Dalam
pandangan agama Hindu di Bali Hyang Widhi adalah "Sang sangkanparaning
dumadi" artinya, Hyang Widhi sebagai asal dan tujuan hidup manusia,
sehingga manusia memposisikan dirinya sebagai hamba Hyang Widhi.
Kesadaran
seperti ini menumbuhkan bhakti marga antara lain dalam bentuk yadnya.Upacara
Yadnya yang didasari oleh perasaan tulus iklas dan bakti adalah suatu kegiatan
baik. Kegiatan ini bisa dilakukan dalam ruang lingkup perorangan maupun
kegiatan kelompok masyarakat misalnya upacara-upacara: mapiuning,pengaci,
mapajati, bhakti pamungkah, dll. yang realisasinya mendapat pengesyahan dari :
"Tri upasaksi" yaitu : Bhuta saksi, Manusa saksi, dan Dewa saksi.
Prajuru-prajuru adat berperan sebagai manusa saksi. Adat sering pula berperan
sebagai : perancang, pelaksana, dan pengawas suatu upacara keagamaan pada
kelompoknya.Dalam tulisan ini saya akan melihat fungsi dan peranan sulinggih
dalam kegiatan keagaman di Bali.
Dalam
lontar Ekapratama disebutkan bahwa terdapat tiga kelompok Sulinggih
masing-masing bertugas sebagai berikut : kelompok Sulinggih yang berpaham
Bujangga amretista Bhurloka, kelompok Sulinggih yang berpaham Bodda amretista
Bwahloka,dankelompok Sulinggih yang
berpaham
Siwa amretista Swahloka.
Sulinggih
dalam tradisi Hindu merupakan orang yang sangat dihormati, beliau adalah orang
yang dianggap terlahir untuk yang kedua kalinya (Dwijati), setelah kelahiran
dari orang tuanya, maka secara simbolis beliau dianggap lahir untuk yang kedua
kalinya melalui rahim Weda. Kata sulinggih sendiri berarti tempat duduk yang
baik dan terhormat, walaka yang telah melinggih,
duduk,ditempat,yang,baru,meninggalkan,kewalakaannya,melalui,ritual,
pediksaan/dwijati,yang,khusus.
jadi seorang sulinggih adalah beliau yang memang selayaknya diberikan tempat
terhormat karena kesucian dan pemahamannya terhadap sastra-sastra suci.
Sulinggih dikenal dengan berbagai sebutan sesuai dengan konteks warga/kasta
mereka masing-masing .
Dari warga Ida Bagus/Dayu diberi sebutan Ida Pedanda, dari warga Pasek memberinya nama Sri Mpu, dari warga Pande memberi nama Sira Empu, dari warga Bujangga disebut Rsi, sementara dari sampradaya yang ada, misalnya dari Kesadaran Krisna memberi nama Brahmana, dan masih ada lagi yang lainnya di luar Bali, seperti romo, pandita, basir, dll.
Pada Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hindu ke-14 tahun 1986/1987 tentang Pedoman Pelaksanaan Diksa, ditetapkan sebagai berikut : Umat Hindu dari segala warga yang memenuhi syarat-syarat : 1. Laki-laki yang sudah kawin dan yang nyuklabrahmacari 2. Wanita yang sudah kawin dan yang tidak kawin (kania)3. Pasangan suami/istri 4. Umur minimal 40 tahun 5. Paham Bahasa Kawi, Sanskerta, Indonesia, memiliki pengetahuan umum, pendalaman intisari ajaran-ajaran agama 6. Sehat lahir bathin dan berbudi luhur sesuai dengan sesana . 7. Berkelakuan baik, tidak pernah tersangkut perkara pidana 8. Mendapat tanda kesediaan dari pendeta calon Nabe-nya yang akan menyucikan 9. Sebaiknya tidak terikat akan pekerjaan sebagai pegawai negeri ataupun swasta kecuali bertugas untuk hal keagamaan
Dalam kitab Sarasamusccaya beliau diberi predikat :
-Satya Wadi : selalu menyuarakan kebenaran
-Satya Apta: beliau yang patut dihormati dan diteladani
-Sang Patirthan : sebagai tempat umat mendapatkan penyucian
-Sang Penadahan Upadesa : beliau yang memberikan penerangan spiritual kepada umatnya yang berada dalam kegelapan.
Dari warga Ida Bagus/Dayu diberi sebutan Ida Pedanda, dari warga Pasek memberinya nama Sri Mpu, dari warga Pande memberi nama Sira Empu, dari warga Bujangga disebut Rsi, sementara dari sampradaya yang ada, misalnya dari Kesadaran Krisna memberi nama Brahmana, dan masih ada lagi yang lainnya di luar Bali, seperti romo, pandita, basir, dll.
Pada Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hindu ke-14 tahun 1986/1987 tentang Pedoman Pelaksanaan Diksa, ditetapkan sebagai berikut : Umat Hindu dari segala warga yang memenuhi syarat-syarat : 1. Laki-laki yang sudah kawin dan yang nyuklabrahmacari 2. Wanita yang sudah kawin dan yang tidak kawin (kania)3. Pasangan suami/istri 4. Umur minimal 40 tahun 5. Paham Bahasa Kawi, Sanskerta, Indonesia, memiliki pengetahuan umum, pendalaman intisari ajaran-ajaran agama 6. Sehat lahir bathin dan berbudi luhur sesuai dengan sesana . 7. Berkelakuan baik, tidak pernah tersangkut perkara pidana 8. Mendapat tanda kesediaan dari pendeta calon Nabe-nya yang akan menyucikan 9. Sebaiknya tidak terikat akan pekerjaan sebagai pegawai negeri ataupun swasta kecuali bertugas untuk hal keagamaan
Dalam kitab Sarasamusccaya beliau diberi predikat :
-Satya Wadi : selalu menyuarakan kebenaran
-Satya Apta: beliau yang patut dihormati dan diteladani
-Sang Patirthan : sebagai tempat umat mendapatkan penyucian
-Sang Penadahan Upadesa : beliau yang memberikan penerangan spiritual kepada umatnya yang berada dalam kegelapan.
Dalam Lontar Ekapratama, Sang Sadaka disebut pula sebagai
“Sang Katrini Katon” yaitu “Wakil Hyang Widhi di dunia yang terlihat oleh
manusia sehari-hari”.
Kemudian kitab Taiteria Upanisad menyebutkan bahwa Sang Sadaka
juga adalah“Acharya Dewa Bhawa” yaitu “Perwujudan Dewa di dunia” karena
kesucian lahir bathin dan dharma bhaktinya kepada manusia di dunia.
Fungsi Sulinggih :
1. Memimpin warga dalam upaya mencapai kebahagiaan rohani
sesuaidengan perannya sebagai "Guru Loka".
2. "Ngelokaparasraya" yaitu menjadi
sandaran/tempat bertanya tentang kerohanian,pelindung /penuntun dan pengayom
masyarakat di bidang
Agama Hindu, memberi petunjuk dan bimbingan di bidang
tattwa, susila, dan upacara “ muput” upacara ritual atas permintaan warga.
Lokaparasraya berasal dari Lokapalasraya, atau
Loka-Pala-Asraya. Loka artinya masyarakat, Pala artinya melindungi, dan Asraya
artinya dekat bersandar. Jadi lokaparasraya artinya tempat berlindung mencari
kedamaian dan ketentraman serta tempat bersandar masyarakat (pasif) dan menjadi
pengayom, pembela, panutan, pendidik masyarakat (aktif).
Menurut konsepsinya semua sulingih berwenang muput segala
upacara/upakara yadnya.Dalam kitab suci yang tergolong Smerti seperti Manawa
Dharma sastra X.4 dan Sarascamucaya 55 secara konsepsional menegaskan bahwa
semua golongan warna yaitu Brahma,Ksatria,dan Waisya kecuali Sudra boleh
melakukan dwijati.Artinya bisa dinobatkan sebagai sulinggih (pandita)sekaligus
memiliki wewenang untuk memuput upacara Panca Yadnya dengan segala
tingkatannnya.
Melalui sabda Parisadha Hindu Dharma II tahun 1968 juga
telah dikeluarkan Surat keputusan PHDP Nomor :V/Kep.PHDP/68 tentang Tata
Keagaman (Kesulinggihan,Upacara dan Tempat Suci) yang kemudian dipertegas
berdasarkan keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap aspek aspek Agama Hindu
ke 14 tahun 1986/1987 tentang Pedoman Pelaksanaan Diksa dimana dinyatakan bahwa
semua umat Hindu dari segalan warga yang telah memenuhi syarat syarat
sebagaimana ditenetukan dapat dan boleh disucikan(didiksa) sebagai
pandita.Tentunya dengan abhiseka (gelar)yang berbeda seperti Pedanda(Brahmana)
Bhagawan (Ksatria),Resi(Waisya),Bhujangga(Weswawa),Empu
(Pande),Dukuh(Pasek).Kesua sulinggih dari dari kelompok warga yang berbeda beda
ini tentunya sama kedudukannya dan wewengannya dalam memimpin upacara Panca
Yadnya.Bahwa kemudian di dalam kenyataan terdapat perbedaan perlakuaan agaknya
persoalannya tidak bisa dilepaskan dari situasi sejarah di waktu lampau).
Sebagaimana diketahui dizaman dimana kerajaan menjadi faktor
sentral dalam mengatur tatanan kehidupan termasuk kehidupan beragama,raja
selakusang penguasa mempunyai hak dan wewenang penuh untuk mengatur dengan
membuat ketentuan ketentuan yang dipandang patut pada saat itu.Ketentuan-ketentuan
itu adakalanya disuratkandi dalam lontar yang setelah melaui proses pasupati
dijadikan pedoman untuk ditaati seketurunannya.Didalam Ekapratama yang
menyuratkan bahwa yang bertugas atau berwenang muput upacara Panca Yadnya
adalah Tri Sadaka yang terdiri dari Siwa,Pandita Boda,Pandita Bhujangga .Ketiga
pandita inilah yang disebut sebut berfungsi sebagai Sang Tri Bhuwana
Katon.Disuratkan Saking Brahma aji metu tikang Katrini anua ingaran Sang
Siwa,pemade ingaran Sang Boda kapitut ngaran Sang Bujangga.maksudnya dari
Brahman(Hyang Widi)lahir Sang Katrini.Yang tertua bernama Sang Siwa,yang kedua
bernama Sang Boda dan yang terkecil bernama Sang Bhujangga.Ketiga pandita ini
pula yang dikatakan berperan dalam penyucian Tri Buwana yaitu Sang Siwa
menyucikan Swahloka(Sorga) Sang Boda menyucikan Bhuwahloka (langit) dan Sang
Bhujangga menyucikan Bhurloka(dunia)
Disamping
dalam lingkup penyelenggaraan upacara, Sulingggih berperan pula sebagai
pemikir dan pendorong emosional bagi warganya kearah bhakti pada Hyang Widhi.
Unsur kesucian perorangan dan lingkungan dalam kaitan penghormatan dan
pengabdian kepada Hyang Widhi diwujudkan dalam awig tentang cuntaka dan kekeran
desa oleh adat atas petunjuk dari Sulinggih.
sumber : http://cocoon-myblog.blogspot.com/2009_06_01_archive.html
0 comments:
Post a Comment