahan Majapahit dibagi menjadi 14 daerah bawahan, yang dipimpin
oleh seseorang yang bergelarBhre.[40] Daerah-daerah
bawahan tersebut yaitu:
·
Kahuripan (no.
1)
·
Daha (no. 2)
·
Tumapel (no.
3)
|
·
Wengker (no. 4)
·
Matahun (no. 5)
·
Wirabumi (no. 6)
|
·
Kabalan (no. 8)
·
Kembang Jenar (no.
10)
·
Pajang (no.
11)
|
·
Jagaraga
·
Keling
|
Saat
Majapahit memasuki era kemaharajaan Thalasokrasi saat
pemerintahan Gajah Mada, beberapa negara bagian di luar negeri juga termasuk
dalam lingkaran pengaruh Majapahit, sebagai hasilnya, konsep teritorial yang
lebih besar pun terbentuk:
·
Negara
Agung, atau Negara Utama, inti kerajaan.
Area awal Majapahit atau Majapahit Lama selama masa pembentukannya sebelum
memasuki era kemaharajaan. Yang termasuk area ini adalah ibukota kerajaan dan
wilayah sekitarnya dimana raja secara efektif menjalankan pemerintahannya. Area
ini meliputi setengah bagian timur Jawa, dengan semua provinsinya yang dikelola
oleh para Bhre (bangsawan), yang merupakan kerabat dekat raja.
·
Mancanegara, area yang melingkupi Negara Agung. Area ini
secara langsung dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa, dan wajib membayar upeti
tahunan. Akan tetapi, area-area tersebut biasanya memiliki penguasa atau raja
pribumi, yang kemungkinan membentuk persekutuan atau menikah dengan keluarga
kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit menempatkan birokrat dan pegawainya di
tempat-tempat ini dan mengatur kegiatan perdagangan luar negeri mereka dan
mengumpulkan pajak, namun mereka menikmati otonomi internal yang cukup besar.
Wilayah Mancanegara termasuk di dalamnya seluruh daerah Pulau Jawa lainnya, Madura, Bali, dan juga Dharmasraya,Pagaruyung, Lampung dan Palembang di Sumatra.
·
Nusantara, adalah area yang tidak mencerminkan kebudayaan Jawa,
tetapi termasuk ke dalam koloni dan mereka harus membayar upeti tahunan. Mereka
menikmati otonomi yang cukup luas dan kebebasan internal, dan Majapahit tidak
merasa penting untuk menempatkan birokratnya atau tentara militernya di sini;
akan tetapi, tantangan apa pun yang terlihat mengancam ketuanan Majapahit atas
wilayah itu akan menuai reaksi keras. Termasuk dalam area ini adalah kerajaan
kecil dan koloni di Maluku,Kepulauan Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan,
dan Semenanjung Malaya.
Ketiga
kategori itu masuk ke dalam lingkaran pengaruh Kerajaan Majapahit. Akan tetapi
Majapahit juga mengenal lingkup keempat yang didefinisikan sebagai hubungan
diplomatik luar negeri:
·
Mitreka
Satata, yang secara harafiah berarti
"mitra dengan tatanan (aturan) yang sama". Hal itu menunjukkan negara
independen luar negeri yang dianggap setara oleh Majapahit, bukan sebagai
bawahan dalam kekuatan Majapahit. Menurut Negarakertagama pupuh 15, bangsa
asing adalah Syangkayodhyapura (Ayutthaya di Thailand),Dharmmanagari (Kerajaan
Nakhon Si Thammarat), Marutma, Rajapura dan Sinhanagari (kerajaan
di Myanmar), Kerajaan
Champa, Kamboja (Kamboja),
dan Yawana(Annam).[41] Mitreka
Satata dapat dianggap sebagai aliansi Majapahit, karena kerajaan asing
di luar negeri seperti China dan India tidak termasuk dalam kategori ini
meskipun Majapahit telah melakukan hubungan luar negeri dengan kedua bangsa
ini.
Pola
kesatuan politik khas sejarah Asia Tenggara purba seperti ini kemudian
diidentifikasi oleh sejarahwan modern sebagai "mandala", yaitu
kesatuan yang politik ditentukan oleh pusat atau inti kekuasaannya daripada
perbatasannya, dan dapat tersusun atas beberapa unit politik bawahan tanpa
integrasi administratif lebih lanjut.[42] Daerah-daerah
bawahan yang termasuk dalam lingkup mandala Majapahit, yaitu wilayah
Mancanegara dan Nusantara, umumnya memiliki pemimpin asli penguasa daerah
tersebut yang menikmati kebebasan internal cukup luas. Wilayah-wilayah bawahan
ini meskipun sedikit-banyak dipengaruhi Majapahit, tetap menjalankan sistem
pemerintahannya sendiri tanpa terintegrasi lebih lanjut oleh kekuasaan pusat di
ibu kota Majapahit. Pola kekuasaan mandala ini juga ditemukan dalam
kerajaan-kerajaan sebelumnya, seperti Sriwijayadan Angkor,
serta mandala-mandala tetangga Majapahit yang sezaman; Ayutthaya dan Champa.
Raja-raja Majapahit
Para penguasa Majapahit adalah penerus dari
keluarga kerajaan Singhasari, yang dirintis oleh Sri Ranggah Rajasa, pendiri
Wangsa Rajasa pada akhir abad ke-13. Berikut adalah daftar penguasa Majapahit.
Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan antara pemerintahan Rajasawardhana
(penguasa ke-8) dan Girishawardhana yang mungkin diakibatkan oleh krisis
suksesi yang memecahkan keluarga kerajaan Majapahit menjadi dua kelompok[9].
Nama Raja
|
Gelar
|
Tahun
|
Kertarajasa Jayawardhana
|
||
Kalagamet
|
||
Sri Gitarja
|
||
Sri Rajasanagara
|
||
Dyah Ayu Kencana Wungu
|
||
Brawijaya I
|
||
Brawijaya II
|
||
Purwawisesa atau Girishawardhana
|
Brawijaya III
|
|
Bhre Pandansalas, atau Suraprabhawa
|
Brawijaya IV
|
|
Bhre Kertabumi
|
||
Brawijaya VI
|
||
WARISAN SEJARAH
Majapahit telah menjadi sumber inspirasi kejayaan masa lalu
bagi bangsa-bangsa Nusantara pada abad-abad berikutnya
Warisan
Logistik
Kesultanan-kesultanan
Islam Demak, Pajang, dan Mataram berusaha mendapatkan legitimasi atas kekuasaan
mereka melalui hubungan ke Majapahit. Demak menyatakan legitimasi keturunannya
melalui Kertabhumi; pendirinya, Raden Patah, menurut babad-babad keraton Demak
dinyatakan sebagai anak Kertabhumi dan seorang Putri Cina, yang dikirim ke luar
istana sebelum ia melahirkan. Penaklukan Mataram atas Wirasaba tahun 1615 yang
dipimpin langsung oleh Sultan Agung sendiri memiliki arti penting karena
merupakan lokasi ibukota Majapahit. Keraton-keraton Jawa Tengah memiliki
tradisi dan silsilah yang berusaha membuktikan hubungan para rajanya dengan
keluarga kerajaan Majapahit — sering kali dalam bentuk makam leluhur, yang di
Jawa merupakan bukti penting — dan legitimasi dianggap meningkat melalui
hubungan tersebut. Bali secara khusus mendapat pengaruh besar dari Majapahit,
dan masyarakat Bali menganggap diri mereka penerus sejati kebudayaan
Majapahit.[33]
Para penggerak
nasionalisme Indonesia modern, termasuk mereka yang terlibat Gerakan
Kebangkitan Nasional di awal abad ke-20, telah merujuk pada Majapahit,
disamping Sriwijaya, sebagai contoh gemilang masa lalu Indonesia. Majapahit
kadang dijadikan acuan batas politik negara Republik Indonesia saat ini.[21]
Dalam propaganda yang dijalankan tahun 1920-an, Partai Komunis Indonesia
menyampaikan visinya tentang masyarakat tanpa kelas sebagai penjelmaan kembali
dari Majapahit yang diromantiskan.[44] Sukarno juga mengangkat Majapahit untuk
kepentingan persatuan bangsa, sedangkan Orde Baru menggunakannya untuk
kepentingan perluasan dan konsolidasi kekuasaan negara.[45] Sebagaimana
Majapahit, negara Indonesia modern meliputi wilayah yang luas dan secara
politik berpusat di pulau Jawa.
Beberapa simbol dan
atribut kenegaraan Indonesia berasal dari elemen-elemen Majapahit. Bendera
kebangsaan Indonesia "Sang Merah Putih" atau kadang disebut
"Dwiwarna" ("dua warna"), berasal dari warna Panji Kerajaan
Majapahit. Demikian pula bendera armada kapal perang TNI Angkatan Laut berupa
garis-garis merah dan putih juga berasal dari warna Majapahit. Semboyan
nasional Indonesia, "Bhinneka Tunggal Ika", dikutip dari
"Kakawin Sutasoma" yang ditulis oleh Mpu Tantular, seorang pujangga
Majapahit.
Arsitektur
Majapahit memiliki
pengaruh yang nyata dan berkelanjutan dalam bidang arsitektur di Indonesia.
Penggambaran bentuk paviliun (pendopo) berbagai bangunan di ibukota Majapahit
dalam kitab Negarakretagama telah menjadi inspirasi bagi arsitektur berbagai
bangunan keraton di Jawa serta Pura dan kompleks perumahan masyarakat di Bali
masa kini. Meskipun bata merah sudah digunakan jauh lebih awal, para arsitek
Majapahitlah yang menyempurnakan teknik pembuatan struktur bangunan bata ini.
Beberapa elemen arsitektur
kompleks bangunan di Jawa dan Bali diketahui berasal dari masa Majapahit.
Misalnya gerbang terbelah candi bentar yang kini cenderung dikaitkan dengan
arsitektur Bali, sesungguhnya merupakan pengaruh Majapahit, sebagaimana
ditemukan pada Candi Wringin Lawang, salah satu candi bentar tertua di
Indonesia. Demikian pula dengan gapura paduraksa (kori agung) beratap tinggi,
dan pendopo berlandaskan struktur bata. Pengaruh citarasa estetika dan gaya
bangunan Majapahit dapat dilihat pada kompleks Keraton Kasepuhan di Cirebon,
Masjid Menara Kudus di Jawa Tengah, dan Pura Maospait di Bali. Tata letak
kompleks bangunan berupa halaman-halaman berpagar bata yang dihubungkan dengan
gerbang dan ditengahnya terdapat pendopo, merupakan warisan arsitektur
Majapahit yang dapat ditemukan dalam tata letak beberapa kompleks keraton di
Jawa serta kompleks puri (istana) dan pura di Bali.
Persenjataan
Pada zaman Majapahit
terjadi perkembangan, pelestarian, dan penyebaran teknik pembuatan keris berikut
fungsi sosial dan ritualnya. Teknik pembuatan keris mengalami penghalusan dan
pemilihan bahan menjadi semakin selektif. Keris pra-Majapahit dikenal berat
namun semenjak masa ini dan seterusnya, bilah keris yang ringan tetapi kuat
menjadi petunjuk kualitas sebuah keris. Penggunaan keris sebagai tanda
kebesaran kalangan aristokrat juga berkembang pada masa ini dan meluas ke
berbagai penjuru Nusantara, terutama di bagian barat.
Selain keris,
berkembang pula teknik pembuatan dan penggunaan tombak dan meriam kapal
sederhana yang disebut Cetbang. Saat ini salah satu koleksi Cetbang Majapahit
tersebut berada di The Metropolitan Museum of Art, New York, Amerika.
KESENIAN
MODERN
Kebesaran kerajaan ini
dan berbagai intrik politik yang terjadi pada masa itu menjadi sumber inspirasi
tidak henti-hentinya bagi para seniman masa selanjutnya untuk menuangkan
kreasinya, terutama di Indonesia. Berikut adalah daftar beberapa karya seni
yang berkaitan dengan masa tersebut.
Puisi
lama
Serat Darmagandhul,
sebuah kitab yang tidak jelas penulisnya karena menggunakan nama pena Ki
Kalamwadi, namun diperkirakan dari masa Kasunanan Surakarta. Kitab ini berkisah
tentang hal-hal yang berkaitan dengan perubahan keyakinan orang Majapahit dari
agama sinkretis "Buda" ke Islam dan sejumlah ibadah yang perlu
dilakukan sebagai umat Islam.
Komik
dan strip komik
Serial "Mahesa
Rani" karya Teguh Santosa yang dimuat di Majalah Hai, mengambil latar
belakang pada masa keruntuhan Singhasari hingga awal-awal karier Mada (Gajah
Mada), adik seperguruan Lubdhaka, seorang rekan Mahesa Rani.
Komik/Cerita bergambar Imperium Majapahit, karya Jan
Mintaraga.
Komik Majapahit karya R.A. Kosasih
Strip komik "Panji Koming" karya Dwi
Koendoro yang dimuat di surat kabar "Kompas" edisi Minggu,
menceritakan kisah sehari-hari seorang warga Majapahit bernama Panji Koming.
Komik "Dharmaputra Winehsuka", karya Alex
Irzaqi, kisah Ra Kuti dan Ra Semi dalam latar peristiwa pemerontakan Nambi 1316
M.
Roman/novel
sejarah
Sandyakalaning
Majapahit (1933), roman sejarah dengan setting masa keruntuhan Majapahit, karya
Sanusi Pane.
Pelangi Di langit Singasari (1968 - 1974), roman
sejarah dengan setting zaman kerajaan Kediri dan Singasari, karya S. H.
Mintardja.
Bara Di Atas Singgasana, roman sejarah dengan
setting zaman kerajaan singasari dan Majapahit, karya S. H. Mintardja
Kemelut Di Majapahit, roman sejarah dengan setting
masa kejayaan Majapahit, karya Asmaraman S. Kho Ping Hoo.
Zaman Gemilang (1938/1950/2000), roman sejarah yang
menceritakan akhir masa Singasari, masa Majapahit, dan berakhir pada intrik
seputar terbunuhnya Jayanegara, karya Matu Mona/Hasbullah Parinduri.
Senopati Pamungkas (1986/2003), cerita silat dengan
setting runtuhnya Singhasari dan awal berdirinya Majapahit hingga pemerintahan
Jayanagara, karya Arswendo Atmowiloto.
Arus Balik (1995), sebuah epos pasca kejayaaan
Nusantara pada awal abad 16, karya Pramoedya Ananta Toer.
Dyah Pitaloka - Senja di Langit Majapahit (2005),
roman karya Hermawan Aksan tentang Dyah Pitaloka Citraresmi, putri dari
Kerajaan Sunda yang gugur dalam Peristiwa Bubat.
Gajah Mada (2005), sebuah roman sejarah berseri yang
mengisahkan kehidupan Gajah Mada dengan ambisinya menguasai Nusantara, karya
Langit Kresna Hariadi.
Jung Jawa (2009), sebuah antologi cerita pendek
berlatar Nusantara, karya Rendra Fatrisna Kurniawan, diterbitkan Babel
Publishing dengan ISBN 978-979-25-3953-0.
Film/sinetron
Tutur Tinular, suatu
adaptasi film karya S. Tidjab dari serial sandiwara radio. Kisah ini berlatar
belakang Kerajaan Singhasari pada pemerintahan Kertanegara hingga Majapahit
pada pemerintahan Jayanagara.
Saur Sepuh, suatu adaptasi film karya Niki Kosasih dari
serial sandiwara radio yang populer pada kurun dasawarsa pertengahan 1980-an
hingga awal 1990-an. Film ini sebetulnya lebih berfokus pada sejarah Pajajaran
namun berkait dengan Majapahit pula.
Walisanga, sinetron Ramadan tahun 2003 yang berlatar
Majapahit pada masa Brawijaya V hingga Kesultanan Demak pada zaman Sultan
Trenggana.
Puteri Gunung Ledang, sebuah film Malaysia tahun
2004, mengangkat cerita berdasarkan legenda Melayu terkenal, Puteri Gunung
Ledang. Film ini menceritakan kisah percintaan Gusti Putri Retno Dumilah,
seorang putri Majapahit, dengan Hang Tuah, seorang perwira Kesultanan Malaka.
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Majapahit
0 comments:
Post a Comment