Sosiologi
Agama
“Masyarakat
Hindu Bali Sebelum Dan Sesudah Kedatangan Majapahit”
Dosen
Pengempu: I Gusti Made Arya Suta Wirawan S.Hum., M.Si
Oleh:
WAYAN
TARNA
Sekolah
Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
2015/2016
Masa Sebelum Majapahit
Awal
mula sebelum terbentuknya masyarakat Bali keturunan Majapahit (Wong Majapahi),
masyarakat Bali diperkirakan berasal dari keturunan “Austronesia”. Mereka tinggal berkelompok-kelompok dengan
pemimpinnya masing-masing. Kelompok-kelompok inilah nantinya yang menjadi
desa-desa di Bali; mereka adalah orang Bali Aga yang dikenal dengan nama Pasek
Bali. Bukti peninggalan masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana
ditemukan di Desa Sembiran dan pesisir timur serta tenggara Danau Batur.
Peninggalan-peninggalan itu berupa kapak perimbas, kapak genggam, pahat
genggam, dan serut (Soejono, 1962: 34-43; Heekeren, 1972: 46). Wilayah sekitar
Danau Batur ternyata sudah dihuni jauh sebelum masuknya kekuasaan Majapahit di
Bali, dan dijadikan sebagai salah satu pusat perlawanan oleh masyakat Bali Aga
kepada kekuasan Majapahit di Bali pada masa pemerintahan Sri Kresna Kapakisan.
Danau Batur mungkin dapat disebut sebagai salah satu tempat kebudayaan dan
berdiamnya masyarakat Bali Aga.
Sebelum
masuknya pengaruh Hindu-Buddha, masyarakat Bali masih menganut kepercayaan
nenek moyang yang mereka namakan Hyang. Menurut para ahli, kondisi spiritual
masyarakat Bali pada saat itu masih “kosong”.Keadaan yang demikan ini
berlangsung hingga awal tarikh Masehi, kurang lebih sekitar abad pertama
Masehi. Dengan keadaan Bali yang demikian maka mulailah berdatangan orang-orang
dari luar Bali ke pulau ini. Di samping untuk mengajarkan agama Hindu, mereka
juga ingin “memajukan” Bali dalam segala sektor kehidupan. Untuk hal tersebut
datanglah seorang rsi ke Bali bernama Maharsi Markandeya.
Menurut
sumber-sumber berupa lontar, sastra, dan purana, Maharsi Markandeya berasal
dari India. Seperti dinyatakan sebagai berikut dalam Markandeya
Purana, “Sang Yogi Markandeya kawit hana saking Hindu” (sang yogi
Markandeya asal mulanya adalah dari India). Berdasarkan data yang
ditemukan bahwa nama Markandeya diperkirakan bukan nama perorarangan, melainkan
adalah nama perguruan atau nama pasraman seperti halnya juga nama
Agastya. Perguruan atau pasraman adalah lembaga yang mempelajari dan
mengembangkan ajaran-ajaran dari guru-guru sebelumnya, tradisi yang diturunkan
dari generasi ke generasi untuk melanjutkan tradisi dari guru sebelumnya. Jadi
sang Maharsi Markandeya adalah seorang rsi dari garis perguruan yang namanya
sama dengan nama pendahulunya di India. Ia datang ke Indonesia untuk
menyebarkan agama Hindu, terutama paham Waisnawa (pemuja Wisnu).
Setibanya
di Nusantara, Maharsi Markandeya mendirikan mendirikan asrama di sekitar
Pegunungan Dieng Jawa Tengah. Setelah membuka asrama, akhirnya beliau
melanjutkan perjalanan ke timur, tepatnya ke Bali. Maharsi Markandeya kemudian
menamakan wilayah tersebut dengan nama Wasuki, kemudian berkembang menjadi nama
Basukian dan selanjutnya orang-orang menyebutnya Basuki, yang artinya
“keselamatan”. Hingga saat ini, tempat ini dikenal dengan nama Besakih dan
tempat beliau menanam Panca Datu akhirnya
didirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Besakih. Dan Maharsi Markandeya
mengganti nama Gunung Tohlangkir dengan nama Gunung Agung. Tidak hanya itu
saja, Maharsi Markandeya akhirnya menamakan pulau ini dengan nama Wali yang
berarti “persembahan” atau “korban suci”, dan dikemudian hari dikenal
dengan nama Bali Dwipa atau sekarang dikenal dengan nama Bali, di mana semua
orang akan selamat dan sejahtera dengan melaksanakan
persembahan yajna atau korban suci.
Masa setelah majapahit
Orang-orang
Aga, murid-murid Maharsi Markandeya menetap di desa-desa yang dilalui oleh
beliau. Mereka membaur dengan orang-orang Bali lain, bertani dan bercocok tanam
dengan cara yang sangat teratur, menyelenggarakan yajna seperti yang
di ajarkan oleh Maharsi Markanadeya. Perjalanan sejarah yang begitu panjang,
terutama setelah masuknya kekuasaan Majapahit di Bali yang membawa pengaruh
baru, membuat masyarakat Bali Aga “semakin sedikit” bila dibandingkan dengan
masyarakat Bali wong Majapahit.
Masyarakat
Bali Aga yang sampai saat ini masih taat memegang adat dan istiadat terdapat di
beberapa desa dan salah satunya adalah Desa Tenganan.Berdasarkan beberapa
penelitian, masyarakat yang tinggal di Desa Tenganan adalah suku asli Bali yang
tetap mempertahankan pola hidup tradisional sampai saat ini.Ketaatan masyarakat
pada aturan tradisional desa yang diwariskan nenek moyang mereka secara turun
temurun menjadi sebuah benteng kokoh dari pengaruh luar.
Pada
saat sekarang, penduduk di Danau Batur di Desa Trunyan terkenal sebagai
masyarakat Bali Aga. Mungkin yang melakukan perlawanan terhadap kekuasaan
Majapahit di Bali pada saat pemerintahan Sri Kresna Kapakisan adalah masyarakat
Trunyan, karena pada saat sekarang daerah Danau Batur ada desa Trunyan yang
merupakan masyarakat Bali Aga dan yang melakukan perlawanan terhadap kekuasaan
Majapahit juga adalah masyarakat Bali Aga. Bali Aga sendiri memiliki arti
“penduduk asli Bali” atau “Bali pegunungan”. Penduduk Desa trunyan meyakini
dirinya sebagai Bali turunan, sejak leluhur mereka turun dari langit ke bumi
Trunyan. Nama Desa Trunyan juga bisa diartikan dengan pohon Tru Menyan yaitu
pohon yang menyebarkan bau harum.
Desa
Trunyan ini memiliki banyak keunikan. Salah satunya adalah kebiasaan penduduk
setempat dalam menguburkan mayat. Masyarakat Desa Trunyan, tidak seperti
penduduk Bali kebanyakan yang melakukan upacara ngaben dengan
membakar mayat, meletakkan mayat begitu saja di suatu tempat. Mayat-mayat
tersebut dipagari ancak saji yang terbuat dari bambu berbentuk
kerucut untuk menghindari serangan binatang buas. Peletakan mayat
tersebut hanya berlaku untuk mereka yang meninggalnya secara wajar. Sedangkan
penduduk yang meninggal karena kecelakaan, bunuh diri, terdapat luka atau anak
kecil yang belum tanggal gigi susunya, tetap dikubur seperti penguburan mayat
pada umumnya.
Keberadaan
Desa Tenganan dan Desa Trunyan sebagai sebuah desa adat berusaha melestarikan
nilai-nilai leluhur Bali yang telah diwariskan secara turun temurun dari satu
generasi ke generasi berikutnya.Kedua desa tersebut, sebagai masyarakat Bali
asli, sangat berbeda dengan masyarakat Bali pada umumnya, yaitu masyarakat Bali
yang sudah terpengaruh pada saat Majapahit menguasai Bali.
Kini,
antara Bali Aga dengan wong Majapahit hidup berdampingan, sama-sama menjaga
nilai dan kepercayaan masing-masing. Mereka tinggal di Pulau Bali secara damai,
tidak saling mencurigai, dan saling menghormati satu sama lain. Mereka berada
dalam satu pulau dan satu negara, Indonesia.
0 comments:
Post a Comment