MAKNA
TUMPEK ATAG / TUMPEK UDUH / TUMPEK BUBUH/ DALAM METOLOGI HINDU DI BALI
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
Tumpek
sangat erat kaitannya dengan Kalender Hindu di Bali. Tumpek dalam metologi
Hindu, dimasyarakat awam sering dikatakan otonannya, bisa dibilang ulang tahun
Bali otonan (6 bulan sekali ‘) sutu peringatan sebagai ungkapan rasa syukur dan
trimakasih. Di mana umat Hindu membuat sesajen/upakara untuk memuja Hyang Widhi
Wasa, karena beliau telah melimpahkan segala wara nugraha-Nya kepada kita dari
hasil atau manfaat yang kita dapat manfaatkan untuk membantu kita hidup.
Adapun bebrapa jenis
tumpek menurut Hindu di Bali antara lain:
1. Peringatan Kemaha
Kuasaan Hyang Pasupati diperingati oleh umat hindu di Bali dengan sebutan
Tumpek Landep. Bersyukur kepada Hyang
Maha Pencipta dalam manifestasinya sebagai Hyang Pasupati atas ciptaanya,
sehingga atas analisis dari manusia menggunakan ketajaman Jnananya sehingga
berhasilah mengolah logam logam yang dipergunakan untuk melancarkan usahanya
dalam menunjang kehidupan sehari-hari, sehingga lazimnya pada tumpek ini
sepertinya di katagorikan sebagai sarwa sanjata-senjatanya yang dari Logam,
pada hal yang utama bagaimana ketajaman dari Jnanam kita yang di anugrahi oleh
sang maha pencipta. Yang diupakarai termasuk barang-barang terbuat dari logam
yang mendukung didalam meningkatkan kehidupan sebagai senjata didalam mencari
nafkah atau mata pencarian seperti kendaraan, mesin-mesin dan lainnya yang
terbuat dari logam.
2. Peringatan Kemaha
Kuasaan Hyang Maha Ista Dewata disebut Tumpek Kuningan (hari Raya Kunningan).
Bersyukur kepada Hyang Maha Pencipta dalam manifestasinya sebagai Hyang Iste
dewata atas ciptaanya, sehingga kita sebagai manusia bisa melakukan
penghormatan kepada Raje-Dewata dan Dewati atas jasa yang telah diberikan
kepada kita, sehingga kita bisa meneruskan cita cita para leluhur semasa
hidupnya.
3. Peringatan Kemaha
Kuasaan Hyang Hyang Aji Gurnita disebut tumpek Klurut / khusus dibidang
keindahan dan seni, sehingga atas analisis & usaha manusia bisa menikmati
kesenangannya dalam Keindahan dan seni.
4. Bersyukur kepada
Hyang Maha Pencipta dalam manifestasinya sebagai Hyang Rare angon atas
ciptaanya yang di masyarakat Bali diperingati dnegan Tumpek Uye, sehingga atas
analisys dan usaha manusia bisa memanfaatkan jasa-jasa dari hewan / binatang
baik yang dinikmati langsung maupun yang dikerjakan sebagai pekerja.
5. Bersyukur kepada
Hyang Maha Pencipta dalam manifestasinya sebagai Hyang Iswara atas ciptaanya,
sehingga atas analisys dan usahanya manusia mampu untuk berkreasi dalam
mewujudkan Aikyam, Ciwam, Sundaram, dimasyarakat Bali diperingati dengan
istilah Tumpek Wayang.
6. Peringatan Kemaha
Kuasaan Hyang Sangkara diperingati oleh umat Hindu di Bali berupa Tumpek Wariga
atau disebut Tumpek atag/pengatag, Tumpek Uduh, atau Tumpek Bubuh. Bersyukur
kepada Hyang Maha Pencipta dalam manifestasinya sebagai Hyang Sangkara atas
ciptaanya, atas analisis manusia serta usahanya untuk mengolah tumbuh tumbuhan
sedemikian rupa, sehingga memberikan makna dan berhasil guna untuk memenuhi
kehidupan sehari-hari.
2
Ruang Lingkup
Bali memiliki konsep Tuhan Saguna yang
tiap bagian dari kehidupan mendasar tersebut sangat erat kaitannya dengan dunia
niskala dan sekala, termasuk juga dalam urusan tanaman. Menyadari pentingnya
hal tersebut, tumbuhan pun mendapatkan tempat yang istimewa dalam usaha
memanusiakan alam, karena di Bali, kita mengenal istilah "mendewakan
manusia- memanusiakan Dewa". Mengingat ada beberapa jenis Tumpek seperti
disebutkan diatas maka dalam pembahasan pada makalah ini mengkhususkan tentang
Tumpek atag/pengatag, Tumpek Uduh, atau Tumpek Bubuh maka makalah ini diberi judul Tumpek Atag Dalam Metologi Hindu Di
Bali Dalam Menghormati Ciptaan Hyang Widhi Wasa Sebagai Dewa Kemakmuran
Adapun alasan penulis mengungkap khusu
diperayaan Tumpek Wariga atau disebut Tumpek atag/pengatag, Tumpek Uduh, atau
Tumpek Bubuh karena didalam konsep Hindu di Bali kita mengenal konsep Tri Hita
Karana berasal dari kata “Tri” yang artinya tiga, “Hita” yang artinya
kebahagian, dan “Karana” yang berarti penyebab. Dengan demikian Tri Hita Karana
tiga penyebab terciptanya kebahagian. Konsef kosmologi Tri Hita Karana
merupakan palsafah tangguh. falsafah tersebut memiliki konsep yang dapat
keunikan ragam budaya dan lingkungan, ditengah hantaman globalisasi dan
homogenosasi. Pada dasarnya hakekat ajaran Tri Hita Karana menekankan tiga
hubungan kehidupan dengan manusia di
Dunia ini. Setiap hubungan memiliki pedoman hidup menghargai sesama aspek
sekitarnya. Ketiga itu meliputi hubungan
manusia dengan sesame, manusia dengan alam sekitarnya, manusia dengan Tuhan.
Dalam kenyataan sebagai fenomena dimasyarakat secara umum dari pengamatan
dilapangan bahwa masyarakat Hindu di Bali merayakan hari Tumpek Atag tersebut.
Berdasarkan latar belakang tersebut,
dapat dirumusan suatu pembahasan yang mempunyai arti sangat penting terhadap
pokok pembahasan yang akan tulis yaitu memberi gambaran terhadap pembahasan
serta menghindari pembahasan yang terlalu luas. Adapun rumusan yang akan
dibahas didalam makalah ini antara lain:
1. Apa makna Tumpek
Atag
2. Bagaimana tata cara
pelaksanaan Tumpek Atag
3. Manfaat apa perayaan
Tumpek Atag bagi kehidupan manusia.
3
Maksud Dan Tujuan Penulisan
Maksud penulisan atau
pembahasan tentang Tumpek Atag untuk dapat memberikan informasi lebih lanjut ke
masyarakat tentang gambaran atau pemahaman atau makna Tumpek Atag, memberikan
sumbangsih ke masyarakat tata cara pelaksanaan dan manfaat Tumpek Atag.
Tujuan penulisan
merupakan rumusan kalimat yang menunjukkan bahwa adanya suatu hal yang
diperoleh setelah penulisan makalah selesai. Secara garis besar ada tiga tujuan
yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu antara lain:
1. Untuk mengetahui
makna Tumpek Atag
2. Untuk mengetahui
bagaimana tata cara pelaksanaan Tumpek Atag
3. Untuk mengetahui
manfaat perayaan Tumpek Atag bagi kehidupan manusia.
PEMBAHASAN
Pemerintah Indonesia telah menetapkan
tanggal 28 November sebagai Hari Menanam Pohon Indonesia. Selain itu, Inilah
upaya nyata membangkitkan tradisi menanam pohon di kalangan masyarakat
Indonesia guna mengurangi dampak Global Warming/Pemanasan Global sehingga bumi
tetap nyaman untuk dihuni. Di Bali khususnya dengan masyarakat beragama Hindu,
sejatinya sejak lama sudah memiliki tradisi untuk menghargai segala jenis
tumbuh-tumbuhan (sarwa tumuwuh). Hindu Bali mengenal tradisi hari Tumpek Wariga
(disebut juga Tumpek Pengatag, Tumpek Bubuh serta Tumpek Uduh) yang sejatinya
sebagai hari peringatan agar manusia Bali menyadari betapa besar dan pentingnya
peranan tumbuhan dalam menopang hidup dan kehidupan. Sepatutnya tradisi Tumpek
Wariga disertai dengan penanaman pohon. Namun, yang menonjol selama ini lebih
banyak ritual. Inilah saatnya mereaktualisasi Tumpek Wariga yang dengan kondisi
zaman. Dengan demikian, sejatinya, perayaan hari Tumpek Pengatag memberi
isyarat dan makna mendalam agar manusia mengasihi dan menyayangi alam dan
lingkungan yang telah berjasa menopang hidup dan penghidupannya. Pada Tumpek
Pengatag, momentum kasih dan sayang kepada alam itu diarahkan kepada
tumbuh-tumbuhan. Betapa besarnya peranan tumbuh-tumbuhan dalam memberi hidup
umat manusia. Hampir seluruh kebutuhan hidup umat manusia bersumber dari
tumbuh-tumbuhan, mulai dari pangan, sandang hingga papan.
Karena
itu pula, tradisi perayaan Tumpek Pengatag tidaklah keliru jika disepadankan
sebagai peringatan Hari Bumi gaya Hindu Bali dan kini bisa direaktualisasi
sebagai hari untuk menanam pohon. Tumpek Pengatag merupakan momentum untuk
merenungi jasa dan budi Ibu Bumi kepada umat manusia. Selanjutnya, dengan
kesadaran diri menimbang-nimbang perilaku tak bersahabat dengan alam yang
selama ini dilakukan dan memulai hari baru untuk tidak lagi merusak lingkungan.
Sampai di sini, dapat disimpulkan para tetua Bali di masa lalu telah memiliki
visi futuristik untuk menjaga agar Bali tak meradang menjadi tanah gersang dan
kerontang akibat alam lingkungan yang tak terjaga. Bahkan, kesadaran yang
tumbuh telah pula dalam konteks semesta raya, tak semata Bali. Visi dari segala
tradisi itu bukan semata menjaga kelestarian alam dan lingkungan Bali, tetapi
juga kelestarian alam dan lingkungan seluruh dunia. Istimewanya, segala
kearifan itu muncul jauh sebelum manusia modern saat ini berteriak-teriak soal
upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan. Jauh sebelum dunia menetapkan Hari
Bumi, tradisi-tradisi Bali telah lebih dulu mewadahinya dengan arif.
Tumpek sangat erat kaitannya dengan
Kalender Hindu di Bali yang merupakn gabungan dari Caka surya pramana dan
Chandra Pramana serta wuku yang kita kenal sebanyak 30 (tiga puluh) wuku,
selain wuku ada juga siklus lain yaitu Saptawara dan Pancawara. Sehingga antara
Sapta wara terakhir Saniscara ketemu dengan Pancawara terakhir ( kliwon ) maka
siklus inilah kemudian disebut tumpek, yang datangnya setiap 35 (tiga puluh
lima) hari. Hari Tumpek dalam metologi Hindu, dimasyarakat awam sering
dikatakan otonannya, bisa dibilang ulang tahun Bali otonan (6 bulan sekali ‘)
sutu peringatan sebagai ungkapan rasa syukur dan trimakasih. Di mana umat Hindu
membuat sesajen/upakara untuk memuja Hyang Widhi Wasa, karena beliau telah
melimpahkan segala wara nugraha-Nya kepada kita dari hasil atau manfaat yang
kita dapat manfaatkan untuk membantu kita hidup.
Tumpek akan bertemu setiap akhir wuku
Saniscara (Sapta wara) dan akhir Pancawara Kliwon, inilah yang kemudian disebut
denga awal dan akhir dalam istilah Hindu disebut Utpeti, Stiti dan Prelina,
yang kemudian diambilah Utpeti dan Prelina ( Tum-Pek ). Tumpek beasal dari kata
Tumampek’, yaitu mendekatkan diri kepada sang Maha Pencipta dengan jalan
mensyukuri segala ciptaannya baik secara langsung maupun tidak langsung kita
nikmati sehingga sudah sewajarnyalah kita mensyukurinya kepada sang pemberi
nikmat. Siklus kedatangannya sebagai apa yang digariskan oleh arti Tumpek itu
sendiri yaitu: TU artinya metu dan Pek
artinya berakhir. Jadi Tumpek berarti
merupakan awal dan juga akhir. Pengatag
berasal dari kata atag, artinya memanggil. Disebut demikian karena pada hari
ini umat hindhu di Bali memrintahkan atau memohon dengan cara memanggil agar
pohon-pohon mau berbuah lebat. Sesungguhnya.
Hari ini
adalah pemujaan Dewa Sangkara, manifestasi Tuhan yang menjadi dewanya
tumbuh-tumbuhan atau pepohonan khususnya yang berbuah. Memang, menurut tradisi
susastra Bali, yang menyebabkan tumbuh-tumbuhan hidup dan memberikan hasil
kepada manusia adalah Hyang Sangkara. Karenanya, ucapan syukur dan penghormatan
kepada Hyang Sangkara mesti dilakukan manusia dengan mengasihi segala jenis tumbuh-tumbuhan.
Upacara di gelar pada pepohonan yang berbuah paling lebat, sedangkan
masing-masing pohon di ketok dengan ucapan yang bermakna memohon agar pepohonan
berbuah lebat kemudian di gantungi gantung-gantungan,
1
Makna Tumpek Atag
Di Bali Umat Hindu juga sering menyebutnya
Tumpek Wariga yang jatuh 25 hari sebelum Hari Raya Galungan. Disebut Tumpek
Wariga, karena dilaksanakan pada Saniscara Kliwon Wariga. Sebagai rasa syukur
kehadapan Hyang Maha Pencipta dalam
manifestasinya sebagai Hyang Sangkara atas ciptaanya. Sang Hyang Sangkara akan
dipuja di arah wayabya (Barat Laut) atau Kaja-Kauh dari pengider mata angin
Bali. Untuk alasan itu, dalam pengider buana, Sang Hyang Sangkara digambarkan
dengan warna hijau, yang mewakili tumbuhan. Jika kita merujuk pada konsep Siva
Siddhanta, maka Sang Hyang Sangkara adalah bagian dari perbanyakan Bhatara Siwa
yang tidak berbeda dengan Beliau. Tetapi, dalam etika dan upacaranya, pembagian
dan pembedaan itu diadakan untuk menggambarkan kekuatan Beliau yang tanpa batas
dan agar manusia yang serba terbatas ini dapat merealisasikan setiap energi
Tuhan dalam kehidupannya.
Peringatan hari raya Tumpek Atag tentu
kita bisa rasakan betapa alam saling mendukung keberadaan satu sama lain, di
hari otonan tumbuh-tumbuhanan ini, kita berharap hujan akan jatuh dari bapa
akasa memandikan seluruh tumbuhan agar menjadi bersih, memberikan siraman
kesejukan kepada ibu pertiwi, agar ibu pertiwi bisa memberikan kesuburan dan
menghidupi tanam-tanamanan di atasnya. Namun untuk mewujudkan semua itu, kita
sebagai umat tidak cukup hanya dengan menghaturkan sesajen untuk
tumbuh-tumbuhan setiap rahina Tumpek Uduh. Namun perlu diiringi dengan aksi
nyata, misalnya turut menyukseskan program pemerintah aktif melakukan aksi
penghijauan melalui program satu miliar pohon, one man one tree, wanita menanam
pohon atau program sejenisnya, menyayangi tumbuh-tumbuhan, memerangi aksi
illegal logging dan lainnya. Dengan lestarinya alam dan tumbuh-tumbuhan ini,
diharapkan dapat pula menekan atau mengurangi dampak dari pemanasan global
(global warming). Tidak ada istilah terlambat untuk menanam pohon, karenanya
mulai lah dari sekarang, mulai dari lingkungan di sekitar kita. Karena apa yang
kita tanam saat ini demi anak cucu kita kelak.
2
Tata Cara Pelaksanaan Tumpek Atag
Disebut
juga Tumpek Bubuh, karena saat itu dihaturkan bubur sumsum yang terbuat dari
tepung. Disebut Tumpek Pangatag, karena matra yang digunakan untuk mengupacarai
tumbuhan disertai dengan prosesi ngatag, menggetok-getok batang tumbuhan yang
diupacarai. Adapun banten atau sarana yang diperlukan dan dihaturkan saat
Tumpek Wariga adalah sebagai berikut :
v Banten
Prass.
v Banten
Nasi Tulung Sesayut.
v Banten
Tumpeng.
v Bubur
Sumsum (dibuat Tepung)
v Banten
Tumpeng Agung
v Ulam itik (diguling), banten penyeneng.
v Tetebusan,
dan canang sari, ditambah dupa harum.
Banten
tersebut dihaturkan menghadap Kaja-Kauh dan ayatlah Bhatara Sangkara sebagai
Dewanya tumbuhan. Kemudian, semua tanaman yang ada di sekitar rumah atau
pekarangan diberikan sasat gantungan dan diikat di bagian batangnya. Setelah
itu, berikan bubur sumsum. Lalu, "atag", pukulkan tiga kali dengan
pisau tumpul (tiuk tumpul) dengan mengucapkan mantra sebagai berikut :
"Kaki-kaki,
dadong dija? Dadong jumah gelem kebus dingin ngetor. Ngetor
ngeed-ngeed-ngeeed-ngeeed, ngeed kaja, ngeed kelod, ngeed kangin, ngeed kauh,
buin selae lemeng galungan mebuah pang ngeeed"
Yang
artinya:
"Kakek-kakek,
nenek dimana? Nenek dirumah sakit panas mengigil. Mengigil
lebatt-lebatt-lebattt-lebattt, lebat utara, lebat selatan, lebat timur, lebat
barat, lagi dua puluh lima hari hari raya galungan berbuahlah dengan
lebat"
Mantra
tersebut adalah mantra sesontengan (makna kiasan) secara turun temurun
diucapkan saat mempersembahkan upakara (banten) Tumpek Atag. Penyebutan kaki-dadong dalam konteks ini
adalah upaya penunjukan yang ditujukan untuk memuliakan tumbuhan yang jauh
lebih dulu ada dari pada manusia dan makhluk lain yang ada di permukaan Bumi. Entah
siapa yang memulai dan sejak kapan petikan monolog tersebut diatas tersebar
luas di kalangan masyarakat Hindu di Bali, penulis tidak mengetahui secara
pasti. Dan kutipan monolog tersebut di atas mungkin tidak sama persis diucapkan
oleh warga desa yang satu dengan warga desa yang lainnya. Namun yang jelas,
petikan monolog yang kerap terdengar setiap rerahinan Tumpek Uduh tersebut
memiliki tujuan atau pun harapan yang sama. Yakni, sebagai wujud kepedulian
umat Hindu akan kelestarian lingkungan di sekitarnya, khususnya
tumbuh-tumbuhan. Selain itu, sebagai ungkapan terimakasih serta puji syukur ke
hadapan Ida Sanghyang Widi Wasa atas segala rahmat yang dianugerahkannya berupa
tumbuh-tumbuhan yang subur, dengan batang yang kokoh dan daun serta buah yang
lebat sebagai sumber kemakmuran bagi seluruh umat manusia. Hal tersebut
sebagaimana kutipan terakhir pada monolog di atas yakni, …nged…, nged, nged….!
Yang berarti lebat.
Seperti diketahui, di beberapa tempat di
Bali ada yang menyebut rerahinan jagat tersebut dengan istilah Tumpek Bubuh
(mungkin karena salah satu isi sesajen yang dihaturkan berupa bubur), ada pula
yang menyebutnya dengan Tumpek Pengatag, Tumpek Pengarah (mungkin pula sebagai
pemberitahuan terkait datangnya Hari Raya Galungan, karena rerahinan ini
jatuhnya persis 25 hari menjelang Hari Raya Galungan). Ada pula yang
menyebutnya sebagai Tumpek Wariga, karena bertepatan dengan wuku Wariga.
Sementara sebagian masyarakat lagi ada yang mengistilahkan upacara ini sebagai
otonan punyan-punyanan. Dalam meteologi Hindu ada penggambaran Sang Hyang
Sangkara lebih didominasi dengan tampilan yang terkesan seperti di hutan rimba.
Hyang Sangkara duduk di bawah pohon beringin (pippala) yang memiliki akar
gantung ribuan banyaknya serta lebat dan besar. Sedangkan di Bali, Beliau
digambarkan menyatu dengan pangider Buana dengan Dewata Nawa Sanga Lainnya.
3.
Manfaat Perayaan Tumpek Atag Bagi Kehidupan Manusia.
Hanya
memang, perayaan Tumpek Pengatag sebagai Hari Bumi gaya Bali menghadirkan ironi
tersendiri. Dalam berbagai bentuk, ritual dan tradisi itu berhenti pada wujud
fisik upacara semata, dampak keterjagaan terhadap lingkungan Bali tampak secara
signifikan. Dengan membuat sarana upakara (Banten) tersebut dengan mengucapkan
mantra itu, diharapkan tanaman yang berbunga akan berbunga lebat, yang berbuah
akan berbuah lebat. Nantinya, buah ataupun bunga tersebut akan bermanfaat bagi
kehidupan masyarakat, khususnya saat Galungan. Dengan penuh rasa syukur agar
ada tanaman buah yang berbuah sehingga bisa dipetik untuk sarana upakara saat
perayaan hari raya Galungan.
Tumpek
Pengatag, atau Tumpek Bubuh adalah hari turunnya Sanghyang Sangkara yang
menjaga keselamatan hidup segala tumbuh- tumbuhan (pohon-pohonan). Beliau
memelihara agar tumbuh-tumbuhan itu subur tumbuhnya, hidup dan terhindar dari
hama penyakit, agar supaya memberikan hasil yang baik dan berlimpah, melebihi dari
yang sudah-sudah dan hemat walaupun dipakai atau dimakan. Kutipan monolog di
atas seakan melukiskan harapan umat (Hindu) kepada Ida Bhatara Sangkara selaku
manifestasi Ida Sanghyang Widi Wasa sebagai penguasa tumbuhan-tumbuhan agar
melimpahkan karunia-Nya untuk kesejahteraan umat manusia, bukan hanya saat
menjelang Galungan namun selamanya. Misalnya, agar pepohonan tumbuh subur,
berdaun, berbunga atau berbuah lebat (nged). Membaca apa yang disampaikan
diatas , akan menjadi menawan, bila Tumpek Pengatag tak semata diisi dengan
menghaturkan banten pengatag kepada pepohonan, tapi juga diwujudnyatakan dengan
menanam pohon serta menghentikan tindakan merusak alam lingkungan. Dengan
begitu, Tumpek Pengatag yang memang dilandasi kesadaran pikir visioner menjadi
sebuah perayaan Hari Bumi yang paripurna. Bahkan, manusia Bali bisa lebih
berbangga, karena peringatan Hari Bumi-nya dilakonkan secara nyata serta indah
menawan karena diselimuti tradisi kultural bermakna kental. Bahkan, Bali tak
perlu lagi dibuatkan tradisi baru "Hari atau Bulan Menanam Pohon".
Kita harus sadar bahwa sumber energy yang
kita miliki untuk melakukan rutinitas seharian kita berasal dari alam.
Annaad
bhavanti bhuutaani. Prajnyaad annasambhavad.
Yadnyad
bhavati parjany, Yadnyah karma samudbhavad.
(Bhagavad
Gita.III.14)
Artinya:
Makhluk
hidup berasal dari makanan. Makanan berasal dari tumbuh-tumbuhan.
Tumbuh-tumbuhan berasal dari hujan. Hujan berasal dari yadnya. Yadnya itu
adalah karma.
Tanpa
tumbuh-tumbuhan, semua makhluk bernyawa tidak dapat melangsungkan hidupnya,
karena bahan pokok makanan hewan dan manusia adalah tumbuh-tumbuhan. Adanya
tumbuh-tumbuhan adalah yadnya dari bumi dan langit kepada semua makhluk hidup
ini. Hal inilah yang semestinya kita lakukan secara terus menerus, dan
berkelanjutan, mengajegkan flora dan fauna Bali, bahkan di seluruh dunia.
Secara berkala dalam merayakan hari Tumpek Wariga, di samping secara niskala
kita melakukan upacara keagamaan. Dengan demikian, dari Tumpek Wariga ke Tumpek
Wariga berikutnya kita dapat menyaksikan berbagai kemajuan dalam pelestarian
tumbuh-tumbuhan Bali.
PENUTUP
1 kesimpulan
Dari pembahasan diatas,
dapat disimpulkan sebagaiberikut:
1. Makna Tumpek Atag,
yaitu: Tumpek Atag merupakan peringatan Kemaha Kuasaan Hyang widhi sebagai
manesfestasi Tuhan pencipta tumbuh-tumbuhan khusunya tanaman buah-buahan yaitu
Sang Hyang Sangkara .
2. Tata cara
pelaksanaan Tumpek Atag, yaitu: Dipersembahkan bubur sumsum yang terbuat dari
tepung, Banten Prass, Banten Nasi Tulung Sesayut, Banten Tumpeng, Bubur Sumsum
(dibuat Tepung), Banten Tumpeng Agung, Ulam itik (diguling), banten penyeneng,
Tetebusan, dan canang sari, ditambah dupa harum.
Banten tersebut
dihaturkan menghadap Kaja-Kauh dan ayatlah Bhatara Sangkara sebagai Dewanya
tumbuhan. Kemudian, semua tanaman yang ada di sekitar rumah atau pekarangan
diberikan sasat gantungan dan diikat di bagian batangnya. Setelah itu, berikan
bubur sumsum. Lalu, "atag", pukulkan tiga kali dengan pisau tumpul
(tiuk tumpul) dengan mengucapkan mantra sebagai berikut :
"Kaki-kaki, dadong dija? Dadong jumah
gelem kebus dingin ngetor. Ngetor ngeed-ngeed-ngeeed-ngeeed, ngeed kaja, ngeed
kelod, ngeed kangin, ngeed kauh, buin selae lemeng galungan mebuah pang
ngeeed"
3. Manfaat perayaan
Tumpek Atag bagi kehidupan manusi, yaitu: Dengan membuat sarana upakara
(Banten) tersebut dengan mengucapkan mantra itu, diharapkan tanaman yang
berbunga akan berbunga lebat, yang berbuah akan berbuah lebat. Nantinya, buah
ataupun bunga tersebut akan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat, khususnya
saat Galungan. Masyarakat Hindu Bali yang akan merakakan hari raya Galungan
yang jatuhnya pada hari rabu Wuku Dungulan yaitu 25 hari sebelum Hari Raya
Galungan. Dengan penuh rasa syukur agar ada tanaman buah yang berbuah sehingga
bisa dipetik untuk sarana upakara saat perayaan hari raya Galungan. Disebut
juga hari raya Tumpek Uduh, Tumpek Pengarah, Tumpek Pengatag, atau Tumpek
Bubuh. Hari ini adalah hari turunnya Sanghyang Sangkara yang menjaga
keselamatan hidup segala tumbuh- tumbuhan (pohon-pohonan). Beliau memelihara
agar tumbuh-tumbuhan itu subur tumbuhnya, hidup dan terhindar dari hama penyakit,
agar supaya memberikan hasil yang baik dan berlimpah, melebihi dari yang
sudah-sudah dan hemat walaupun dipakai atau dimakan.
sumber: http://herbaltarupramana.com
0 comments:
Post a Comment