Dalam sebuah diskusi, saya pernah
menjelaskan tentang hal yang berkaitan dengan wanita yang menstruasi, dimana
seorang wanita yang sedang menstruasi dilarang melakukan aktivitas yang
berkaitan dengan hal-hal rohani, seperti; sembahyang atau memasuki tempat suci,
membaca kitab suci, menyentuh sarana-prasarana upakara. Bahkan seorang istri
yang sedang menstruasi dilarang seranjang dengan suami.
Sebagai penyucian diri seorang
yang telah usai menstruasi dapat dilakukan dengan mandi dan memandang matahari.
Seperti dinyatakan, “Tiga hari masa haidnya, dia tidak boleh berhadapan ataupun
berbicara dengan suaminya. Dia juga tidak berbicara langsung padanya hingga
masa bersihnya tiba kembali. Setelah pemandian sucinya dia harus memandangi
suaminya dan tidak boleh memandangi orang lain. Lalu setelah merenungkan
suaminya maka dia harus menatap matahari.” (Siva
Purana, Rudresvara Samitha III.LIV.32-33).
Akan sloka tersebut, seorang
wanita bertanya, bagaimana caranya tidak berbicara dengan suami, tidakah
membuat dia tersinggung?
Suami yang baik, tidak akan
berbicara dengan istrinya yang sedang menstruasi. Hal ini terutama dilakukan
bagi suami yang belajar spiritual, mendalami agama, menjadi rohaniawan. Bisa
juga dilakukan masyarakat awam, jika mampu. Namun yang terpenting, masyarakat
awam menghindari berhubungan seks dengan istri yang sedang menstruasi.
Lontar Agastya Parwa menyebutkan;
“Inilah tempat-tempat brahmahatya waktu malam hari, yaitu pada buah-buahan,
susu, mentega, pada madu. Maka oleh karena itu orang yang ingin mendapatkan
kegagahberanian, kebijaksanaan, apalagi kelepasan tidak makan buah-buahan,
susu, dan mentega malam hari karena menyebabkan hilangnya keberanian,
kebijaksanaan, lebih-lebih pula orang yang memakan itu di malam hari tidak akan
tercapai cita-citanya.” (Agastya Parwa
Halaman 56-57).
Tempat brahmahatya yang
terpenting pada siang hari adalah pada wanita juga. Sesungguhnya ia berkurang
setiap bulan, brahmahatya pada wanita keluar berbentuk darah itulah yang
disebut kotor kain di masyarakat. Oleh karena itu, orang yang hendak mencapai
surga tidak boleh memegang perhiasannya dan makanan apalagi satu tempat tidur
dengan wanita yang sedang kotor kain, karena sebenarnya ke luar brahmahatyanya
turut pula mendapat dosa yang diajak berbicara lebih-lebih pula kalau sampai
disentuh. Sungguh-sungguh itu larangan menurut Sang Hyang Agama. Wanita yang
tidak keluar brahmahatyanya disebut kuming di masyarakat. Tidak diajak serta
dalam pergaulan, tidak dibenarkan ikut dalam upacara kematian (tileman) pada
Hyang Siwamandala, dan sebagainya, Yajna Sradha. Dia harus berhenti sebagai
pelayan pekerjaan-pekerjaan itu meskipun ikut menyentuh saji. Maka itu anak
yang belum kotor kain dan wanita tua yang tidak kotor kain lagi memegang saji
Bhatara sampai saat ini. (Agastya Parwa
halaman 58).
Brahmahatya pada uraian di atas
yaitu roh orang yang dihukum akibat dosa membunuh Brahmana, dilemparkan dari
neraka ke bumi. Dari uraian kitab suci, selain membunuh Brahmana, dosa yang
dianggap setara dengan membunuh Brahmana diantaranya membunuh bayi dalam
kandungan (aborsi), membunuh anak-anak, membunuh sapi. Merusak atau membakar
tempat suci juga dimasukan ke dalam kejahatan ini.
Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa darah mentruasi wanita merupakan tempat penjelmaan sementara orang yang
menjadi pembunuh kejam, seperti orang yang membunuh bayi dalam kandungan,
membunuh brahmana, membunuh anak kecil, membunuh sapi, dan sejenisnya. Roh
orang yang melakukan kejahatan biadab inilah dimasukan ke dalam darah wanita
dalam bentuk menstruasi. Dengan cara itu, maka roh bersangkutan secara perlahan
akan ditingkatkan kehidupnnya menjadi mahkluk hidup; tumbuh-tumbuhan, binatang,
dan manusia.
Dalam film Mahadewa sekilas juga
terdapat kisah tersirat; dimana dikatakan bahwa para iblis takan pernah bisa
mengalahkan wanita, wanita dalam hal ini adalah dewi Parvati, sebagai mahadewi
penghancur para iblis. Sedangkan dalam dunianya manusia, wanita sebagai
penghancur dari roh-roh mahkluk jahat, dengan kata lain wanita menyelamatkan
roh-roh orang jahat melalui darah menstruasi. Roh para pendosa seperti itu
mengalami penebusan dosa berulang kali dalam bentuk darah menstruasi wanita
dengan kehidupan yang gagal, tidak terbuahi. Dalam kurun waktu ribuan tahun
manusia.
Dalam ilmu magis, darah
menstruasi dapat digunakan sebagai penghancur berbagai ilmu hitam. Misalnya;
seseorang kena guna-guna. Untuk menangkalnya cukup dengan mandi menggunakan air
cucian celana dalam wanita yang sedang menstruasi.
Lalu
bagaimana penycucian diri seorang wanita yang telah usai menstruasi?
Ada beberapa hal yang dapat
dilakukan, seperti penyucian diri akibat cuntaka lainnya. Lakukan penyucian
diri setelah darah menstruasi berhenti keluar. Untuk menyucikan diri akibat
cuntaka (seperti menstruasi, bertemu mayat, kematian, dll) dapat dilakukan
dengan 3 cara;
Pertama, menyucikan diri dengan memandang
Matahari. Penyucian diri dengan memandang Matahari apabila cuntaka-nya diangap
sederhana seperti akibat menstruasi, bertemu mayat di jalan tak sengaja. Baca
juga Cara Penyucian Diri Bila Bertemu Mayat.
Kedua, menyuncikan diri dengan api.
Penyucian ini dapat dilakukan dengan menghusap-husapkan api/ngayabang api ke
wajah. Sama halnya seperti ketika sembahyang menghusapkan tangan ke wajah
setelah mendekatkan tangan ke dupa persembahyangan. Bila baru datang dari
kuburan, hal ini juga bisa dilakukan dengan api yang ada di dapur. Begitu juga
ketika air ludah anjing mengenai tubuh seseorang, maka sebagai penyuciannya
dengan membakarnya dengan api (disucikan dengan api).
Dalam
Film Mahadewa, dalam episode kelahiran Kartikeya. Mahadeva bersabda bahwa
apapun yang tersentuh agni (api) maka ia akan disucikan. Oleh karena itu,
sebagai penyucian dosa orang-orang, maka ada tradisi ngaben, mayat seseorang
dibakar dengan api. Hal ini juga menjelaskan mengapa penting sembahyang
menggunakan sarana Api; Asep, Dupa, Agni Hotra. [Selain Agni (api) sebagai
upasaksi juga sebagai penyucian diri].
Ketiga, penyucian diri dengan air.
Penyucian ini dapat dilakukan dengan mandi, keramas. Lebih bagus lagi dengan
melakukan mandi suci atau melukat. Dapat juga dilakukan dengan memohon tirta
penglukatan kepada Sulinggih.
Semoga
para perempuan Hindu di seluruh Nusantara bias melakukan halini dengan baik dan
benar demi tercapainya kehidupan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan,
Manusia dengan Manusia, dan Manusia dengan Alam. Sumber: http:filsafat.kompasiana.com
0 comments:
Post a Comment