1.
Makna
Canang Sari
Canang
Sari merupakan ciptaan dari Mpu Sangkulputih yang menjadi sulinggih
menggantikan Danghyang Rsi Markandeya di Pura Besakih.Canang sari ini dalam
persembahyangan penganut Hindu Bali adalah kuantitas terkecil namun inti
(kanista=inti). Kenapa disebut terkecil namun inti, karena dalam setiap banten atau
yadnya apa pun selalu berisi Canang Sari. Canang sari sering dipakai untuk
persembahyangan sehari-hari di Bali. Canang sari juga mengandung salah satu
makna sebagai simbol bahasa Weda untuk memohon kehadapan Sang Hyang Widhi,
Tuhan Yang Maha Esa yaitu memohon kekuatan Widya (Pengetahuan) untuk Bhuwana
Alit maupun Bhuwana Agung.
Canang
berasal dari kata “Can” yang berarti
indah, sedangkan “Nang” berarti
tujuan atau maksud (bhs. Kawi/Jawa Kuno), Sari berarti inti atau sumber. Dengan
demikian Canang Sari bermakna untuk memohon kekuatan Widya kehadapan Sang Hyang
Widhi beserta Prabhawa (manifestasi) Nya secara skala maupun niskala. Dalam
dokumen tersebut juga dijelaskan mengenai bentuk dan fungsi canang menurut
pandangan Hindu Bali ada beberapa macam sesuai dengan kegiatan upakara yang
dilaksanakan. Di bawah ini penjabaran mengapa canang dikatakan sebagai
penjabaran dari bahasa Weda, hal ini melalui simbol-simbol sebagai berikut :
1. Canang
memakai alas berupa “ceper”
(berbentuk segi empat) adalah simbol kekuatan “Ardha Candra” (bulan).
2. Di
atas ceper ini diisikan sebuah “Porosan” yang bermakna persembahan tersebut
harus dilandasi oleh hati yang welas asih serta tulus kehadapan Sang Hyang
Widhi beserta Prabhawa Nya, demikian pula dalam hal kita menerima anugerah dan
karunia Nya.
3. Di
atas ceper ini juga berisikan seiris tebu, pisang dan sepotong jaja (kue)
adalah sebagai simbol kekuatan “Wiswa Ongkara” (Angka 3 aksara Bali).
4. Kemudian
di atas point 2 dan 3 di atas, disusunlah sebuah “Sampian Urasari” yang
berbentuk bundar sebagai dasar untuk menempatkan bunga. Hal ini adalah simbol
dari kekuatan “Windhu” (Matahari). Lalu pada ujung-ujung Urasari ini memakai
hiasan panah sebagai simbol kekuatan “Nadha” (Bintang).
5. Penataan
bunga berdasarkan warnanya di atas Sampian Urasari diatur dengan etika dan
tattwa, harus sesuai dengan pengider-ideran (tempat) Panca Dewata. Untuk
urutannya saya menggunakan urutan Purwa/Murwa Daksina yaitu diawali dari arah
Timur ke Selatan.
v Bunga berwarna Putih
(jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna merah muda) disusun untuk
menghadap arah Timur, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari
(Bidadari) Gagar Mayang oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Iswara agar
memercikkan Tirtha Sanjiwani untuk menganugerahi kekuatan kesucian skala
niskala.
v Bunga berwarna Merah disusun untuk menghadap arah
Selatan, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Saraswati oleh
Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Brahma agar memercikkan Tirtha Kamandalu
untuk menganugerahi kekuatan Kepradnyanan dan Kewibawaan.
v Bunga berwarna Kuning disusun untuk
menghadap arah Barat, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Ken
Sulasih oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Mahadewa agar memercikkan
Tirtha Kundalini untuk menganugerahi kekuatan intuisi.
v Bunga
berwarna Hitam (jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna biru, hijau atau
ungu) disusun untuk menghadap arah Utara, adalah sebagai simbol memohon
diutusnya Widyadari Nilotama oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Wisnu
agar memercikkan Tirtha Pawitra untuk menganugerahi kekuatan peleburan segala
bentuk kekotoran jiwa dan raga.
v Bunga
Rampe (irisan pandan arum) disusun di tengah-tengah, adalah sebagai simbol
memohon diutusnya Widyadari Supraba oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang
Siwa agar memercikkan Tirtha Maha mertha untuk menganugerahi kekuatan pembebasan
(Moksa).
Bunga
canang, kembang rampe, porosan adalah simbol dari Tarung / Tedung dari Ong Kara
(isi dari Tri Bhuwana (Tri Loka) = Bhur-Bwah-Swah).
1.
Konsep
penyatuan Sivasiddhanta dalam canang sari
Canang
Genten/canang sari, bentuknya : memakai alas yang berupa ceper atau yang berupa
reringgitan,disusun dengan plawa(daun), Porosan yang berupa sedah berisi apuh
dan jambe diikat dengan tali porosan, disusun dengan tempat minyak,bunga dan
pandan arum yang bermakna penyatuan pikiran yang suci untuk sujud bhakti
kehadapan Hyang Widhi dalam wujudnya sebagai Brahma Wisnu dan Iswara.
Mantra
Canang Sari.
Oṁ
Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Oṁ
tamolah panca pacara guru paduka bhyo namah swaha
Oṁ
shri Deva Devi Sukla ya namah svaha
2.
BANTEN
DAKSINA
Daksina
berasal dari kata Sansekerta. Daksina
bisa berarti upah, daksina juga bisa bermakna selatan dan nama sebuah banten.
Dalam kitab Yayur Veda XXXX.1 ada
disebutkan bahwa Sthana Hyang Widhi Wasa adalah alam semesta atau Bhuana Agung.
Hyang Widhi berada pada alam yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Tidak
ada bagian bhuana agung ini tanpa kehadiran Hyang Widhi. Demikian pula dalam
kitab Ayur Weda pada bagian terakhir mantra yang disebutkan bahwa nama Hyang
Widhi pertama adalah OM dan badannya
adalah alam semesta atau bhuana agung ini. Hyang Widhi juga disebut parama
atma. Sebagai jiwa dari bhuana alit
beliau disebut atman. Banten daksina disamping lambang penghormatan juga
sebagai lambang Bhuana Agung Sthana Hyang Widhi Wasa. Hal ini disebutkan dalam
puja pengantar daksina sebagai berikut: Om
pakulun bhattara Visnu alingga haneng daksina sesantun dan seterusnya.
Daksina
adalah tapakan dari Hyang Widhi, dalam berbagai manifestasi-Nya dan juga
merupakan perwujudan-Nya. Daksina juga merupakan buah daripada yadnya. Hal ini
dapat kita lihat pada berbagai upacara yang besar, di mana kita lihat banyak
sekali ada daksina. Kalau kita lihat fungsi daksina yang diberikan kepada yang
muput karya (Pedanda atau Pemangku), sepertinya daksina tersebut sebagai ucapan
tanda “terima kasih” kepada sekala-niskala. Begitu pula kalau daksina itu kita
haturkan kehadapan Hyang Widhi sebagai pelengkap aturan kita dan sembah sujud
kita atas semua karunia-Nva
Daksina
sebagai lambang Bhuana Sthana Hyang Widhi Wasa nampak dalam bahan-bahan yang
membentuk daksina tersebut. Beberapa unsur penting yang membentuk Daksina,
yaitu :
1. Bebedogan,
dibuat dari daun janur yang sudah hijau yang bentuknya bulat panjang serta ada
batas pinggirnya pada bagian atasnya. Bebedogan ini lambang pertiwi unsur yang
dapat dilihat dengan jelas.
2. Serobong
Daksina, disebut juga sebagai Serobong Bebedogan dibuat juga dari daun janur
yang sudah hijau tanpa tepi maupun dibawahnya. Serobog Daksina ini menjadi
lapisan pada bagian tengah dari bebedogan, segala bahan daksina ini masuk
kedalam serobong daksina. Serobong daksina ini lambang Akasa yang tanpa tepi.
3. Tampak,
dibuat dari empat potong helai janur berbentuk seperti kembang teratai bersegi
delapan. Bentuk tampak ini melambangkan arah atau kiblat mata angin yang
mengarah pada delapan penjuru. Pada dasar daksina diisi tetampak dari janur
sebagai tanda Swastika, yang mempunyai makna semoga baik, juga sebagai dasar
dari pengider. Ke atas menuju Ida Sang Hyang Widhi dan ke samping menuju arah
kehidupan alam sekitar, tetampak dibubuhi beras sejumput.
4. Telor
itik/telor bebek, dibungkus dengan Urung Ketipat Taluh. Telor itik yang
dibungkus ketipat taluh ini lambang Bhuana alit yang menghuni bumi ini. Telur
itik juga sebagai lambang dari sifat-sifat satwam.
5. Beras,
beras merupakan simbolis dari hasil bumi yang menjadi sumber penghidupan umat
manusia di alam raya ini.
6. Benang
Tukelan (benang Bali) adalah sebagai simbolis dari penghubung Jiwataman yang
tidak akan berakhir samapai terjadinya pralina. Sebelum pralina atman yang berasal
dari paratman akan terus menerus mengalami penjelmaan yang berulang-ulang
sebelum mencapai moksa. Dan semuanya akan kembali pada Hyang Widhi kalau sudah
Pralina.
7. Uang
Kepeng, berjumlah 225 kepeng adalah simbol Bhatara Brahma yang merupakan inti
kekuatan untuk menciptakan hidup dan sumber kehidupan. Angka 225 itu kalau
dijumlahkan menjadi angka sembilan angka suci lambang Dewata nawa sanga yang
berada di sembilan penjuru alam Bhuana Agung.
8. Pisang,
Tebu dan Kekojong, adalah simbol manusia yang menghuni bumi sebagai bagian dari
alam ini,. Idialnya manusia penghuni bumi ini hidup dengan ajaran Tri Kaya
Parisudha.
9. Porosan
dan Kembang, porosan adalah lambang pemujaan pada Hyang Tri Murti. Sedangkan
kembang adalah lambang niat suci dalam beryajna pada Hyang Tri Murti. Tujuan
bakti pada Hyang Tri Murti agar manusia mendapatkan tuntunan dalam menciptakan
sesuatu yang patut diciptakan dari Hyang Brahma. Tuntunan dari Hyang Visnu pada
saat memelihara sesuatu yang aptut dan wajar untuk dipelihara. Dari Hyang Rudra
untuk menuntun umat manusia saat meniadakan sesuatu yang patutdan wajar
dihilangkan.
1. Gegantusan,
unsur upakara ini lambang didunia ini mahluk lahir berulang-ulang sesuai dengan
tingkatan karmanya.
11. Pesel-peselan
dan Bija Ratus, unsur upakara ini merupakan lambang hidup bersama di dunia ini
untuk menyatukan berbagai bibit. Bija Ratus adalah lambang suatu kerjasama
dalam menelorkan suatu ide bersama. Sebelum ide bersama itu muncul sebagai
suatu kesepakatan. Setiap pihak wajib mengeluarkan ide-idenya. Ide-ide inilah
yang di sebut bija yang harus diratus menjadi satu ide bersama.
12. Kelapa,
sebagai unsur yang paling utama dalam Banten Daksina. Buah kelapa dari kulit
dengan seluruh isinya adalah lambang Bhuana Agung. Unsur-unsur buah kelapa itu
semuanya melambangkan sapta patala dan sapta loka. Mengapa buah kelapa yang
dipakai daksina harus dikupas dan dibersihkan kulitnya hingga kelihatan
batoknya. Serabut kelapa itu adalah lambang pengikat indria. Karena Daksina itu
lambang Bhuana Agung Sthana Hyang Widhitentunya harus bersih dari unsur-unsur
gejolak indria yang mengikat. Karunia Hyang widhi akan dapat kita capai apabila
kita mampu melepaskan diri dari ikatan indria. Kitalah yang harus mengikat
indria sebagai alat untuk melakukan perbuatan yang bijaksana.
·
Mytologi
adanya kelapa
Kelapa
memiliki manfaat yang demikian banyak dalam kehidupan umat manusia dan mahluk
hidup lainya. Sampai kelapa itu dimitoskan dalam cerita-cerita yang dicukil
dari purana. Samapai ada beberapa versi cerita tentang adanya kelapa.
Diceritakan ada dua orang raksasa kembar bernama Sunda Upasund. Dua raksasa ini
bertapa untuk menguasai sorga, tapanya sangat tekun. Dewa-dewa disurga
menugaskan Dewa Wiswakarma untuk mengujinya. Dewa Wiswakarma menciptakan
bidadari yang sangat cantik dari Bunga Ratna dan Biji Wijen. Sebelum bidadari
ini bertugas menggoda raksasa tersebut, Bidadari itu berkeliling disorga. Saat
Dewa Brahma melihat bidadari yang sangat cantik itu, Dewa Brahma sangat
terperanjat hingga beliau berkepala lima. Sedangkan Dewa Indra menjadi bermata
seribu saat menyaksikan kecantikan bidadari tersebut. Karena demikian cantiknya itupun turun kedunia menggoda raksasa kembar
tersebut. Kedua raksasa itupun kedua-duanya mati bertempur memperebutkan
bidadari yang cantik itu. Selanjutnya yang menjadi cerita adalah kepala Dewa
Brahma yang lima itu. Putra Dewa Siwa mengatakan Dewa Brahma berkepala empat
sedangkan Putra Dewa Indra mengatakan lima. Kedua putra Dewa ini bertaruh.
Siapa yang kalah harus menjelma kedunia sebagai manusia sengsara, mendengar hal
ini diam-diam Dewa Siwa melepaskan panah untuk memotong satu di antara lima
kepala Dewa Brahma sehingga Dewa Brahma menjadi berkepala empat. Dengan
demikian Dewa Brahma pun disebut Pala Dewa Catur Mukha. Dengan demikian putra
Dewa Siwa dapat mengalahkan putra Dewa Indra. Yang menjadi cerita selanjutnya
adalah kepala Dewa Brahma yang putus itu jatuh kedunia. Dunia menjadi digoncang
gempa akibat potongan kepala Dewa Brahma jatuh ke bumi. Dewa Siwapun
bertanggung jawab atas kejadian itu. Kepala Dewa Brahma diambilnya dan
dibuangnya kelaut. Lautpun menjadi goncang pula. Akhirnya kepala Dewa Brahma
itu diambil lagi oleh Dewa Siwa dan ditanam ditepi pantai. Lama kelamaan kepala
Dewa Brahma yang ditanam itupun tumbuh menjadi kelapa. Semenjak itulah ada kelapa
di dunia. Kelapa itulah yang sampai sekarang menjadi salah satu tumbuhan yang
sangat berperan dalam penyelenggaraan upacara Yajna di kalangan Umat Hindu.
Dengan Daksina Membina Hidup
Terhormat
Hidup
terhormat adalah hidup yang dijalankan di atas relnya Dharma. Rejeki yang
didapatkan untuk membiayai hidup itu diperoleh secara terhormat. Demikian pula
status sosial atau kedudukan terhormat itu dicapai melalui cara-cara yang
terhormat pula. Dipergunakan banten Daksina dalam upacara Yajna dimaksudkan
juga untuk memebina tumbuhnya kesadaran spiritual agar selalu dapat berbuat
terhormat dalam hidup ini. Hidup terhormat bukan untuk dipamerkan didepan
halayak ramai. Artinya kalau didepan halayak ramai barulah kita tampil
terhormat. Kalau tidak ada yang menyaksikan berprilaku terhormat itu tidak
diupayakan. Membina hidup terhormat bukanlah berarti hidup yang gila hormat.
Seoramg akan terhormat apabila dalam menjalani hidup ini selalu menempuh jalan
hidup diatas norma-norma yang dibenarkan baik oleh norma agama maupun
norma-norma lainnya yang berlaku. Di dalam kitab Ayur Veda XX.25 disebutkan
bahwa untuk mencapai kehidupan yang terhormat itu (Daksina) harus diawali
dengan perjuangan diri yang penuh disiplin. Perjuangan yang penuh disiplin itu
disebut dengan Brata. Brata artinya janji diri yaitu suatu disiplin hidup
timbul dari niat diri sendiri untuk melakukan sesuatu disiplin hidup. Disiplin
hidup itu tidak berasal dari orang lain. Disiplin hidup ini bertujuan untuk
mewujudkan cita-cita hidup. Disiplin hidup itu ditempuh samapai mencapai tujuan
yang suci itu. Brata itu meliputi disiplin hidup yang bersifat jasmaniah dan
disiplin hidup rohaniah. Brata bertujuan untuk mencapai ilmu engetahuan tentang
kehidupan keduniawi dalam artian yang positif (Apara Vidya) dan pengetahuan
Rokhaniah (Para Vidya). Kedua ilmu itu bertujuan membangun hidup yang seimbang
lahir dan batin. Perpaduan dua ilmu tersebut untuk diarahkan mengendalikan
indria terutama lidah. Lidah dikendalikan agar jangan mengucapkan kata-kata
yang mengandung kejahatan, kebohongan, fitnah dan tidak mengeluarkan kata-kata
kasar. Dari Brata pikiran dan kata-kata dilanjutkan dengan Brata prilaku. Brata
prilaku itu meliputi tidak mencuri, tidak membunuh, dan tidak berjianah. Dari
Brata ini diharapkan mencapai Diksa. Diksa itulah puncaknya Brata. Suatu study
yang telah mencapai hasil yang disebut tamat. Kalau sudah mencapai Diksa itu
barulah boleh menikmati Daksina. Daksina itu adalah suatu hasil berupa materi
dan non materi. Dewasa ini banyak orang mendapatkan suatu perolehan yang tidak
berupa Daksina. Artinya mendapatkan materi maupun non materi secara tidak
terhormat. Memenuhi kebutuhan hidup dengan hasil yang tidak diperoleh secara
terhormat maka orang tersebut akan sulit menyampaikan pesan-pesan suci Veda.
Orang yang hidup dengan hasil yang diperoleh secara tidak terhormat jiwanya
akan ditutupi oleh avidya yang ditimbulkan oleh hasil yang diperoleh secara
tidak terhormat itu. Orang yang hidupnya dari hasil Daksina akan hidup
keyakinan yang mantap tanpa dibayang-bayangi oleh rasa berdosa. Hidup yang
demikian itulah disebut Sraddha yaitu hidup dengan keyakian. Karena itulah
marilah banten Daksina dipakai sebagai simbol keagamaan yang sakral untuk
mencari penghidupan yang disebut Daksina.
Mengapa kelapa Daksina serabutnya
dikerik bersih
Salah
satu bahan pokok untuk membuat Daksina adalah buah kelapa. Buah kelapa yang
dipakai untuk membuat Daksina serabutnya harus dikerik bersih. Behkan Daksina
untuk banten Nuntun Dewa hyang harus dikerik lebih bersih lagi dan dinyaki
dengan minyak sukla (suci). Swami Satya Narayana mengatakan kelapa yang dipakai
bahan pokok pembuatan banten daksina serabutnya harus dikerik. Serabut kelapa
itulah adalah lambang indria yang mengikat. Daksina sebagai lambang Sthana
Tuhan dan lambang penghormatan harus bersih dari ikatan indria yang sangat
pambrih itu. Suatu kerja yang didasarkan pada kenikmatan indria tidaklah pantas
mendapatkan penghormatan Daksina. Demikian pula pemberian yang terhormat yang
disebut daksina tidak pantas kalau masih disertai dengan pambrih-pambrih yang
bersifat indriawi. Hal ini berarti Tuhan akan bersthana pada mereka yang mampu
melepaskan diri dari ikatan indriawi. Ini bukanlah berarti orang harus merusak
indrianya. Indria itu adalah alat. Ia tidak boleh dirusak bahkan harus
dipelihara dengan sebaik-baiknya agar ia dapat dijadikan alat yang baik. Yang
dimaksudkan disini adalah janganlah kita diperalat oleh indria kata Upanisad
menyebutkan indria itu ibarat kuda penarik kereta. Budhi ibarat kusir kereta,
pikiran ibarat tali kekang kereta. Atman ibarat pemilik kereta, badan ibarat
kereta itu sendiri dan jalan adalah obyek indria. Kalau ingin kereta itu
larinya cepat dan terarah maka kuda itu harus sehat dan kuat. Sehat dan kuatnya
kuda tetap harus berada dibawah kendali pikiran dan budhi jadinya serabut
kelapa yang harus dibersihkan itu adalah lambang daya pengikat indria yang
dapat menyesatkan sang diri dari samsara. Dalam upacara-upacara besar banten
Daksina digunakan daksina yang besar pula. Misalnya upacar penebusan Oton yang
bertujuan untuk melindugi seseorang dari asfek negatif dari hari kelahiran.
Setiap hari menurut perhitungan kalender Hindu selalu ada bain buruknya. Agar
seeorang terhindar dari aspek burukya maka diadakan upacara penebusan Oton.
Inti upacara penebusan Oton itu menggunakan daksina gede. Daksina gede itu
tergantung Neptu (urip) dari kelahiran tersebut. Misalnya neptunya 5 maka
daksina gedenya Sarwa lima. Kelapanya lima butir, telornya lima butir,
pisangnya lima butir, dan yang lainnya juga berjumlah lima.
Banten
Daksina menurut Lontar Parimbon Bebanten dalam bentuk uang ada sembilan jenis
yaitu, Utamaning Utama 160.000, Madyaning Utama 80.000, Nistaning Utama 40.000,
Utamaning Madya 50.000, Madyaning Madya 25.000, Nistaning Madya 16.000,
Utamaning Nista 15.000, Madyaning Nista 8.000, Nistaning Nista 4.000. ini
adalah sembilan gambaran umum tentang tingkat Daksina. Dalam bentuk banten
Daksina dapat dibagi menjadi lima yaitu :
1. Daksina
Alit untuk upacara sehari-hari. Isinya adalah satu porsi dari masing- masing
unsur, banyak sekali dipergunakan, baik sebagai pelengkap banten yang lain,
maupun berdiri sendiri sebagai banten tunggal.
2. Kalau
isinya dilipatkan dua kali disebut Daksina pakala-kalaan. Isi daksina
dilipatkan dua kali dengan ditambah dua tingkih dan dua pangi. Digunakan pada
waktu ada perkawinan dan untuk upacara bayi / membuat peminyak-penyepihan.
3. Kalau
isinya dilipatkan tiga kali disebut Daksina Krepa, Daksina yang isinya
dilipatkan tiga kali. Kegunaannya lebih jarang, kecuali ada penebusan oton /
menurut petunjuk rohaniwan atau sesuai petunjuk lontar khusus misalnya guna
penebusan oton atau mebaya oton.
4. Kalau
empat kali disebut Daksina Gede atau Daksina Pamogpog. Isinya dilipatkan 5
(lima) kali, juga dilengkapi dengan tetandingan-tetandingan yang lain yaitu:
Dasar tempat daksina sebuah sok yang berisi srobong dan pada dasarnya diberi
tetampak taledan bundar.
5. Kalau
isinya dilipatkan lima kali disebut Daksina Galahan, demikian beberapa jenis
Daksina dalam bentuk uang dan dalam bentuk Banten. Isinya dilipatkan 5 (lima)
kali, juga dilengkapi dengan tetandingan-tetandingan yang lain yaitu:
Dasar
tempat daksina sebuah sok yang berisi srobong dan pada dasarnya diberi tetampak
taledan bundar.
Penyatuan Siva Sidhanta
yang terdapat di dalam daksina adalah penyatuan sekte- sekte yang yang pada
umumnya telah terdapat di dalam bahan pembuatan daksina tersebut. Sebenarnya
didalam daksina ini telah terjadi penyatuan sekte Siwa sidantha tetapi yang
lebih dominan terlihat adalah sekte Brahma kalau kita kaji dari bahan yang
digunakan misalnya bahan Kelapa dan telur itu merupakan lambang dari buana
agung dan didalam proses suatu penciptaan alam semesta sehingga Dewa Brahma
yang lebih berperan didalam hal ini.
3.
BANTEN
PERAS & PENGERTIAN PERAS
Kata
“Peras” berarti “Sah” atau “Resmi”, dengan
demikian penggunaan banten “Peras”
bertujuan untuk mengesahkan dan atau meresmikan suatu upacara yang telah
diselenggarakan secara lahir bathin. Secara lahiriah, banten Peras telah
diwujudkan sebagai sarana dan secara bathiniah dimohonkan pada persembahannya. Disebutkan
juga bahwa, banten Peras, dari kata “Peras”
nya berkonotasi “Perasaida” artinya “Berhasil”. Dalam pelaksanaan suatu upacara
keagamaan, bilamana upakaranya tidak disertai dengan Banten Peras, maka
penyelenggaraan upacara itu dikatakan “Tan Paraside”, maksudnya tidak akan
berhasil atau tidak resmi/sah. Makna banten peras tersebut adalah sebagai
lambang kesuksesan. Artinya dalam banten peras tersebut terkemas nilai-nilai
berupa konsep hidup sukses. Konsep hidup sukses itulah yang ditanamkan ke dalam
lubuk hati sanubari umat lewat natab banten peras. Dalam banten peras itu sudah
terkemas suatu pernyataan dan permohonan untuk hidup sukses serta konsep untuk
mencapainya
Dalam
Lontar “Yadnya Prakerti” disebutkan
bahwa Peras dinyatakan sebagai lambang Hyang Triguna Sakti demikian juga halnya
dalam penyelenggaraan “Pamrelina Banten” disebutkan Peras sebagai “Pamulihing
Hati” artinya kembali ke Hati, yaitu suatu bentuk Sugesti bagi pikiran telah
berhasil melaksanakan suatu keinginan serta mencapai tujuan yang diharapkan.
1.
Perlengkapan
Peras
Banten
Peras terdiri dari beberapa komponen/ bagian berupa Jejahitan / Reringgitan /
Tetuasan, antara lain :
·
Taledan
/ Tamas / Ceper
Sebagai
dasar dari semua bagian jejahitannya, pemakaian taledan sebanyak 2 lembar, yang
mana taledan pertama hanya dibingkai/sibeh yaitu dibawah dan atas (arahnya
sama). Sedangkan taledan satunya lagi berbingkai (sibeh) keseluruhan sisinya. Makna dari Tamas lambang Cakra atau
perputaran hidup atau Vindu (simbol kekosongan yang murni/ananda). Ceper/
Aledan; lambang Catur marga (Bhakti, Karma, Jnana, Raja Marga).
·
Tampelan,
Benang Tukelan dan Uang
Ini
berupa dua lembar sirih yang telah diisi pinang dan kapur diletakkan berhadapan
lalu dilipat dan dijahit, disebut Tampelan atau Base Tampelan disatukan
meletakkannya dengan Benang Tukelan warna putih dan Uang. Makna dari Tampelan
ini adalah (poros – pusat) yang merupakan lambang tri murti. Makna dari Benang
Tukelan adalah kesucian dan alat pengikat sifat satwam, merupakan lambang bahwa
untuk mendapatkan keberhasilan diperlukan persiapan yaitu: pikiran yang benar,
ucapan yang benar, pandangan yang benar, pendengaran yang benar, dan tujuan
yang benar. Dan Makna dari Uang adalah lambang dari Deva Brahma yang merupakan
inti kekuatan untuk menciptakan hidup dan sumber kehidupan.
·
Tumpeng
Dibagian
depan dari Base Tampelan, Benang Tukelan dan Uang diletakkan Tumpeng Dua buah
(simbol rwa bhineda – baik buruk) lambang kristalisasi dari duniawi menuju
rohani, mengapa dua tumpeng karena sesungguhnya untuk dapat menghasilkan sebuah
ciptaan maka kekuatan Purusa dan Pradhana (kejiwaan/laki-laki dengan
kebendaan/perempuan) harus disatukan baru bisa berhasil (Prasidha), Tumpeng
adalah lambang keuletan orang dalam meniadakan unsur-unsur materialis, ego
dalam hidupnya sehingga dapat sukses menuju kepada Tuhan. Tumpeng terbuat dari
nasi yang dibentuk mengkerucut besarnya seukuran kojong terbuat dari janur dan
daun pisang. Fungsi dari Tumpeng adalah sebagai suguhan kehadapan Hyang Widhi.
Bentuk kerucut yang letak lancipnya di atas adalah melambangkan Tuhan itu
Tunggal adanya dan tempatnya tinggi di atas tiada terbatas, yang oleh umat-Nya
akan dituju dengan jalan pemusatan pikiran yang suci melalui pengendalian hawa
nafsu.
·
Rerasmen
Rerasmen
(lauk pauk) terdiri dari kacang-kacangan yang digoreng, saur, sambal ikan
(telur, ayam, teri), terung, kecarum, mentimun dan lainnya disesuaikan dengan
Desa Kala Patra. Sebagai alasnya dapat dipergunakan Tangkih / Celemik atau
Ceper kacang yang ukurannya lebih kecil dari Ceper canang. Pada suatu daerah
dipergunakan sebagai tempat Rerasmen adalah Kojong Rangkada yaitu berupa satu
taledan berbentuk segitiga ukurannya agak besar dan didalamnya diletakkan empat
buah kojong janur masing-masing dijahit agar tidak terlepas. Memiliki makna
jika ingin mendapatkan keberhasilan harus dapat memadukan semua potensi dalam
diri (pikiran, ucapan, tenaga dan hati nurani).
Mengenai
sisi pokok Rerasmen yaitu : Kacang dan Ikan, dalam Lontar “Tegesing Sarwa
Banten” dijelaskan sebagai berikut :
a. Kacang nga ; ngamedalang pengrasa
tunggal, komak nga; sane kekalih sampun masikian.
Artinya : Kacang-kacangan itu menyebabkan perasaan menjadi satu, Kacang Komak
yang terbelah dua itupun melambangkan kesatuan.
b. Ulam nga; iwak nga; ebe nga; rawos
sane becik rinengo. Artinya : Ulam itu ikan yang dipakai
sebagai Rerasmen itu sebagai lambang bicara yang baik untuk didengarkan.
c. Buah
Dibagian
belakang tumpeng dan rerasmen diletakkan buah-buahan seperti mangga, apel,
salak atau bisa buah-buahannya disesuaikan dengan keadaan setempat. Dalam
Lontar “Tegesing Sarwa Banten” disebutkan sebagai berikut :
Sarwa Wija nga; sakalwiring gawe,
nga; sane tatiga ngamedalang pangrasa hayu, ngalangin ring kahuripan. Artinya
: Segala macam dan jenis buah-buahan merupakan hasil segala perbuatan, yaitu
perbuatan yang tiga macam (Tri Kaya Parisudha), yang menyebabkan perasaan
menjadi baik dan dapat memberikan penerangan pada kehidupan.
1.
Jajan
Jajan
ada banyak jenis dan macamnya. Penggunaannya juga disesuaikan dengan jenis
banten yang akan disajikan. Jajan untuk banten Peras, dipergunakan Jaja Begina,
Uli, Dodol, Wajik, Bantal, Satuh dan lainnya. Untuk jajan ini ditegaskan dalam
Lontar “Tegesing Sarwa Banten” sebagai berikut:
Gina/ bagina nga; wruh, Uli abang
putih nga; Iyang apadang nga; patut ning rama rena, Dodol nga; pangan, pangganing
citta satya, Wajik nga; rasaning sastra, Bantal nga; pahalaning hana nora,
Satuh nga; tempani, tiru, tiruan.
Artinya
:
Gina
lambang mengetahui, Uli merah/putih adalah lambang kegembiraan yang terang,
bhakti terhadap guru Rupaka, Dodol lambang pikiran menjadi setia, Wajik adalah
lambang kesenangan akan belajar sastra, Bantal adalah lambang hasil dari
kesungguhan dan tidak kesungguhan hati, Satuh lambang dari patut ditirukan,
Satuh sama dengan patuh.
2.
Sampyan
Peras
Berupa
sampyan khusus yang dipergunakan hanya untuk Peras, disebut juga “Sampyan
Metangga”, jenisnya ada 2 macam yaitu : pertama berbentuk kecil dan sederhana
yang biasa dipergunakan pada banten sorohan dan kedua bentuknya agak besar yang
dipergunakan pada pejati wujudnya bertingkat, karena itulah disebut sampyan
metangga. Dalam Lontar “Tegesing Sarwa Banten” disebutkan : Sampyan nga;
ulahakena, tegesnia pelaksanane, artinya : segala perbuatan. Perlengkapan dari
sampyan ini adalah porosan dengan sirih, kapur dan pinang. Dimana porosan secara
keseluruhan mencerminkan saktinya Tri Murthi. Buah pinang disebut juga dengan
“Sedah Woh” disebutkan dalam Lontar “Tegesing Sarwa Banten” sebagai berikut :
Sedah woh nga; hiking mangde hita
wasana, ngaraning matutalam Lontar “Tegesing Sarwa Banten” sebagai berikut :
Sedah woh nga; hiking mangde hita
wasana, ngaraning matut halyus hasanak, makadang mitra, kasih kumasih.
Artinya
:
Sirih
dan pinang itu perlambang dari yang membuatnya kesejahteraan dan kerahayuan,
berawal dari dasar pemikirannya yang baik, cocok dengan keadaannya, bersaudara
dalam keluarga, bertetangga dan berkawan.
Demikianlah
adanya arti dan makna daripada beberapa bagian dari banten Peras. Dalam
kehidupan keagamaan Peras sebagai sarana persembahan rasa bhakti dan hormat
umat manusia kehadapan Hyang Widhi, yang berfungsi sebagai sarana untuk
mensahkan dan atau meresmikan dan juga sebagai ungkapan hati untuk memohon
kehadapan Hyang Widhi atas keberhasilan suatu tujuan. Dalam setiap akhir
persembahan dari Peras ini, dilakukanlah “Natab
Peras” dan dengan menarik beberapa bagian dari tiga lembar janur yang
dilipat ujungnya saat menjahitnya dengan posisi dijajarkan dan dijahit pada
alas banten Peras.
Adapun
mantra Peras adalah sebagai berikut :
Om Suddha bumi suddha akasa
Om Suddha dewa suddha manusa
Om Siddhir astu tad astu
Om Ksama sampurna ya namah swaha
Om Mili mili maha amrtham
Suksma parama siwa ya namah
Om Ung ung Om Ang Ung Mang.
Om Ekawara, Dwiwara, Triwara
Caturwara, Pancawara
Peras prasiddhanta
Parisudha ya namah swaha, Om.
4 Penggabungan
Peras Dengan Banten Pejati
1 Banten
Pejati
Pejati
berasal bahasa Bali, dari kata “jati”
mendapat awalan “pa-”. Jati berarti
sungguh-sungguh, benar-benar. Awalan pa- membentuk kata sifat jati menjadi kata
benda pajati, yang menegaskan makna melaksanakan sebuah pekerjaan yang
sungguh-sungguh. Jadi, Banten Pejati adalah sekelompok banten yang dipakai
sarana untuk menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang Widhi dan
manifestasiNya, akan melaksanakan suatu upacara dan mohon dipersaksikan, dengan
tujuan agar mendapatkan keselamatan. Banten pejati merupakan banten pokok yang
senantiasa dipergunakan dalam Pañca Yajña.
Banten
Pejati sering juga disebut “Banten Peras
Daksina”. Ketika pertama kali masuk dan sembahyang di sebuah tempat suci,
begitu pula jika seseorang memohon jasa Pemangku atau Pedanda, “meluasang” kepada seorang
balian/seliran, atau untuk melengkapi upakara, banten pejati sering dibuat.
Oleh karena itu, pejati dipandang sebagai banten yang utama, maka di setiap set
banten apa saja, selalu ada pejati dan pejati dapat dihaturkan di mana saja,
dan untuk keperluan apa saja.
a. Unsur
Dan Makna Filosofi
Adapun
unsur-unsur banten pejati serta dihaturkan kepada Sanghyang Catur Loka Phala,
yaitu:
Sarana
yang Lain
Daksina
terdiri atas:
1. Daksina,
kepada Sanghyang Brahma
2. Banten
Peras, kepada Sanghyang Isvara
3. Banten
Ajuman Rayunan/Sodaan, kepada Sanghyang Mahadeva
4. Ketupat
Kelanan, kepada Sanghyang Visnu
5. Penyeneng/Tehenan/Pabuat
6. Pesucian,
manusia harus menjaga kebersihan phisik dan kesucian rohani
7. Segehan
alit, lambang harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan
1. Daun/Plawa;
lambang kesejukan.
2. Bunga;
lambang cetusan perasaan
3. Bija;
lambang benih-benih kesucian.
4. Air;
lambang pawitra, amertha
5. Api;
lambang saksi dan pendetanya Yajna.
1. bakul/serembeng,
simbol arda candra
2. kelapa
dengan sambuk maperucut, simbol brahma dan nada
3. bedogan,
simbol swastika
4. kojong
pesel-peselan, simbol ardanareswari
5. kojong
gegantusan, simbul akasa/ pertiwi
6. telur
bebek simbol windu dan satyam
7. tampelan,
simbol trimurti
8. irisan
pisang, simbol dharma
9. irisan
tebu, simbol smara-ratih
10. benang
putih, simbol siwa
Ketupat
Kelanan adalah lambang dari Sad Ripu yang telah dapat dikendalikan atau
teruntai oleh rohani sehingga kebajikan senantiasa meliputi kehidupan manusia.
Dengan terkendalinya Sad Ripu maka keseimbangan hidup akan menyelimuti manusia.
6.
Fungsi
Banten Pejati
Banten
Pejati dihaturkan kepada Sanghyang Catur Loka Phala, yaitu:
1. Daksina
kepada Sanghyang Brahma
2. Peras
kepada Sanghyang Isvara
3. Ketupat
kelanan kepada Sanghyang Visnu
4. Ajuman
kepada Sanghyang Mahadeva
7.
Cara
Membuat
Banten
Pejati ini terdiri dari 4 macam tetandingan yaitu :
1. DAKSINA
terdiri dari wakul daksina yang dibuat memakai janur/slepan yang di dalamnya
dimasukkan tapak dara beras, dan kelapa yg sudah dihilangkan sabutnya, lalu
diatas kelapa diisi 7 kojong yg terbuat dari janur/slepan, yg masing-2 kojong
diisi telor itik, base tampelan, irisan pisang tebu, tingkih, pangi,
gegantusan, pesel-peselan lalu di atasnya diisi benang putih dan terakhir
letakkan canang burat wangi di atasnya.
2. PERAS:
memakai alas taledan lalu di atasnya diisi kulit peras yg diisi beras+
benang+base tampelan, lalu di atas kulit peras diletakkan 2 buah tumpeng nasi
putih, raka-raka (jaja dan buah-buahan) selengkapnya, ditambah kojong rangkadan
yang terbuat dari janur/slepan yang berisi kacang saur, gerang/terong goreng,
garam, bawang goreng, timun, lalu di atasnya diisi canang dan sampiyan peras.
3. SODAAN/AJUMAN RAYUNAN:
memakai tamas dari janur/slepan yang di dalamnya diisi 2 buah nasi penek,
raka-raka secukupnya, ditambah dengan dua buah clemik berisi rerasmen seperti
kacang saur, teri, gerang dan lain-lain. Lalu di atasnya diisi canang dan
sampiyan Plaus/sampiyan Soda.
4. TIPAT KELAN:
memakai tamas sama seperti Sodaan, cuma di dalamnya diisi ketupat nasi sebanyak
6 biji, lalu dilengkapi dengan 2 buah clemik yang berisi rerasmen. Di atasnya
diisi canang dan sampiyan Plaus/Soda. Utk melengkapi Pejati perlu juga
dibuatkan Pesucian yang terbuat dari ceper bungkulan yang di dalamnya
dijahitkan 5 buah clemik, yang masing-masing berisi boreh miik, irisan pandan
wangi yang dicampur minyak rambut, irisan daun bunga sepatu, sekeping begina
metunu, seiris buah jeruk nipis dan 1 buah takir untuk tirta, reringgitan suwah
serit dan base tampel. Untuk pelengkapnya juga perlu dibuatkan segehan putih
kuning dua tanding bila pejati untuk dibawa ke Pura/Tempat suci.
Untuk
melengkapi banten Pejati juga perlu dibuatkan Penyeneng yang dibuat dari 3
potong janur lalu kita bentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai tiga bentuk
kojong yang disatukan dan berdiri tegak, di mana masing-masing kojong diisi
dengan beras, tepung tawar (beras+daun dapdap+kunir ditumbuk) dan irisan bunga
cepaka dan jepun dicampur boreh miik, jagan lupa diisi benang putih.
Mantra
Pejati :
Oṁ Puspa Danta ya namah svaha
(dalam hati)
Oṁ Siva sutram yajna pavitram paramam
pavitram
Prajapatir yogayusyam
Balam astu teja paranam
Guhyanam triganam trigunatmakam
Oṁ namaste bhagavan Agni
Namaste bhagavan Harih
Namaste bhagavan Isa
Sarva bhaksa utasanam
Tri varna bhagavan Agni Brahma
Visnu Mahesvara
Saktikam pastikanca raksananca
saiva bhicarukam.
Oṁ Paramasiva Tanggohyam Siva
Tattva Parayanah
Sivasya Pranata Nityam Candhisaya
Namostute
Oṁ Naividyam Brahma Visnuca
Bhoktam Deva Mahesvaram
Sarva Vyadi Na Labhate
Sarva Karyanta Siddhantam.
Oṁ Jayarte Jaya mapnuyap
Ya Sakti Yasa Apnoti
Siddhi Sakalam Apnuyap
Paramasiva Labhate ya namah svaha
8.
Banten
Ajuman
Ajuman
disebut juga soda (sodaan) dipergunakan tersendiri sebagai persembahan ataupun
melengkapi daksina suci dan lain-lain. Bila ditujukan kehadapan para leluhur,
salah satu peneknya diisi kunir ataupun dibuat dari nasi kuning, disebut
“perangkat atau perayun” yaitu jajan serta buah-buahannya di alasi tersendiri,
demikian pula lauk pauknya masing-masing dialasi ceper /ituk-ituk, diatur
mengelilingi sebuah penek yang agak besar. Di atasnya diisi sebuah canang
pesucian, canang burat wangi atau yang lain.
Yang
menjadi unsur-unsur banten Ajuman/Soda:
1. Alasnya tamas/taledan/cepe;
berisi buah, pisang dan kue secukupnya, nasi penek dua buah, rerasmen/lauk-pauk
yang dialasi tri kona/ tangkih/celemik, sampyan plaus/petangas, canang sari.
Sarana yang dipakai untuk memuliakan Hyang Widhi (ngajum, menghormat, sujud
kepada Hyang Widhi)
2. Nasi penek atau “telompokan”
adalah nasi yang dibentuk sedemikian rupa sehingga berbentuk bundar dan sedikit
pipih, adalah lambang dari keteguhan atau kekokohan bhatin dalam mengagungkan
Tuhan, dalam diri manusia adalah simbol Sumsuma dan Pinggala yang menyangga
agar manusia tetap eksis.
3. Sampyan Plaus/Petangas;
dibuat dari janur kemudian dirangkai dengan melipatnya sehingga berbentuk
seperti kipas, memiliki makna simbol bahwa dalam memuja Hyang Widhi manusia
harus menyerahkan diri secara totalitas di pangkuan Hyang Widhi, dan jangan
banyak mengeluh, karunia Hyang Widhi akan turun ketika BhaktaNya telah siap.
Kadang sampyan plaus/petengas bisa disebut “sampyan kepet-kepetan”. dan dapat
pula dilengkapi dengan canang genten/ canang sari/ canang burat wangi.
4. beberapa
jenis jajan, buah-buahan, lauk pauk berupa serondeng atau sesaur,
kacang-kacangan, ikan teri, telor, terung, timun, taoge (kedelai), daun kemangi
(kecarum), garam, dan sambal.
Ajuman
disebut juga soda (sodaan) dipergunakan tersendiri sebagai persembahan ataupun
melengkapi daksina suci dan lain-lain. Bila ditujukan kehadapan para leluhur,
salah satu peneknya diisi kunir ataupun dibuat dari nasi kuning, disebut
“perangkat atau perayun” yaitu jajan serta buah-buahannya di alasi tersendiri,
demikian pula lauk pauknya masing-masing dialasi ceper /ituk-ituk, diatur
mengelilingi sebuah penek yang agak besar. Di atasnya diisi sebuah canang
pesucian, canang burat wangi atau yang lain.
Nama
ANJUMAN originalnya berasal dari bahasa Sangsekerta
/ Hindu. Nama spesial tersebut memiliki definisi dan arti Nama Tempat. Ide
menarik dalam memberikan nama bayi dengan nama ANJUMAN lebih pantas untuk bayi
/ anak berjenis kelamin Laki-Laki.
9.
Sesayut
Pengertian
Sesayut, Menurut Wijayananda, dalam
bukunya Tetandingan Lan Sorohan Banten (2003: 8) menjelaskan bahwa banten
sesayut berasal dari kata “sayut” atau “nyayut” dapat diartikan mempersilakan
atau mensthanakan, karena sayut disimbulkan sebagai lingga dari Ista Dewata,
sakti dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sedangkan menurut Dunia dalam Kata Pengantar
bukunya Nama-Nama Sesayut (2008: vi) menjelaskan bahwa sesayut berasal dari
kata “sayut” yang berarti tahan, cegah (Zoetmulder, 1995; 1063). Untuk menahan,
mencegah orang agar terhindar dari mala, gangguan yang merusak, kemalangan,
atau penyakit maka dibuatkanlah sesaji atau sejajen yang disebut sesayut (Kamus
Bali-Indonesia, 1978; 506). Walaupun tidak semua sesayut berbentuk seperti
banten. Namun berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Ketut Wiana dalam
bukunya Suksmaning Banten (2009; 53) menguraikan bahwa sesayut berasal dari
kata “ayu” yang berarti selamat atau rahayu. Kata “ayu” mendapat pengater Dwi
Purwa lalu menjadi Sesayu, kemudian mendapat reduplikasi “t” menjadi sesayut
yang artinya menuju kerahayuan.
Dari beberapa pengertian di atas,
dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa sesayut merupakan sthna dari Ista Dewata
untuk memohon kerahayuan agar orang yang melaksanakan yadnya itu terhindar dari
mala, gangguan, atau penyakit dan sebagainya. Kulit sesayut bentuknya sama
dengan tamas, hanya bedanya di tengah-tengah kulit sesayut terdapat isehan. Ada
dua jenis sampian sesayut, yaitu sampian sesayut untuk banten yang menggunakan
tamas, dan sesayut yang menggunakan nampan atau ngiu. Sampian sesayut untuk
banten tamas hampir sama dengan sampian plaus yang kedua tangkihnya
digabungkan, sehingga berbentuk huruf V berjumlah dua buah lalu digabungkan.
Sedangkan sesayut yang menggunakan nampan bentuknya bundar dengan menggunakan
potongan jejahitan sebanyak 8 buah.
Adapun
beberapa jenis sesayut sebagai berikut :
1.
Sesayut
Mertya Dewa
Sesayut
ini terdiri dari sebuah kulit sesayut, di atasnya diisi penek dan beras kuning,
dialasi dengan takir (terbuat dari daun kelapa), dilengkapi dengan lauk-pauk,
jajan, buah-buahan, sampian naga sari, penyeneng dan canang ganten atau canang
jenis lainnya.
2.
Sesayut
Sida Karya
Seperti
yang telah dijelaskan di atas, sesayut digunakan untuk memohon kerahayuan agar
terhindar dari mala, gangguan, penyakit, dan sebagainya sehingga pelaksanaan
yadnya dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Dalam bukunya Majejahitan
dan Metanding yang ditulis oleh Raras (2006; 193) memaparkan bahwa Banten
Sesayut Sidha Karya ditujukan kehadapan Para Dewa pada saat melaksanakan
upacara Yadnya dalam bentuk permohonan agar kegiatan yang dilaksanakan tidak
menemui kegagalan. Banten sesayut Sidha Karya ini digunakan dalam upacara Panca
Yadnya ataupun dalam bentuk pribadi sifatnya. Ada yang secara pribadi
menghaturkan banten ini di Sanggah Kemulan atau di Pura Desa. Ada pula yang
digunakan pada saat hari kelahirannya atau otonannya.
Hal senada juga diungkapkan oleh
Jro Mangku Anom (Ketut Agus Nova), salah satu mahasiswa IHDN Kampus Singaraja.
Beliau memaparkan bahwa Sesayut Sidha Karya memang digunakan dalam Panca Yadnya
seperti misalnya Odalan, Ngenteg Linggih, Mlaspas, Ngaben, Topeng Sida Karya
dan lain-lain. Di mana ‘Sidha’ berarti puput, dan ‘karya’ berarti yadnya.
Apabila banten ini tidak ada dalam suatu upacarra tersebut, maka dikatakan
suatu upacara itu belum dikatakan selesai. Jadi, Banten ini dapat dikatakan
sebagai pemuput dalam suatu rangkaian upacara yajna.
Ida Pandita Mpu Jaya Wijayananda,
dalam bukunya Tataning Tetandingan Banten Sesayut (2006; 3) menyebutkan bahwa
Sesayut Sidha Karya ditujukan untuk Bhatara Mahesora dimana untuk peletakan
banten ini melihat arah mata angin yaitu arah ‘kelod-kangin’ (tenggara). Hal
senada juga diungkapkan oleh Putu Bangli dalam bukunya Warnaning Sesayut Lan
Caru (2006; 31) juga menyebutkan bahwa banten Sesayut Sidha Karya ditujukan
kehadapan Bhatara Mahesora.
Ini
adalah salah satu Cara pembuatan Sesayut Sidha Karya yang terdapat dalam buku
Majejahitan dan Metanding yang ditulis oleh Niken Tambang Raras (2006; 194).
Alat
dan Bahan:
-
Kulit Sesayut
-
Segehan bentuk segi empat
-
Tumpeng kecil
-
4 buah kwangen
-
2 buah tulung berisi nasi
-
Raka-raka (jajan-jajan dan buah-buahan)
-
Daun sirih dan pinang
-
Sampian Sesayut
Cara Menatanya:
Kulit sesayut diletakkan di atas
nampan atau nare, di atasnya diisi segehan segi empat dan ditengah-tengah
segehan diisi tumpeng kecil. Di sampingnya ditancapi kwangen 4 buah. Ujung
tumpeng ditancapi bunga tunjung. Di sampingnya diisi raka-raka (buah dan jajan)
serta dua buah tulung berisi nasi yang dibawahnya dialasi dengan daun sirih dan
pinang lalu diatasnya diberi sampian sesayut.
c. Sesayut Sida Purna
Sesayut
Sidha Purna dihaturkan oleh seseorang dengan tujuan menentramkan dirinya.
Apabila seseorang tiba-tiba diliputi rasa takut dan cemas, was-was yang tidak
diketahui penyebabnya, maka sesayut ini dibuat sambil memohon ke hadapan Ida
Hyang Widi agar jiwanya ditentramkan agar terhindar dari mala petaka dan
bencana.. Banten ini biasanya dihaturkan di Sangah Kemulan lalu ditaruh di atas
pelangkiran rumah (Raras, 2006: 196).
Banten Sesayut Sidha Purna juga digunakan pada saat pelaksanaan Manusa
Yadnya baik itu pada saat otonan, mesangih dan yang lainnya. (Jro Anom).
Cara Pembuatan dan Alat dan Bahan:
- Kulit Sesayut
- nasi 3 bulung
- telur itik rebus
dibagi 3
- bunga tunjung
- raka-raka (buah dan
jajan)
- sampian nagasari
Cara menatanya:
Untuk alasnya bisa digunakan nampan
atau nare. Diisi 3 bulung nasi, dipinggirnya diisi telur itik yang dibagi 3. Di
atas nasi ditancapi bunga tunjung, disampingnya diisi raka-raka (bunga dan
buah) dan terakhir disusun dengan sampian nagasari di atasnya. (Raras, 2006;
196)
d.
Sesayut Langgeng Amukti Sakti.
Sesayut
ini terdiri dari kulit sesayut yang diisi sebuah penek. Penek tersebut disisipi
sebuah kalpika dan muncuk dapdap. Kemudian perlengkapan lainnya sama dengan
kelengkapan sesayut lainnya.
Banten-banten
yang disebutkan diatas merupakan sarana upakara yang dipergunakan oleh umat
umat Hindu di Bali khususnya dalam pelaksanaan upacara panca yadnya.
Bnaten-banten tersebut merupakan kristalisasi dari sekte-sekte yang ada Di
Bali, yang dilihat sarana yang dipergunakan dalam pembuatan banten tersebut. Seperti
pada contoh diatas semua banten menggunakan bahan pokok yaitu porosan yang
merupakan penyatuan sekte Siwa, Brahma, dan Wisnu yang dikenal dengan nama Tri
Murti. Dalam Daksina juga menggunakan bahan pokok yaitu kelapa yang di
bersihkan hingga halus merupakan cerminan atau simbol dari Dewa Brahma.
Bentuk-bentuk sesayut yang dipaparkan di atas merupakan cirri-ciri dari Wisnu
yang merupakan Dewa yang dipuja oleh Sekte Wainawa. Penggunaan uang kepeng yang
di Bali lumbrah disebut “Pis Bolong” dalam berbagai upacara yadnya. Kata “Pis
Bolong” secara harfiah berarti uang yang berlubang, mengingat bentuknya di
tengah-tengah berlubang. Pada permukaan uang kepeng (pis bolong) terdapat
tulisan huruf Cina. Warisan selanjutnya dari sekte ini adalah adanya Pendeta Buddha dalam eksistensi
Tri Sadhaka di Bali.
Sumber:
imadeyudhaasmara.wordpress.com
0 comments:
Post a Comment