Upacara Manusa Yadnya
Manusa artinya manusia, Yadnya artinya upacara
persembahan suci yang tulus ikhlas. Upacara Manusa Yadnya adalah upacara
persembahan suci yang tulus ikhlas dalam rangka pemeliharaan, pendidikan serta
penyucian secara spiritual terhadap seseorang sejak terwujudnya jasmani di
dalam kandungan sampai akhir kehidupan.
Upacara manusa yadnya erat sekali hubungannya
dengan Catur Purusa Arta yang artinya empat tingkatan
atau jenjang dalam menjalani hidup ini. Bagian dari catur purusa arta
adalah brahmacari, grehasta, wanaprasta,
dan bhiksuka. Dalam Jenjang-jenjang hidup inilah kita akan
mengalami yang disebut manusia dalam agama tadi. Sebelum manusia itu dilahirkan
dan masuk pada jenjang-jenjang kehidupan, Ada beberapa proses upacara Manusa
Yadnya seperti :
1. Magedong- gedongan (Garbhadhana
Samskara)
Upacara ini dilaksanakan pada saat kandungan berusia 7
bulan .
Sarana :
1. Pamarisuda: Byakala dan
prayascita.
2. Tataban: Sesayut, pengambean,
peras penyeneng dan sesayut pamahayu tuwuh.
3. Di depan sanggar pemujaan : benang hitam satu
gulung kedua ujung dikaitkan pada dua dahan dadap, bambu daun talas dan ikan
air tawar, ceraken (tempat rempah-rempah).
Waktu Upacara Garbhadhana dilaksanakan pada saat
kandungan berusia 210 hari (7 bulan). Tidak harus persis, tetapi disesuaikan
dengan hari baik. Tempat Upacara Garbhadhana dilaksanakan di dalam rumah,
pekarangan, halaman rumah, di tempat permandian darurat yang khusus dibuat
untuk itu, dan dilanjutkan di depan sanggar pemujaan (sanggah kamulan).
Pelaksana Upacara ini dipimpin oieh Pandita, Pinandita atau salah seorang yang
tertua (pinisepuh).
Tata Pelaksanaan :
1. lbu yang sedang hamil terlebih dahulu dimandikan
(siraman) di parisuda, dilanjutkan dengan mabyakala dan prayascita.
2. Si lbu menjunjung tempat rempah-rempah, tangan
kanan menjinjing daun talas berisi air dan ikan yang masih hidup.
3. Tangan kiri suami memegang
benang, tangan kanannya memegang bamboo runcing.
4. Si Suami sambil menggeser benang langsung menusuk
daun talas yang dijinjing si Istri sampai air dan ikannya tumpah.
5. Selanjutnya melakukan
persembahyangan memohon keselamatan.
6. Ditutup dengan panglukatan
dan terakhir natab
2. Upacara kelahiran (Jatakarma Samskara).
Upacara ini dilaksanakan pada waktu bayi baru
dilahirkan. Upacara ini adalah sebagai ungkapan kebahagiaan atas kehadiran si
kecil di dunia.
Sarana :
1. Dapetan, terdiri dari nasi berbentuk tumpeng dengan
lauk pauknya (rerasmen) dan buah buahan.
2. Canang sari / canang
genten, sampiyan jaet dan penyeneng.
Untuk menanam ari-ari (mendem ari-ari) diperlukan
sebuah kendil (periuk kecil) dengan tutupnya atau sebuah kelapa yang airnya
dibuang. Waktu Upacara Jatakarma dilaksanakan pada waktu bayi baru dilahirkan
dan telah mendapat perawatan pertama.
Tempat Upacara Jatakarma dilaksanakan di dalam dan di
depan pintu rumah. Pelaksana Upacara kelahiran dilaksanakan atau dipimpin oleh
salah seorang keluarga yang tertua atau dituakan, demikian juga untuk menanam
(mendem) ari-arinya. Dalam hal tidak ada keluarga tertua, misalnya, hidup di
rantauan, sang ayah dapat melaksanakan upacara ini.
Tata Cara :
1. Bayi yang baru lahir diupacarai dengan banten
dapetan, canang sari, canang genten, sampiyan dan penyeneng. Tujuannya agar
atma / roh yang menjelma pada si bayi mendapatkan keselamatan.
2. Setelah ari-ari dibersihkan, selanjutnya dimasukkan
ke dalam kendil lalu ditutup. Apabila mempergunakan kelapa, kelapa itu terlebih
dahulu dibelah menjadi dua bagian, selanjutnya ditutup kernbali. Perlu diingat
sebelum kendil atau kelapa itu digunakan, pada bagian tutup kendil atau belahan
kelapa bagian atas ditulisi dengan aksara OM KARA (OM) dan
pada dasar alas kendil atau bagian bawah kelapa ditulisi aksara AH
KARA (AH) .
3. Kendil atau kelapa
selanjutnya dibungkus dengan kain putih dan di dalamnya diberi bunga.
4. Selanjutnya kendil atau kelapa ditanam di halaman
rumah, tepatnya pada bagian kanan pintu ruangan rumah untuk anak Iaki-laki, dan
bagian kiri untuk wanita bila dilihat dari dalam rumah.
Upacara ini merupakan cetusan rasa bahagia dan terima
kasih dari kedua orang tua atas kelahiran anaknya, walaupun disadari bahwa hal
tersebut akan menambah beban baginya.
Kebahagiaannya terutama disebabkan beberapa hal antara
lain :
• Adanya keturunan yang diharapkan akan dapat
melanjutkan tugas-tugasnya terhadap leluhur dan masyarakat.
• Hutang kepada orang tua terutama berupa kelahiran
telah dapat dibayar.
3. Upacara kepus puser
Upacara kepus puser atau pupus puser adalah upacara
yang dilakukan pada saat puser bayi lepas.
Sarana :
1. Banten penelahan: Beras
kuning, daun dadap.
2. Banten kumara: Hidangan berupa nasi putih kuning,
beberapa jenis kue, buahbuahan (pisang emas), canang, lengawangi, burat wangi,
canang sari.
3. Banten labaan: Hidangan/
nasi dengan lauk pauknya.
4. Segehan empat buah dengan warna merah, putih,
kuning, dan hitam. Masingmasing berisi bawang, jahe dan garam.
Waktu Upacara kepus puser dilaksanakan pada saat bayi
sudah kepus pusernya, umumnya pada saat bayi berumur tiga hari. Tempat Upacara
ini dilaksanakan di dalam rumah terutama di sekitar tempat tidur si bayi.
Pelaksana Untuk melaksanakan upacara ini cukup dipimpin oleh keluarga yang
tertua (sesepuh), atau jika tidak ada, orang tua si bayi.
Tata Cara :
1. Puser bayi yang telah lepas dibungkus dengan kain
putih lalu dimasukkan ke dalam "ketupat kukur" (ketupat yang
berbentuk burung tekukur) disertai dengan rempah-rempah seperti cengkeh, pala,
lada dan lain-lain, digantung pada bagian kaki dari tempat tidur si bayi.
2. Dibuatkan kumara
(pelangkiran) untuk si bayi, tempat menaruh sesajian.
3. Di tempat menanam ari-ari dibuat sanggah cucuk, di
bawahnya ditaruh sajen segehan nasi empat warna, dan di sanggah cucuk diisi dengan
banten kumara.
4. Tidak ada mantram khusus untuk upacara ini,
dipersilakan memohon keselamatan dengan cara dan kebiasaan masing-masing.
4. Upacara bayi umur 12 hari (Upacara Ngelepas
Hawon)
Setelah bayi berumur 12 hari dibuatkan suatu upacara
yang disebut Upacara Ngelepas Hawon. Sang anak biasanya baru diberi nama (nama
dheya) demikian pula sang catur sanak atau keempat
saudara kita setelah dilukat berganti nama di antaranya: Banaspati
Raja, Sang Anggapati, Banaspati dan Mrajapati.
Sarana Upakara
yang kecil : Peras, Penyeneng, Jerimpen tunggal dll, semampunya.
Upacara yang biasa (madia) : Peras, Penyeneng, Jerimpen tunggal, di
sini hanya ditambah dengan penebusan.
Upacara yang besar : Seperti upacara madia hanya lebihnya
jerimpen tegeh dan diikuti wali joged atau wayang lemah.
Waktu Upacara ngelepas hawon dilaksanakan pada saat si
bayi sudah berumur genap 12 hari. Tempat Upacara ini dilaksanakan di dalam
rumah pekarangan yaitu di sumur (permandian), di dapur, serta di sanggah
kamulan. Pelaksana Untuk melaksanakan upacara ini dipimpin oieh keluarga yang
paling dituakan.
Tata Cara :
Pelaksanaan upacara ini ditujukan kepada si ibu dan si
anak. Upacaranya dilakukan di dapur, di permandian dan di kemulan berfungsi
memohon pengelukatan ke hadapan Bhatara Brahma, Wisnu dan Siwa. Inti pokok
upacara yang ditujukan :
Kepada si ibu adalah: banten byakaon dan
prayascita disertai dengan tirta pebersihan dan pengelukatan.
Kepada si bayi adalah: banten pasuwungan yang
terdiri dari peras, ajuman, daksina, suci. Soroan alit pengelukatan, dan
lainnya.
Banten pengelukatan di dapur, permandian dan kemulan
pada pokoknya sama, hanya saja warna tumpengnya yang berbeda. Yaitu:
· tumpeng merah untuk di dapur
· tumpeng hitam untuk di permandian
dan
· tumpeng putih untuk di kemulan.
Inti pokok banten pengelukatan tersebut antara lain: peras dengan
tumpeng, ajuman, daksina, pengulapan, pengarnbian, penyeneng dan sorotan alit
serta periuk tempat tirta pengelukatan.
5. Upacara kambuhan (umur 42 hari)
Upacara ini dilakukan setelah bayi berusia 42 hari.
Tujuannya untuk pembersihan lahir batin si bayi dan ibunya, di samping juga
untuk membebaskan si bayi dari pengaruh-pengaruh negative (mala).
Sarana Untuk upacara kecil:
1. Upakara untuk ibu :
Byakala, prayascita, tirtha panglukatan dan pabersihan.
2. Upakara untuk si bayi :
Banten pasuwungan, banten kumara dan dapetan.
Untuk upacara yang lebih besar
1. Upakara untuk ibu :
Byakala, prayascita, tirtha panglukatan dan pabersihan.
2. Upakara untuk si bayi : Banten pasuwungan, banten
kumara, jejanganan, banten pacolongan untuk di dapur, di permandian dan di
sanggah kamulan serta tataban.
Waktu Upacara kambuhan dilaksanakan pada saat bayi
berusia 42 hari. Tempat Keseluruhan rangkaian upacara kambuhan dilaksanakan di
dalam lingkungan rumah, di dapur, di halaman rumah dan di sanggah kamulan.
Pelaksana Untuk upacara kambuhan dipimpin oleh seorang pinandita atau pandita.
Tata cara Untuk upacara kecil:
1. Kedua orang tua si bayi
mabyakala dan maprayascita.
2. Si bayi beserta kedua
orang tua diantar ke sanggah kamulan untuk natab.
Tata Cara Untuk upacara yang lebih besar :
1. Si bayi dilukat di dapur,
di permandian, dan terakhir di sanggah kamulan.
2. Kedua orang tua si bayi
mabyakala dan maprayascita
3 Si bayi beserta kedua orang
tuanya natab di sanggah kamulan
Upacara Tutug Kambuhan (Upacara setelah bayi berumur
42 hari), merupakan upacara suci yang bertujuan untuk penyucian terhadap si
bayi dan kedua orang tuanya. Penyucian kepada si Bayi dimohonkan di dapur, di
sumur/tempat mengambil air dan di Merajan/Sanggah Kemulan (Tempat Suci
Keluarga). Upacara Tutug Sambutan (Upacara setelah bayi berumur 105 hari),
adalah upacara suci yang tujuannya untuk penyucian Jiwatman dan penyucian badan
si Bayi seperti yang dialami pada waktu acara Tutug Kambuhan. Pada upacara ini
nama si bayi disyahkan disertai dengan pemberian perhiasan terutama gelang,
kalung/badong dan giwang/subeng, melobangi telinga.
Upacara Mepetik merupakan upacara suci yang bertujuan
untuk penyucian terhadap si bayi dengan acara pengguntingan / pemotongan rambut
untuk pertama kalinya. Apabila keadaan ubun-ubun si bayi belum baik, maka
rambut di bagian ubun-ubun tersebut dibiarkan menjadi jambot (jambul) dan akan
digunting pada waktu upacara peringatan hari lahir yang pertama atau sesuai
dengan keadaan. Upacara Mepetik ini adalah merupakan rangkaian dari upacara
Tutug Sambutan yang pelaksanaannya berupa 1 (satu) paket upacara dengan upacara
Tutug Sambutan.
6. Upacara nelu bulanin (umur 3 bulan) -
Niskramana Samskara
Upacara yang dilakukan pada saat bayi berumur 105
hari, atau tiga bulan dalam hitungan pawukon.
Sarana Upakara
kecil:
panglepasan, penyambutan, jejanganan, banten kumara dan tataban.
Sarana Upakara besar: panglepasan, penyambutan, jejanganan,
banten kumara, tataban, pula gembal, banten panglukatan, banten turun tanah.
Waktu Upacara ini dilakukan pada saat anak berusia 105
hari. Bila keadaan tidak memungkinkan, misalnya, keluarga itu tinggal di
rantauan dan ingin upacaranya dilangsungkan bersama keluarga besar sementara si
anak terlalu kecil untuk dibawa pergi jauh, upacara bisa ditunda. Biasanya
digabungkan dengan upacara 6 bulan. Tempat Seluruh rangkaian upacara bayi tiga
bulan dilaksanakan di lingkungan rumah. Pelaksana Upacara ini dipimpin oleh
Pandita atau Pinandita.
Tata Cara :
1. Pandita / Pinandita
memohon tirtha panglukatan.
2. Pandita / Pinandita
melakukan pemujaan, memerciki tirtha pada sajen dan pada si bayi.
3. Bila si bayi akan memakai perhiasan-perhiasan
seperti gelang, kalung dan lain-lain, terlebih dahulu benda tersebut
diparisudha dengan diperciki tirtha.
4. Doa dan persembahyangan untuk si bayi, dilakukan
oleh ibu bapaknya diantar oleh Pandita / Pinandita.
5. Si bayi diberikan tirtha
pengening (tirtha amertha) kernudian ngayab jejanganan.
6. Terakhir si bayi diberi
natab sajen ayaban, yang berarti memohon keselamatan.
7. Upacara satu oton - (Otonan)
Upacara yang dilakukan setelah bayi berumur 210 hari
atau enam bulan pawukon. Upacara ini bertujuan untuk menebus
kesalahan-kesalahan dan keburukan-keburukan yang terdahulu, sehingga dalam
kehidupan sekarang mencapai kehidupan yang lebih sempurna.
Sarana
Upakara kecil: Prayascita, parurubayan, jajanganan,
tataban, peras, lis, banten pesaksi ke bale agung (ajuman) sajen turun tanah
dan sajen kumara.
Upakara yang lebih besar: Prayascita, parurubayan, jejanganan,
tataban, peras, lis, banten pesaksi ke bale agung (ajuman) sajen turun tanah,
sajen kumara, ditambah gembal bebangkit.
Waktu Upacara wetonan dilaksanakan pada saat bayi
berusia 210 hari. Pada saat itu kita akan bertemu dengan hari yang sama seperti
saat lahimya si bayi (pancawara, saptawara, dan wuku yang sama). Selanjutnya
boleh dilaksanakan setiap 210 hari, semacam memperingati hari ulang tahun.
Tentu saja semakin dewasa, semakin sederhana bantennya.
Tempat Seluruh rangkaian upacara ini dilaksanakan di
rumah. Pelaksana Upacara dipimpin oieh Pandita / Pinandita atau oleh keluarga
tertua.
Tata cara:
1. Pandita / Pinandita sebagai pimpinan upacara
melakukan pemujaan untuk memohon persaksian terhadap Hyang Widhi Wasa dengan
segala manifestasinya.
2. Pemujaan terhadap Siwa
Raditya (Suryastawa).
3. Penghormatan terhadap
leluhur.
4. Pemujaan saat pengguntingan rambut (potong rambut).
Ini dilakukan pertama kali, untuk wetonan selanjutnya tidak dilakukan.
5. Pemujaan saat pawetonan
dan persembahyangan.
8. Upacara tumbuh gigi (Ngempugin)
Upacara yang dilakukan pada saat anak tumbuh gigi yang
pertama. Upacara ini bertujuan untuk memohon agar gigi si anak tumbuh dengan
baik.
Sarana :
Upacara kecil : Petinjo kukus dengan telor.
Upacara besar : Petinjo kukus dengan ayam atau
itik, dilengkapi dengan tataban.
Waktu Upacara ini dilaksanakan pada saat bayi tumbuh
gigi yang pertama dan sedapat mungkin tepat pada waktu matahari terbit. Tempat
Keseluruhan rangkaian upacara dilaksanakan di rumah. Pelaksana Upacara ini
dipimpin oleh seorang pandita / pinandita atau salah seorang anggota keluarga
tertua.
Tata Cara :
1. Pemujaan terhadap Hyang Widhi Wasa dengan
mempersembahkan segala sesajen yang tersedia.
2. Si bayi natab mohon
keselamatan.
3. Selesai upacara si bayi diberikan sesajen tadi
untuk dinikmatinya dan selanjutnya gusinya digosok-gosok dengan daging dari
sesajen.
9. Upacara tanggalnya gigi pertama
(Makupak)
Upacara ini bertujuan mempersiapkan si anak untuk
mempelajari ilmu pengetahuan.
Sarana :
1. Banten byakala dan sesayut
tatebasan.
2. Canang sari.
Waktu Saat si anak untuk pertama kalinya mengalami
tanggal gigi. Upacara ini dapat pula disatukan dengan wetonan berikutnya.
Tempat Keseluruhan rangkaian upacara dilaksanakan di rumah. Pelaksana Upacara
dipimpin oleh keluarga tertua.
Tata Cara :
1. Pemujaan mempersembahkan
sesajen kehadapan Hyang Widhi Wasa.
2. Si anak bersembahyang.
3. Setelah selesai
sembahyang, dilanjutkan dengan natab sesayut / tetebasan.
4. Si anak diperciki tirtha.
10. Upacara menek deha (Rajaswala)
Upacara ini dilaksanakan pada saat anak menginjak
dewasa. Upacara ini bertujuan untuk memohon ke hadapan Hyang Samara Ratih agar
diberikan jalan yang baik dan tidak menyesatkan bagi si anak.
Sarana :
Banten pabyakala, banten prayascita, banten dapetan,
banten sesayut tabuh rah (bagi wanita), banten sesayut ngraja singa (bagi
Iaki-laki), banten padedarian.
Waktu Upacara menginjak dewasa (munggah deha)
dilaksanakan pada saat putra/ putrid sudah menginjak dewasa. Peristiwa ini akan
terlihat melalui perubahan-perubahan yang nampak pada putra-putri. Misalnya
pada anak Iaki-laki perubahan yang menonjol dapat kita saksikan dari sikap dan
suaranya. Pada anak putri mulai ditandai dengan datang bulan (menstruasi)
pertama.
Orang tua wajib melaksanakan upacara meningkat dewasa
(munggah deha) ini. Tempat Upacara dilaksanakan di rumah. Pelaksana Dilakukan
oleh Pandita / Pinandita atau yang tertua di dalam lingkungan keluarga.
Tata Cara :
Dalam upacara meningkat dewasa, pertama-tama putra /
putri yang diupacarai terlebih dahulu mabyakala dan maprayascita. Setelah itu
dilanjutkan dengan natab sesayut tabuh rah (bagi yang putri), sayut raja singa
bagi yang putra.
Ciri-ciri anak telah meningkat dewasa.
Siklus kehidupan makhluk didunia adalah lahir, hidup
dan mati (kembali keasalnya). Manusia hidup di dunia mengalami beberapa phase
yaitu, fase anak-anak, pada fase ini anak dianggap sebagai raja, semua
permintaannya dipenuhi. Phase berikutnya adalah pada masa anak meningkat
dewasa. Saat ini anak itu tidak lagi dianggap sebagai raja, tetapi sebagai
teman. Orang tua memberikan nasehat kepada anak-anaknya dan anak itu bisa
menolak nasehat orang tuanya bila kondisi dan lingkungannya tidak mendukung,
artinya terjadi komunikasi timbal balik atau saling melengkapi. Dan yang
terakhir adalah phase tua, di sini anak tadi menjadi panutan bagi
penerusnya.
Sebagai tanda dari kedewasaan seseorang adalah
suaranya mulai membesar /berubah/ngembakin (bahasa Bali) bagi laki-laki dan
bagi perempuan pertama kalinya ia mengalami datang bulan. Sejak saat ini
seseorang mulai merasakan getar-getar asmara, karena Dewa Asmara mulai
menempati lubuk hatinya. Bila perasaan getar-getar asmara ini tidak dibentengi
dengan baik akan keluar dari jalur yang sebenarnya.
Perasaan getar-getar asmara itu dibentengi melalui dua
jalur yaitu, jalur niskala, membersihkan jiwa anak dengan mengadakan Upacara
yang disebut Raja Sewala dan jalur sekala, dengan memberikan wejangan-wejangan
yang bermanfaat bagi dirinya.
Upacara Raja Sewala ini sesuai dengan apa yang
diungkapkan didalam Agastya Parwa bahwa, disebutkan ada tiga perbuatan yang
dapat menuju sorga, yaitu: Tapa (pengendalian), Yadnya (persembahan yang tulus
iklas) dan Kirti (perbuatan amal kebajikan) Upacara Raja Sewala merupakan
Yadnya (persembahan yang tulus iklas) yang membuat peluang bagi keluarganya
untuk masuk sorga.
Nilai pendidikan
Upacara Raja Sewala/meningkat dewasa yang dilakukan
oleh umat Hindu adalah merupakan salah satu jenis Upacara Manusa Yadnya yang
bertujuan untuk memohon kehadapan Sanghyang Widhi Waça (Tuhan Yang Maha Esa)
dalam menifestasinya sebagai Sang Hyang Semara Ratih, agar orang itu dibimbing,
sehingga ia dapat mengendalikan dirinya dalam menghadapi Pancaroba. Pada masa
pancaroba ini seseorang sangat rentan terhadap godaan-godaan khususnya godaan
dari Sad Ripu yaitu: Kroda (sifat marah), Loba (rakus/tamak), Kama
(nafsu/keinginan), Moha (kebingungan), Mada (kemabukan), dan Matsarya (rasa iri
hati).
Pada Upacara ini juga terselip nilai pendidikan. Anak
diberikan wejangan-wejangan yang menyatakan bahwa dirinya telah tumbuh dewasa,
apapun yang akan diperbuatnya akan berakibat juga kepada orang tuanya. Jadi
anak itu tidak bebas begitu saja menerjunkan diri dalam pergaulan dimasyarakat.
Dia harus tahu mana yang pantas untuk dilakukan dan mana yang dilarang. Dalam
hal ini anak-anak juga merasa mendapat perhatian dari orang tuanya sehingga
menimbulkan rasa lebih hormat kepada orang tuanya.
Melalui Upacara Raja Sewala/Meningkat dewasa ini
diharapkan seseorang dapat meningkatkan kesucian pribadinya sehingga mampu
memilih dan memilah mana yang baik dan mana yang buruk.
11.Upacara potong gigi (mepandes / metatah)
Upacara ini bertujuan untuk mengurangi pengaruh Sad
Ripu yang ada pada diri si manak.
Sarana :
1. Sajen sorohan dan suci
untuk persaksian kepada Hyang Widhi Wasa.
2. Sajen pabhyakalan prayascita, panglukatan, alat
untuk memotong gigi beserta perlengkapannya seperti: cermin, alat pengasah
gigi, kain untuk rurub serta sebuah cincin dan permata, tempat tidur yang sudah
dihias.
3. Sajen peras daksina,
ajuman dan canang sari, kelapa gading dan sebuah bokor.
4. Alat pengganjal yang dibuat dari potongan kayu
dadap. Belakangan dipakai tebu, supaya lebih enak rasanya.
5. Pengurip-urip yang terdiri
dari kunyit serta pecanangan lengkap dengan isinya.
Waktu Upacara ini dilaksanakan setelah anak meningkat
dewasa, namun sebaiknya sebelum anak itu kawin. Dalam keadaan tertentu dapat
pula dilaksanakan setelah berumah tangga. Tempat Seluruh rangkaian upacara
potong gigi dilaksanakan di rumah dan di pemerajan. Pelaksana Upacara potong
gigi dilaksanakan oleh Pandita/Pinandita dan dibantu oleh seorang sangging
(sebagai pelaksana langsung).
Tata Cara :
1. Yang diupacarai terlebih
dahulu mabhyakala dan maprayascita.
2. Setelah itu dilanjutkan
dengan muspa ke hadapan Siwa Raditya memohon kesaksian.
3. Selanjutnya naik ke tempat upacara menghadap ke
hulu. Pelaksana upacara mengambil cincin yang dipakai ngerajah pada
bagian-bagian seperti: dahi, taring, gigi atas, gigi bawah, lidah, dada, pusar,
paha barulah diperciki tirtha pesangihan.
4. Upacara dilanjutkan oieh
sangging dengan menyucikan peralatannya.
5. Orang yang diupacari diberi pengganjal dari tebu
dan giginya mulai diasah, bila sudah dianggap cukup diberi pengurip-urip.
6. Setelah diberi pengurip-urip dilanjutkan dengan
natab banten peras kernudian sembahyang ke hadapan Surya Chandra dan
Mejaya-jaya.
Acuan
Sumber sastra mengenai upacara potong gigi adalah
lontar Kala Pati,kala tattwa, Semaradhana, dan sang Hyang Yama.dalam lontar
kala Pati disebutkan bahwa potong gigi sebagai tanda perubahan status seseorang
menjadi manusia sejati yaitu manusia yang berbudi dan suci sehingga kelak di
kemudian hari bila meniggal dunia sang roh dapat bertemu dengan para leluhur di
sorga Loka.Lontar Kala tattwa menyebutkan bahwa Bathara Kala sebagai putra Dewa
Siwa dengan Dewi Uma tidak bisa bertemu dengan ayahnya di sorga sebelum
taringnya dipotong. Oleh karena itu, manusia hendaknya menuruti jejak Bathara
kala agar rohnya dapat bertemu dengan roh leluhur di sorga.dalam lontar
Semaradhana disebutkan bahwa Bethara Gana sebagai putra Dewa Siwa yang lain
dapat mengalahkan raksasa Nilarudraka yang menyerang sorgaloka dengan
menggunakan potongan taringnya.
Selain itu disebutkan bahwa Bethara Gana lahir dari
Dewi Uma setelah Dewa Siwa dibangunkan Dari tapa semadhinya oleh Dewa Semara
(Asmara) namun kemudian Dewa Siwa menghukum Dewa Semara bersama istrinya, Dewi
Ratih,dengan membakarnya sampai menjadi abu. kemudian menyebarkan abu tersebut
ke dunia dan mengutuk manusia agar tidak bisa hidup tanpa berpasangan (laki-perempuan)
dalam suami istri. Dalam lontar Sang Hyang yama disebutkan bahwa upacara potong
gigi boleh dilaksanakan bila naka sudah menginjak dewasa, ditandai dengan
menstruasi untuk wanita dan suara yang membesar untuk pria. Biasanya hal ini
muncul di kala usia 14 tahun.
Tujuan Upacara Potong Gigi
Tujuan upacara potong gigi dapat disimak lebih lanjut
dari lontarkalapati dimana disebutkan bahwa gigi yang digosok atau diratakan
dari gerigi adalah enam buah yaitu dua taring dan empat gigi seri di atas. Pemotongan
enam gigi itu melambangkan symbol pengendalian terhadap sad Ripu (enam musuh
dalam diri manusia). Meliputi kama (hawa nafsu), Loba (rakus), Krodha (marah),
mada (mabuk), moha (bingung), dan Matsarya (iri hati). Sad Ripu yang tidak
terkendalikan ini akan membahayakan kehidupan manusia, maka kewajiban setiap
orang tua untuk menasehati anak-anaknya serta memohon kepada Hyang Widhi Wasa
agar terhindar dari pengaruh sad ripu.Makna yang tersirat dari mitologi Kala
Pati, kala Tattwa, dan Semaradhana ini adalah mengupayakan kehidupan manusia
yang selalu waspada agar tidak tersesat dari ajaran agama (dharma) sehingga di
kemudian hari rohnya dapat yang suci dapat mencapai surge loka bersama roh suci
para leluhur, bersatu dengan Brahman (Hyang Widhi).Dalam pergaulan mudamudi pun
diatur agar tidak melewati batas kesusilaan seperti yang tersirat dari lontar
Semaradhana.
Upacara potong gigi biasanya disatukan dengan upacara
Ngeraja Sewala atau disebutkan pula sebagai upacara “menek kelih”, yaitu
upacara syukuran karena si anak sudah menginjak dewasa,meninggalkan masa
anak-anak menuju ke masa dewasa.
Urutan Upacara :
1. Setelah sulinggih ngarga tirta,mereresik dan
mapiuning di Sangah Surya,maka mereka yang akan mepandes dilukat dengan
padudusan madya,setelah itu mereka memuja Hyang raitya untuk memohon
keselamatan dalam melaksanakan upacara.
2. Potong rambut dan merajah dilaksanakan dengan
tujuan mensucikan diri serta menandai adanya peningkatan status sebagai manusia
yaitu meningalkan masa anak-anak ke masa remaja.
3. Naik ke bale tempat mepandes dengan terlebih dahulu
menginjak caru sebagai lambing keharmonisan,mengetukkan linggis tiga kali
(Ang,Ung,Mang) sebagai symbol mohon kekuatan kepada Hyang Widhi dan ketiak kiri
menjepit caket sebagai symbol kebulatan tekad untuk mewaspadai sad ripu.
4. Selama mepandes,air kumur dibuang di sebuah nyuh
gading afar tidak menimbulkan keletehan.
5. Dilanjutkan dengan mebiakala sebagai sarana
penyucian serta menghilangkan mala untuk menyongsong kehidupan masa remaja.
6. Mapedamel berasal dari kata “dama” yang artinya
bijaksana.Tujuan mapedamel setelah potong gigi adalah agar si anak dalam
kehidupan masa remaja dan seterusnya menjadi orang yang bijaksana,yaitu tahap
menghadapi suka duka kehidupan,selalu berpegang pada ajaran agama
Hindu,mempunyai pandangan luas,dan dapat menentukan sikap yang baik, karena
dapat memahami apa yang disebut dharma dan apa yang disebut adharma.Secara
simbolis ketika mepadamel,dilakukan sebagai berikut :
• Mengenakan kain putih,kampuh kuning,dan selempang
samara ratih sebagai symbol restu dari Dewa Semara dan Dewi Ratih (berdasarkan
lontar Semaradhana tersebut).
• Memakai benang pawitra berwarna tridatu
(merah,putih,hitam) sebagai symbol pengikatan diri terhadap norma-norma agama.
• Mencicipi Sad rasa yaitu enam rasa berupa rasa pahit
dan asam sebagai simbol agar tabah menghadapi peristiwa kehidupan yang
kadang-kadang tidak menyenangkan, rasa pedas sebagai simbol agar tidak menjadi
marah bila mengalamai atau mendengar hal yang menjengkelkan, rasa sepat sebagai
symbol agar taat ada peraturan atau norma-norma yang berlaku, rasa asin sebagai
simbol kebijaksanaan, selalu meningkatkan kualitas pengetahuan karena
pembelajaran diri, dan rasa manis sebagai symbol kehidupan yang bahagia lahir
bathin sesuai cita-cita akan diperoleh bilamana mampu menhadapi pahit getirnya
kehidupan, berpandangan luas, disiplin, serta enantiasa waspada dengan adanya
sad ripu dalam diri manusia.
7. Natab banten,tujuannya memohon anugerah Hyang Widhi
agar apa yang menjadi tujuan melaksanakan upacara dapat tercapai.
8. Metapak,mengandung makna tanda bahwa kewajiban
orang tua terhadap anaknya dimulai sejak berada dalam kandungan ibu sampai
menajdi dewasa secara spiritual sudah selesai,makna lainnya adalah ucapan
terima kasih si anak kepada orang tuanya karena telah memelihara dengan
baik,serta memohon maaf atas kesalahan-kesalahan anak terhadap orang tua,juga
mohon doa restu agar selamat dalam menempuh kehidupan di masa datang.
Demikianlah sekilas makna dari upacara potog gigi atau
mepandes.Istilah lainnya yang digunakan untuk Upacara ini di Bali adalah
mesangih.
12. Upacara Perkawinan (Pawiwahan /
Wiwaha)
Hakekatnya adalah upacara persaksian ke hadapan Tuhan
Yang Maha Esa dan kepada masyarakat bahwa kedua orang yang bersangkutan telah
mengikatkan diri sebagai suami-istri.
Sarana
1. Segehan cacahan warna
lima.
2. Api takep (api yang dibuat
dari serabut kelapa).
3. Tetabuhan (air tawar,
tuak, arak).
4. Padengan-dengan/
pekala-kalaan.
5. Pejati.
6. Tikar dadakan (tikar kecil
yang dibuat dari pandan).
7. Pikulan (terdiri dari cangkul, tebu, cabang kayu
dadap yang ujungnya diberi periuk, bakul yang berisi uang).
8. Bakul.
9. Pepegatan terdiri dari dua
buah cabang dadap yang dihubungkan dengan benang putih.
Waktu Biasanya dipilih hari yang baik, sesuai dengan
persyaratannya (ala-ayuning dewasa). Tempat Dapat dilakukan di rumah mempelai
Iaki-laki atau wanita sesuai dengan hokum adat setempat (desa, kala, patra).
Pelaksana Dipimpin oleh seorang Pendeta / Pinandita / Wasi / Pemangku.
Tata cara
1. Sebelum upacara natab banten pedengan-dengan,
terlebih dahulu mempelai mabhyakala dan maprayascita.
2. Kemudian mempelai mengelilingi sanggah Kamulan dan
sanggah Pesaksi sebanyak tiga kali serta dilanjutkan dengan jual beli antara
mempelai Iaki-laki dengan mempelai wanita disertai pula dengan perobekan tikar
dadakan oleh mempelai Iaki-laki.
3. Sebagai acara terakhir dilakukan mejaya-jaya dan
diakhiri dengan natab banten dapetan. Bagi Umat Hindu upacara perkawinan
mempunyai tiga arti penting yaitu :
- Sebagai upacara suci yang tujuannya untuk penyucian
diri kedua calon mempelai agar mendapatkan tuntunan dalam membina rumah tangga
dan nantinya agar bisa mendapatkan keturunan yang baik dapat menolong
meringankan derita orang tua/leluhur.
- Sebagai persaksian secara lahir bathin dari seorang
pria dan seorang wanita bahwa keduanya mengikatkan diri menjadi suami-istri dan
segala perbuatannya menjadi tanggung jawab bersama.
- Penentuan status kedua mempelai, walaupun pada
dasarnya Umat Hindu menganut sistim patriahat (garis Bapak) tetapi dibolehkan
pula untuk mengikuti sistim patrilinier (garis Ibu). Di Bali apabila kawin
mengikuti sistem patrilinier (garis Ibu) disebut kawin nyeburin atau nyentana
yaitu mengikuti wanita karena wanita nantinya sebagai Kepala Keluarga.
Upacara Pernikahan ini dapat dilakukan di halaman
Merajan/Sanggah Kemulan ( Tempat Suci Keluarga) dengan tata upacara yaitu kedua
mempelai mengelilingi Sanggah Kemulan ( Tempat Suci Keluarga ) sampai tiga kali
dan dalam perjalanan mempelai perempuan membawa sok pedagangan ( keranjang
tempat dagangan) yang laki memikul tegen-tegenan (barang-barang yang dipikul)
dan setiap kali melewati “Kala Sepetan”(upakara sesajen yang ditaruh di tanah)
kedua mempelai menyentuhkan kakinya pada serabut kelapa belah tiga.
Setelah tiga kali berkeliling, lalu berhenti kemudian
mempelai laki berbelanja sedangkan mempelai perempuan menjual segala isinya
yang ada pada sok pedagangan (keranjang tempat dagangan), dilanjutkan dengan
merobek tikeh dadakan (tikar yang ditaruh di atas tanah), menanam pohon kunir,
pohon keladi (pohon talas) serta pohon endong dibelakang sanggar
pesaksi/sanggar Kemulan (Tempat Suci Keluarga) dan diakhiri dengan melewati
"Pepegatan" (Sarana Pemutusan) yang biasanya digunakan benang
didorong dengan kaki kedua mempelai sampai benang tersebut putus.
Sekian dulu ya, semoga artikel ini berguna buat Anda. jangan lupa kunjungi terus TUTORIAL & LIFESTYLE, dan dapatkan Update artikel terbaru kami.
Sekian dulu ya, semoga artikel ini berguna buat Anda. jangan lupa kunjungi terus TUTORIAL & LIFESTYLE, dan dapatkan Update artikel terbaru kami.
0 comments:
Post a Comment