Wednesday, November 19, 2014

Doktrin-doktrin Agama yang Mengacu Mendorong Manusia Berprilaku Hidup Rukun Damai Saling Menghargai Sikap Saling Menjaga Keberagaman yang Ada




Doktrin-doktrin Agama yang Mengacu Mendorong Manusia
Berprilaku Hidup Rukun Damai Saling Menghargai
Sikap Saling Menjaga Keberagaman yang Ada


Disusun Oleh:
Wayan Tarna
I Kadek Nova .Wy
I Ketut Sumita
I Wayan Sudarta
Kadek Widi .W
Luh Jumik Antari
Nanda Rizka .S
Sekolah Tinggi Agama Hindu (STAH) Dharma Nusantara Jakarta2014



1.      ISLAM
Doktrin Agama Islam yang merujuk pada sikap toleransi dan menghormati trhadap keberagaman yang ada di Indonesia doktrin islam mngenai krukunan antar umat manusia ditngah keberagaman hal ini mrujuk pada sebutan sebuah ukhuwah (persaudaraan) hal ini mengaju pada kitab suci Islam al-Quran yang mnjadi sumber ajaran Islam,  dijelaskan bahwasannya kebragaman dapat dijadikan sumber kekuatan untuk memperkuat identitas bangsa, Hal ini secara jelas disampaikan dalam surat al-Hujurat ayat 13:
 “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Dari Ayat itu saja sudah dijlaskan bahwa aadanya printah saling menjaga tali prsaudaraan (ukhuwah) diantara umat manusia dngan cara trus saling mengnal dengan saling mnarik manfaat dari masing masing kebragaman yang ada, dngan begitu rasa saling mmiliki satu sama lain akan muncul untuk kemudian selanjutnya dapat membina hubungan yang harminis antar umat bragama. Kbragaman yang ada seperti 2 mata pisau yang saling bersebrangan satu sisi mnghancurkan dan satu sisi lagi saling menguatkan mnjadi sebuah identitas bangsa.

2.      KRISTEN
Sebenarnya tujuan yang hendak dicapai setiap agama adalah umatnya spritual dan bermoral yang terwujud dalam hubungan Tuhan dan sesamanya toleransi setiap Agama adalah hal yang mutlak yang harus diterapkan sebagai konskuensi dari cita-cita yang ingin dicapai setiap umat beragama di Agama Kristen sendiri mengenal adanya itu :
• Gereja mengecam setiap diskriminasi
• Gereja juga mengecam penganiayaan
berlandaskan:  Warna kulit, Status social,  Ajaran yang berbeda


            I Petrus 2 ayat 12
Milikilah cara hidup yang baik di tempat-tempat bangsa bukan Yahudi supaya apabila mereka memfitnah kamu sebagai orang durjana mereka dapat melihatnya dari perbuatan-perbuatanmuyang baik dan memuliakan Allah pada hari Ia melawat mereka
Jelaslah bahwa Gereja menginginkan adanya keharminisan antara umat manusia mskipun berlatar blakan suku ras agama dll dijelaskan kembali dalam Cinta Kasih (I Korintus 13: 4-7)
Kasih itu :
• Sabar,  Murah hati,  Tidak cemburu, Tidak memegahkan diri dan tidak sombong,  Tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri,  Tidak pemarah,  Tidak menyimpan kesalahan orang lain,  Tidak bersuka cita karena ketidak adilan,  Tidak menutupi segala sesuatu,  Tidak mengharapkan segala sesuatu dan sabar menanggung segala sesuatu













3.      BUDDHA
Agama Buddha dalam sejarah perkembangannya telah menunjukkan bahwa agama Buddha pada masa kejayaan Sriwijaya, Majapahit maupun pada masa kerajaan Mataram Kuno telah mampu mempersatukan dan membina kerukunan hidup antar umat beragama, sehingga terwujud persatuan dan kesatuan bangsa.
Hal ini menujukkan bahwa di mana telah terbina kerukanan hidup antar umat beragama, maka di sana akan terwujud persatuan dan kesatuan dan selanjutnya apabila persatuan dan kesatuan telah terwujud maka di situ akan dapat dibangun sebuah kerajaan yang jaya.
Memahami arti pentingnya kerukunan hidup antar umat beragama dan persatuan dan kesatuan, maka dipandang perlu untuk diuraikan fakta sejarah perkembangan agama Buddha dalam memberikan konstribusi bagi terwujudnya sebuah kerukunan.

1.    Upali Sutta
Diceritakan bahwa semasa hidup Sang Buddha, Nigantha Nataputha seorang guru besar dari sekte agama Jaina mengutus Upali seorang siswanya yang cerdik, pandai dan berpengaruh di masyarakat untuk berdialog, memperbincangkan tentang ajaran Buddha yaitu Hukum Karma.
Setelah berdialog cukup panjang Upali memperoleh kesadaran bahwa ajaran Buddha tentang kamma adalah yang benar. Upali kemudian memohon kepada Sang Buddha untuk diterima sebagai muridnya. Sang Buddha menyuruh Upali untuk memikirkannya karena Upali adalah murid dari Guru Besar dan ternama, ia juga orang berkedudukan dan terpandang di masyarakat.
Akhirnya Sang Buddha menerima Upali sebagai muridnya dengan mengucapkan: “Kami terima anda sebagai umatku, sebagai muridku, dengan harapan anda tetap menghargai bekas agamamu dan menghormati bekas gurumu itu, serta membantunya”.
Dari cerita tersebut maka tampaklah bahwa masa kehidupan Sang Buddha telah menunjukkan demikian besarnya toleransi Sang Buddha terhadap keyakinan atau agama lain.

2.    Maha Raja Asoka (Prasati Asoka)
Raja Asoka dalam menjalankan pemerintahannya benar-benar menjaga toleransi dan kerukunan hidup beragama, semua agama yang berkembang saat itu diperlakukan adil. Untuk mewujudkan kerukunan hidup beragama tersebut, Raja Asoka telah mencanangkan Kerukunan Hidup Beragama yang terkenal dengan “Prasasti Batu Kalinga No. XXII Raja Asoka”.


PRASASTI RAJA ASOKA
Janganlah kita hanya menghormati agama sendiri dan mencela agama orang lain tanpa suatu dasar yang kuat. Sebaliknya agama orang lain pun hendaknya dihormati atas dasar-dasar tertentu.
Dengan berbuat demikian kita telah membantu agama kita sendiri, untuk berkembang di samping menguntungkan pula agama orang lain. Dengan berbuat sebaliknya kita telah merugikan agama kita sendiri, di samping merugikan agama orang lain.
Oleh karena itu, barang siapa menghormati agamanya sendiri dan mencela agama orang lain, semata-mata karena didorong oleh rasa bakti pada agamanya sendiri dengan berpikir; bagaimana aku dapat memuliakan agamaku sendiri. Dengan berbuat demikian ia malah amat merugikan agamanya sendiri. Oleh karena itu, kerukunanlah yang dianjurkan dengan pengertian bahwa semua orang hendaknya mendengarkan dan bersedia mendengar ajaran orang lain”.(Proyek Bimbingan P4, 1983/1984,: 28, SM Rasyid, 1988).

3.    Era Kerajaan di Indonesia
Pada jaman Keprabuan Majapahit telah berhasil menghantarkan bangsa di nusantara kita ini memasuki jaman keemasan karena adanya kerukunan hidup beragama, yakni kerukunan hidup antar umat beragama Hindu dan umat beragama Buddha, yang berhasil mewujudkan persatuan dan kesatuan negara tersebut.
Pada masa tersebut seorang pujangga besar telah menyusun karya sastra “Sutasoma”, yang di dalam mukadimahnya tersurat sebuah kalimat yang memiliki makna terdalam guna membina kerukunan persatuan dan persatuan antar umat beragama, yaitu: Siwa Buddha Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa”. Kalimat sakti tersebut sekarang telah dijadikan motto atau semboyan Bhinneka Tunggal Ika di lambang negara garuda pancasila. 

Kerukunan Hidup Umat Beragama Buddha di Masa Pembangunan
Pada beberapa tahun yang lalu, sebagai hasil dari dialog intern umat beragama, Dialog antar umat beragama dan dialog antar umat beragama dengan pemerintah, akhirnya lahirlah Tri Kerukunan Hidup Beragama, yaitu:
1) Kerukunan Intern Umat Beragama
2) Kerukunan Antar Umat Beragama
3) Kerukunan Umat  Beragama dengan Pemerintah

Upaya yang dapat ditempuh umat Buddha dalam rangka menuju terciptanya dan melestarikan Tri Kerukunan tersebut adalah dengan meningkatkan Moral, Etika, dan Akhlak bangsa yang disebut SILA. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia. Moral dalam manifestasinya dapat berupa aturan, prinsip-prinsip, benar dan baik, terpuji dan mulia.

Selain menjaga diri dengan Sila, umat Buddha dapat mengembangkan kesempurnaan-kesempurnaan (Paramita). Menurut Sang Buddha berkembangnya perpecahan dan hancurnya persatuan dan kesatuan (kerukunan) mengakibatkan pertentangan, pertengkaran. Sang Buddha bersabda dalam Dhammapada ayat 6, sebagai berikut:
“Mereka tidak tahu bahwa dalam pertikaian mereka akan hancur dan musnah, tetapi mereka yang melihat dan menyadari hal ini damai dan tenang”.
Sumber dari perpecahan menurut Sang Buddha dijelaskan dalam Dhammapada ayat 5, yaitu:
“Di dunia ini kebencian belum pernah berakhir jika dibalas dengan membenci, tetapi kebencian akan berakhir kalau  dibalas dengan cinta kasih. Ini adalah hukum kekal abadi”.
Dari kutipan di atas, dengan jelas diungkapkan bagaimana akibat dari pikiran yang jahat bagi seseorang, bagi suatu golongan tertentu, bagi suatu bangsa bahkan bagi umat manusia.  Maka diperlukan kedewasaan berpikir. Berkata dan bertindak (sila). Dasarnya adalah ajaran Buddha dalam Anguttara Nikaya II, yaitu: Hiri (perasaan malu untuk berbuat tidak baik dan Ottapa (rasa takut akan akibat perbuatan jahat). Dua dasar tersebut adalah Lokapala Dhamma atau Dhamma pelindung dunia.
Sehubungan dengan hal itu, pada masa pembangunan umat Buddha Indonesia hendaknya selalu menjadikan ajaran-ajaran Sang Buddha sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan beragama.

Konsep kerukunan yang diajarkan Sang Buddha bukanlah konsep teoritis namun harus dibarengi dengan praktik nyata. Memahami kerukunan dapat dilihat segi pasif dan aktif. Banyak manfaat baik sebagai hasil dari kerukunan merupakan tujuan dari kerukunan itu sendiri. Dalam hal ini jelaslah tidak ada ada kata “Tidak” untuk hidup rukun bagi umat Buddha.
1.      Pada prinsipnya ajaran agama Buddha mengajarkan kepada umat Buddha untuk membebaskan diri dari penderitaan, secara universal agama Buddha mengajarkan agar semua makhluk hidup berbahagia. Konsepsi ini memberikan peluang untuk memungkinkan terciptanya kerukunan intern dan antar umat beragama.

2.   Dengan dasar ajaran cinta kasih (metta) dan kasih sayang (karuna) terhadap semua makhluk, agama Buddha memberikan peluang dan wawasan kepada umatnya untuk memiliki wawasan keagamaan yang insklusif mau menerima dan menghargai kehadiran golongan agama lain di luar dirinya.

3.      Dengan faktor kepribadian Pancasila, dalam bentuk hubungan kekerabatan dalam masyarakat Indonesia merupakan faktor peredam terhadap timbulnya pertentangan antar agama.
























4.     HINDU

Dalam ajaran Hindu dikenal adanya butir-butir kerukunan sebagai berikut : Tri Hita Karana, Tri Kaya Parisudha dan Tat Twam Asi.
Tri  Hita Karana
Secara harfiah Tri Hita Karana dapat diartikan tiga penyebab kebahagiaan. (tri artinya tiga, hita artinya kebahagiaan, dan karana artinya penyebab).
Unsur-unsur Tri Hita Karana adalah :
1.      Parhyangan, yaitu membina hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
2.      Pawongan, yaitu membina hubungan yang harmonis antara sesama manusia sehingga tercipta keselarasan, keserasian dan keseimbangan.
3.      Palemahan, yaitu membina hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam lingkungannya.

Secara keseluruhan Tri Hita Karana merupakan tiga unsur keseimbangan hubungan Manusia dengan Tuhan, hubungan Manusia dengan Manusia dan hubungan Manusia dengan alam lingkungannya yang dapat mendatangkan kesejahteraan, kedamaian dan kebahagiaan bagi kehidupan manusia.

Ketiga unsur tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan karena merupakan penyebab yang satu dengan yang lainnya berjalan secara bersamaan dalam kehidupan manusia sehari-hari.
Manusia senantiasa ingat akan kebesaran dan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, senantiasa taqwa kepada Tuhan, senantiasa mohon keselamatan dan senantiasa pula tidak lupa memohon ampun atas segala kesalahan yang diperbuat baik kesalahan dalam berpikir, berkata maupun kesalahan dalam perbuatan yang nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Tri Kaya Parisudha

Secara arti kata Tri Kaya Parisudha dapat diterjemahkan prilaku yang suci. (tri artinya tiga, kaya artinya prilaku, parisudha artinya semuanya suci).



Unsur-unsur Tri Kaya Parisudha adalah :
1.      Manacika Parisudha, yaitu berpikir yang suci, baik dan benar.
2.      Wacika Parisudha, yaitu berkata yang suci, baik dan benar.
3.      Kayika Parisudha, yaitu berbuat yang suci, baik dan benar.
Dalam ajaran Agama Hindu, Tri Kaya Parisudha merupakan suatu etika sopan santun dan budi pekerti yang luhur yang harus dilaksanakan dalam kehidupan nyata sehari-hari untuk menghindari adanya rasa kurang menghormati harkat dan martabat manusia yang dapat menimbulkan kemarahan dan rasa dendam yang berkepanjangan di antara sesama manusia.
Manusia hendaknya selalu berpikir yang suci, baik dan benar yang merupakan langkah awal untuk melangkah lebih lanjut. Kesalahan dalam berpikir walaupun tidak dilanjutkan dengan perkataan dan perbuatan sudah merupakan suatu pelanggaran dan menghasilkan hal yang tidak baik sebagai
terdapat dalam ungkapan “Riastu riangen-angen maphala juga ika”.
Manusia hendaknya selalu berkata yang suci, baik dan benar agar tidak menyinggung perasaan orang lain yang dapat menimbulkan kemarahan dan rasa sakit hati yang mengakibatkan permusuhan di antara sesama manusia. Oleh karena itu setiap manusia hendaknya selalu berupaya agar dapat berkata yang baik sehingga enak didengar yang dapat menimbulkan rasa simpati setiap manusia dalam berinteraksi. Rasa simpati manusia dapat mewujudkan kerukunan dalam kehidupan.
Manusia hendaknya senantiasa dapat berbuat dan bertingkah laku yang suci, baik dan benar sehingga tidak merugikan orang lain bahkan perbuatan itu selalu dapat menyenangkan orang lain dan bermanfaat bagi kehidupan manusia yang merupakan kebajikan dapat meringankan penderitaan sesama manusia. Dalam ungkapan Sarasamuscaya manusia hendaknya dapat berbuat dan bertingkah laku untuk menyenangkan orang lain (Angawe sukaning wong len) sehingga akan
terwujud kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat.

Tat Twam Asi

Apabila diterjemahkan secara artikulasi Tat Twam Asi berarti Itu adalah Kamu atau Kamu adalah Itu. Dalam pergaulan hidup sehari-hari hendaknya manusia senantiasa berpedoman kepada Tat Twam Asi, sehingga tidak mudah melaksanakan perbuatan yang dapat menyinggung perasaan bahkan dapat menyakiti hati orang lain dan pada akhirnya menimbulkan rasa iri hati dan benci.
Tat Twam Asi menjurus kepada
 Tepa Selira atau Tenggang Rasa yang dapat menuntun sikap dan prilaku manusia senantiasa tidak melaksanakan perbuatan yang dapat menimbulkan sakit hati
sehingga terjadi perpecahan dan permusuhan.
Oleh karena itu janganlah suka menyakiti hati orang lain karena pada hakikatnya apa yang dirasakan oleh orang lain seyogyanya kita rasakan juga. Jikalau kita memukul orang akan dirasakan sakit lalu bagaimana kalau kita dipukul orang lain pasti akan sakit pula. Marilah kita membiasakan diri untuk senantiasa menaruh rasa simpati kepada orang lain sehingga tidak pernah terlintas dalam hati untuk berbuat yang dapat menyakiti orang lain, 
vasudeva kuthumbhakam : kita semua bersaudara.
“Salahkanlah diri sendiri terlebih dahulu sebelum menyalahkan orang”.
“Senantiasalah mengoreksi diri sebelum mengoreksi orang lain”.

Untuk mendapat gambaran lebih lanjut di bawah ini akan disampaikan beberapa sloka Kerukunan yang terdapat dalam Kitab Suci Agama Hindu sebagai berikut :
§  Sam Gacchadhvan Sam Vadadhvam, Sam Vo Manamsi Janatam, Deva Bhagam Yatha Purvo, Sanjanano Upasate (Rg Veda X.191.2)
§  Berkumpul-kumpullah, bermusyawarahlah, Satu sama lain satukanlah semua pikiranmu, Dewa pada jaman dulu, Senantiasa dapat bersatu.
§  Samani Va Akutih, Samana Hrdayani Vah, Samana Astu Vo Mano, Yatha Va Susahasati, (Rg Veda X.191.4)
§  Samalah hendaknya tujuanmu, Samalah hendaknya hatimu, Samalah hendaknya pikiranmu, Semoga semua hidup bahagia bersama.
§  Sarve Mandati Yasa Sagatena, Sabhasahena Sakhya Sakhyayah, Kilbisah Prt Pitusanir Hyosamaram, Hito Bhavati Vajinaya, (Rg Veda X.17.10)
§  Semua teman senang hati dalam persahabatan yang dating, Dengan kejayaan setelah berhasil dalam permusyawaratan, Tuhan sesungguhnya pelindung kita dari kejahatan, Yang memberi makan, bersiap baik untuk pemulihan.
§  Yadi Na Syurmanusyesu, Ksaminah Prtivismah, Na Syat Sakhyam Manusyanam, Krodhamulahi Vigrahah, (Sarasamuscaya, 94)
§  Apabila tidak ada orang yang ksamawan, sabar, tahan uji, Bagaikan Ibu Pertiwi niscaya tidak ada kepastian persahabatan, Melainkanjiwa murka menyelubungi sekalian makhluk. Karenanya pasti bertengkar satu sama lainnya.
§  Japye Nalva Samsidhyed, Brahmano Natra Samcayah, Kuryan Anyan Na Va Kuryan, Maitro Brahmana Ncyate, (Manawa Dharmasastra II, 87)

§  Tak dapat disangkal lagi seorang yang utama, Dapat mencapai tujuan yang tertinggi dengan mengucapkan mantra, Apakah ia melakukan yadnya melalui orang lain atau melalai-kannya, Ia yang bersahabat dengan semua makhluk dinyatakan manusia utama.

§  Ye Yatha Mam Prapadyante, Tams Tathal Va Bhajamy Aham, Mama Vartma Nuvartante, Manusyah Partha Arvasah, (Bhagawadgita, IV.II)
§  Jalan manapun ditempuh manusia, ke arah-Ku semuanya Kuterima, Dari mana-mana semua mereka
§  Devan Bhavayana Nana, Te Deva Bhavayantu Vah, Parasparam Bhavayantah, Suyah Param Avapsyatha, (Bhagawadgita, III,II)
§  Dengan ini pujalah dewata, Semoga dewata memberkati engkau, Dengan saling menghormati begini, Engkau mencapai kebajikan tertinggi


KESIMPULAN

Dari contoh ajaran seluruh agama diatas terbuktilah bahwasannya setiap agama mempunyai misi yang mulia, bukan untuk saling mengecam dan mengklaim bahwa ajaran siapa yang paling benar melainkan mengutamakan hubungan antar umat manusia dengan Tuhan,  dengan jalan apapun melalui agama apapun itu sudah menjadi hak pribadi masing-masing tak perlu adanya intrvensi dari masing-masing agama untuk memperluas pengaruhnya kepada umat lain. Karena pada dasarnya yang diutamakan adalah hidup saling berdampingan ditengah keberagaman yang ada sehingga mampu mencipkan kedamaian dan konflik-konflik sosial yang berbau SARA tak akan pernah terulang kembali hingga merenggut nyawa seperti terdapat dalam semboyan negara kita yaitu  “Bhineka tunggal ika” dapat  benar-benar diimplementasikan.




Referensi:
1.      Corneles Wowor, MA., Pandangan Sosial Agama Buddha, penerbit: Aryasuryacandra, 1991.
2.      Corneles Wowor, M.A., Herman S. Endro, S.H., Dr. Hudoyo Hupudio, Materi Pokok Pendidikan Agama Buddha Modul 1 – 3, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Terbuka, 1986
3.      …., Kitab Suci Dhammapada, Yayasan Dhammadipa Arama bagian Penerbitan, Jakarta, 1993
4.      …., Pedoman Pelaksanaan P-4 bagi Umat Buddha, penerbit: Hanuman Sakti, 1993.
5.      …., Pedoman Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama, Proyek Pembinaan Kerukunan Umat Beragama, Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, Departemen Agama RI, Jakarta, 1989/1990.
6.      Wanasari, Ida Pedanda Gde Wayahan,  PEDOMAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DALAM PERSPEKTIF HINDU., http://ibgwiyana.wordpress.com/2012/04/03/47/ Diakses 3 Oktober 2014


No comments:

Post a Comment