KEPEMIMPINAN DALAM HINDU
SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU (STAH) DHARMA NUSANTARA JAKARTA
JL. DAKSINAPATI RAYA NO 10 RAWAMANGUN JAKARTA TIMUR
KATA
PENGANTAR
Om Swastyastu,
Puji syukur penulis haturkan
kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang
Hyang Widi Wasa atas berkat dan karunianya sehingga makalah ini dapat
selesai tepat waktu. Penyusun juga berterimakasih kepada dosen Kepemimpinan Hindu
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta, Prof. Dr. Ir. I Made
Kartika Dhiputra, Dipl-Ing atas bimbingan dan sarannya dalam pembuatan makalah
ini dengan mengambil judul “Kepemimpinan Dalam Hindu”.
Penyusun menyadari bahwa dalam
penulisan makalah ini jauh dari sempurna, untuk itu penyusun mengharapkan
kritik dan saran.
Om Santih, Santih,
Santih OM.
Jakarta,
Juni 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB
I PENDAHULUAN
4
1. LATAR BELAKANG
4
2. RUMUSAN MASALAH
5
BAB II PEMBAHASAN
6
1.
KEPEMIMPINAN
DALAM HINDU
6
2.
KEPEMIMPINAN
HINDU DALAM NITISASTRA
7
3.
KONSEP
KEPEMIMPINAN HINDU
8
a.
CATUR KOTAMANING NRPATI
9
b.
TRI UPAYA SANDHI
9
c.
ASTA BRATA
10
BAB III PENUTUP
12
KESIMPULAN
12
DAFTAR FUSTAKA
13
BAB I
PENDAHULUAN
I.
LATAR BELAKANG
Belakangan ini, terjadi
krisis kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap para pemimpin mereka. Banyak
pemimpin yang terkena kasus-kasus yang tampaknya merupakan hal yang kurang
pantas dilakukan oleh seorang pemimpin. Kasus KKN, kriminal, korupsi,
dan hal-hal lainnya. Selain itu, yang menjadi alasan adalah banyak pemimpin
yang tidak setia pada janji mereka ketika masih berstatus sebagai calon
pemimpin atau ketika berkampanye. Mungkin ketika mereka berkampanye, mereka
berjanji A terhadap masyarakat yang kelak akan dipimpinnya, namun ketika sudah
menjadi pemimpin. Hal ini tentu sangat mengecewakan masyarakat yang telah
memilihnya untuk menjadi seorang pemimpin. Untuk itu, diperlukan suatu
penanaman nilai-nilai kepemimpinan kepada para pemuda sebagai calon pemimpin
bangsa agar nantinya ke depan mereka bisa menjadi pemimpin yang tangguh,
berwibawa dan mampu menghilangkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap para
pemimpin (Wijaya, 2011). Dengan demikian, diharapkan ke depan Indonesia akan
menjadi lebih baik secara ketatanegaraan dan kemasyarakatan
Dalam kehidupan
bermasyarakat ataupun berorganisasi tidak lepas dari adanya pihak yang memimpin
dan pihak yang dipimpin. Setiap kelompok masyarakat maupun organisasi sudah
pasti ada pemimpin, baik secara formal maupun non formal. Berhasil atau
tidaknya suatu kelompok organisasi ditentukan oleh berbagai faktor, di
antaranya bagaimana figur pemimpinnya. Pemimpin yang baik dan ideal akan
mempengaruhi keberhasilan suatu organisasi. Di dalam masyarakat mana pun kepemimpinan
merupakan hal yang pokok yang ikut menentukan jalannya suatu organisasi.
Istilah pemimpin berasal dari kata dasar “pimpin” yang
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai “bimbing atau
tuntun”. Kata kerja dari kata dasar ini, yaitu “memimpin” yang berarti
“membimbing atau menuntun”. Dari kata dasar ini pula lahirlah istilah
“pemimpin” yang berarti “orang yang memimpin” (Tim Penyusun,2005:874). Kata
pemimpin mempunyai padanan kata dalam Bahasa Inggris “leader”.
Sementara itu kata “pemimpin” mempunyai kaitan yang
sangat erat dengan kata “kepemimpinan”. Kepemimpinan adalah kemampuan yang
dimiliki dari seorang pemimpin. Dengan kata lain, kepemimpinan juga dapat
diartikan sebagai kemampuan untuk memimbing dan menuntun seseorang. Jika tadi
kata pemimpin mempunyai padanan kata dalam Bahasa Inggris (leader), maka
kepemimpinan juga mempunyai padanan kata dalam Bahasa Inggris yaitu leadership.
Kata ini berasal dari kata dasar “lead” yang dalam Oxford Leaner’s
Pocket Dictionary (Manser, et all.,1995 : 236) diartikan sebagai “show the
way, especially by going in front”. Sementara itu kata “leadership”
diartikannya sebagai “qualities of a leader”.
Secara umum, kepemimpinan diartikan sebagai kemampuan
untuk mengkoordinir dan mengerahkan orang-orang serta golongan-golongan untuk
tujuan yang diinginkan (Tim Penyusun,2004:78). Menurut William H.Newman (1968)
kepemimpinan adalah kegiatan untuk mempengaruhi perilaku orang lain atau seni
mempengaruhi perilaku manusia baik perorangan maupun kelompok. Bahasan mengenai
pemimpin dan kepemimpinan pada umumnya menjelaskan bagaimana untuk menjadi
pemimpin yang baik, gaya dan sifat yang sesuai dengan kepemimpinan serta
syarat-syarat apa yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin yang baik.
Menyimak pengertian di atas maka terkait dengan
kepemimpinan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama,
kepemimpinan selalu melibatkan orang lain sebagai pengikut. Kedua,
dalam kepemimpinan terjadi pembagian kekuatan yang tidak seimbang antara
pemimpin dan yang dipimpin. Ketiga, kepemimpinan merupakan
kemampuan menggunakan bentuk-bentuk kekuatan untuk mempengaruhi perilaku orang
lain. Keempat, kepemimpinan adalah suatu nilai (values),
suatu proses kejiwaan yang sulit diukur.
II.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana kepemimpinan dalam Hindu?
2.
Bagaimana kepemimpinan Hindu dalam Nitisastra?
3.
Bagaimana konsep kepemimpinan dalam Hindu?
BAB II
PEMBAHASAN
1. KEPEMIMPINAN DALAM HINDU
Dalam agama Hindu, banyak ditemukan istilah yang
menunjuk pada pengertian pemimpin. Ajaran atau konsep kepemimpinan (leadership)
dalam Hindu dikenal dengan istilah Adhipatyam atau Nayakatvam.
Kata “Adhipatyam” berasal dari “Adhipati” yang berarti “raja
tertinggi” (Wojowasito, 1977 : 5). Sedangkan “Nayakatvam” dari kata “Nayaka”
yang berarti “pemimpin, terutama, tertua, kepala” (Wojowasito, 1977 : 177).
Di
samping kata Adhipati dan Nayaka yang berarti pemimpin
terdapat juga beberapa istilah atau sebutan untuk seorang pemimpin,
yaitu: Raja, Maharaja, Prabhu, Ksatriya,
Svamin, Isvara dan Natha. Di samping istilah-istilah tersebut di
Indonesia kita kenal istilah Ratu atau Datu, Sang
Wibhuh, Murdhaning Jagat dan
sebagainya yang mempunyai arti yang sama dengan kata pemimpin namun secara
terminlogis terdapat beberapa perbedaan (Titib, 1995 : 3).
Asal-usul seorang pemimpin sebenarnya telah ditegaskan
dalam kitab suci Veda (Yajurveda XX.9) sebagaimana telah disebutkan di muka,
yang secara jelas menyatakan bahwa seorang pemimpin berasal dari warga negara
atau rakyat. Tentunya yang dimaksudkan oleh kitab suci ini adalah benar-benar
memiliki kualifikasi atau kemampuan seseorang. Hal ini adalah sejalan dengan
bakat dan kemampuan atau profesi seseorang yang dalam bahasa Sanskerta disebut
denganVarna. kata Varna dari urat kata “Vr” yang
artinya pilihan bakat dari seseorang (Titib, 1995 : 10).
Bila bakat kepemimpinannya yang menonjol dan mampu
memimpin sebuah organisasi dengan baik disebut Ksatriya, karena
kata ksatriya artinya yang memberi perlindungan. Demikian pula
yang memiliki kecerdasan yang tinggi, senang terjun di bidang spiritual, ia
adalah seorang Brahmana. Demikian pula profesi-profesi masyarakat
seperti pedagang, bussinessman, petani, nelayan dan sebagainya.
Dalam sejarah Hindu banyak contoh pemimpin yang perlu
dijadikan suri teladan. Di setiap jaman dalam sejarah Hindu selalu muncul tokoh
yang menjadi pemimpin. Sebut saja Erlangga, Sanjaya, Ratu Sima, Sri Aji
Jayabhaya, Jayakatwang, Kertanegara, Hayam Wuruk, Gajah Mada, dan masih banyak
lagi lainnya. Di era sekarang banyak tokoh Hindu yang juga dapat dijadikan
sebagai panutan/pimpinan seperti : Mahatma Gandhi, Svami Vivekananda,
Ramakrsna, Sri Satya Sai dan sebagainya.
Selain itu contoh kepemimpinan Hindu yang ideal dapat
ditemukan dalam cerita Itihasa dan Purana. Banyak tokoh dalam cerita tersebut
yang diidealkan menjadi pemimpin Hindu. Misalnya: Dasaratha, Sri Rama,
Wibhisana, Arjuna Sasrabahu, Pandudewanata, Yudisthira dan lain-lain.
Umumnya dalam cerita Itihasa dan Purana antara
pemimpin (Raja) tidak bisa dipisahkan dengan Pandita sebagai Purohito (penasehat
Raja). Brahmana ksatriya sadulur artinya penguasa dan pendeta
sejalan. “Raja tanpa Pandita lemah, Pandita tanpa Raja akan musnah”.
Misalnya : Bhatara Guru dalam memimpin Kahyangan Jonggring Salaka dibantu oleh
Maharsi Narada sebagai penasehat-Nya, Maharaja Dasaratha ketika memimpin Ayodya
dibantu oleh Maharsi Wasistha, Maharaja Pandu dalam memimpin Astina dibantu
oleh Krpacharya dan sebagainya.
2.
KEPEMIMPINAN HINDU DALAM NITISASTRA
Kitab atau susastra Hindu yang banyak mengulas tentang
konsep-konsep kepemimpinan termasuk etika dan moral di dalamnya disebut dengan
kitab “Niti Sastra”. Kata ini berasal dari Kata Sanskerta “niti (Naqita)”
yang berarti “bimbingan, dukungan, bijaksana, kebijakan, etika”
(Surada,2007:190). Zoetmulder (2006:707) mengartikan kata “niti” sebagai
“ cara bekerja dengan baik dan benar; tingkah laku yang bijaksana; ilmu tata
negara atau politik; kebijaksanaan politik; kebijaksanaan duniawi; taktik atau
rencana yang baik; garis perbuatan; rencana”. Nitisastra sendiri menurut
Zoetmulder (2006:708) merupakan ilmu atau karya mengenai etika politik.
Dengan demikian ruang lingkup Nitisastra tentu sangat
luas mencakup pula etika, moralitas, sopan santun dan sebagainya. Dari
pemahaman etimologis tersebut maka “niti sastra” dapat diartikan sebagai
keseluruhan sastra yang memberikan ketentuan, bimbingan, arahan bagi umat
manusia dalam berbagai aspek kehidupan agar menjadi lebih teratur, terarah, dan
lebih baik.
Selama ini fokus atau pokok bahasan yang menjadi topik
dari Nitisastra adalah Kautilya Artha Sastra. Hal ini disebabkan oleh beberapa
alasan sebagai berikut: Pertama, Kautilya adalah ahli politik dan
kenegaraan tersohor; Kedua, kelengkapan dan kecermatan Kautilya
dalam menyusun karyanya; Ketiga, bahasanya sangat mendetail; Keempat,
perbandingan opini penyusun sebelumnya; Kelima, ketersediaan
dokumen dan hanya dokumen Kautilya Artha Sastra ditemukan secara utuh.
Untuk memahami kepemimpinan Hindu atau kepemimpinan
yang universal, seseorang dianjurkan untuk mempelajari Nitisastra.
Mengingat, pengetahuan dan pemahaman sejarah/konsep pemikiran Hindu (niti
sastra) di bidang Politik, ketatanegaraan, ekonomi, dan hukum yang masih
relevan sampai kini. Konsep-konsep tersebut adalah sumber penting yang memberi
kontribusi perkembangan konsep-konsep selanjutnya di India, Asia bahkan,
dunia. Adapun kontribusi Nitisastra dalam peradaban global antara
lain :
Pemikiran dalam Nitisastra dapat
memberi masukan penting berupa konsep dan nilai positif dalam pengembangan,
pembaharuan, penyusunan kembali konsep-konsep politik, ketatanegaraan, ekonomi,
peraturan hukum era kini.
Usaha menggali, mengangkat nilai-nilai Hindu sebagai
sumbangan Hindu dalam percaturan dunia keilmuan. Paradigma sosial bahwa politik
itu kotor dapat hilang.
3. KONSEP KEPEMIMPINAN HINDU
Dalam konsep kepemimpinan Barat yang lebih banyak
dijadikan dasar adalah sikap dan tingkah laku dari para pemimpin-pemimpin besar
di dunia. Oleh kerena itu mereka banyak mengemukakan jenis-jenis kepemimpinan
yang sesuai dengan tokoh personalnya, seperti : kepemimpinan Karismatik,
kepemimpinan Paternalistik, kepemimpinan Maternalistik, kepemimpinan
Militeristik, kepemimpinan Otokrasi, kepemimpinan Lassez Faire, kepemimpinan
Populistik, kepemimpinan Eksekutif, kepemimpinan Demokratik, kepemimpinan Personal,
kepemimpinan Sosial dan masih banyak lagi lainnya.
Lain halnya dengan konsep kepemimpinan Hindu. Selain
dasar tersebut, yang terutama sekali kepemimpinan Hindu bersumber dari kitab
suci Weda dan diajarkan oleh para orang-orang suci. Kepemimpinan Hindu juga
banyak mengacu pada tatanan alam semesta yang merupakan ciptaan dari Tuhan Yang
Maha Esa.
Adapun konsep-konsep Kepemimpinan Hindu yang banyak
diajarkan dalam sastra dan susastra-nya antara lain : Sad Warnaning
Rajaniti, Catur Kotamaning Nrpati, Tri Upaya Sandi, Panca Upaya Sandi, Asta
Brata, Pañca Dasa Paramiteng Prabhu, sad upaya guna, dan
lain-lain. Berikut ini rincian dari konsep-konsep kepemimpinan Hindu.
a. Catur Kotamaning Nrpati
o Catur Kotamaning Nrpati merupakan konsep kepemimpinan Hindu pada jaman
Majapahit sebagaimana ditulis oleh M. Yamin dalam buku “Tata Negara
Majapahit”. Catur Kotamaning Nrpati adalah empat syarat utama
yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Adapun keempat syarat utama tersebut
adalah :
o Jñana Wisesa Suddha, artinya raja atau pemimpin harus memiliki
pengetahuan yang luhur dan suci. Dalam hal ini ia harus memahami kitab suci
atau ajaran agama (agama agëming aji).
o Kaprahitaning Praja, artinya raja atau pemimpin harus menunjukkan belas
kasihnya kepada rakyatnya. Raja yang mencintai rakyatnya akan dicintai pula
oleh rakyatnya. Hal ini sebagaimana perumpamaan singa (raja hutan) dan hutan
dalam Kakawin Niti Sastra I.10 berikut ini :
Singa adalah penjaga hutan, akan tetapi juga selalu
dijaga oleh hutan. Jika singa dengan hutan berselisih, mereka marah, lalu singa
itu meninggalkan hutan. Hutannya dirusak binasakan orang, pohon-pohonnya
ditebangi sampai menjadi terang, singa yang lari bersembunyi dalam curah, di
tengah-tengah ladang, diserbu dan dibinasanakan.
o Kawiryan, artinya seorang raja atau pemimpin harus berwatak pemberani dalam
menegakkan kebenaran dan keadilan berdasarkan pengetahuan suci yang dimilikinya
sebagainya disebutkan pada syarat sebelumnya.
o Wibawa, artinya seorang raja atau pemimpin harus berwibawa terhadap bawahan dan
rakyatnya. Raja yang berwibawa akan disegani oleh rakyat dan bawahannya.
b. Tri Upaya Sandhi
Di dalam Lontar Raja Pati Gundala disebutkan bahwa
seorang raja harus memiliki tiga upaya agar dapat menghubungkan diri
dengan rakyatnya. Adapun bagian-bagian Tri Upaya Sandi adalah
:
1.
Rupa, artinya
seorang raja atau pemimpin harus mengamati wajah dari para rakyatnya. Dengan
begitu ia akan tahu apakah rakyatnya sedang dalam kesusahan atau tidak.
2.
Wangsa, artinya
seorang raja atau pemimpin harus mengetahui susunan masyarakat (stratifikasi
sosial) agar dapat menentukan pendekatan apa yang harus digunakan.
3.
Guna, artinya
seorang raja atau pemimpin harus mengetahui tingkat peradaban atau kepandaian
dari rakyatnya sehingga ia bisa mengetahui apa yang diperlukan oleh rakyatnya.
c. Asta Brata
Asta Brata adalah ajaran kepemimpinan yang diberikan
oleh Sri Rama kepada Gunawan Wibhisana sebelum ia memegang tampuk kepemimpinan
Alengka Pura pasca kemenangan Sri Rama melawan keangkaramurkaan Rawana. Hal ini
sebagaimana disebutkan dalam Pustaka Suci Manu Smrti IX.303 berikut
ini
Hendaknya raja berbuat seperti perilaku yang sama
dengan dewa-dewa, Indra, Surya, Wayu, Yama, Waruna, Candra, Agni dan Prthiwi
(Pudja dan Sudharta,2002:607).
Hal itu kemudian ditegaskan dalam Kakawin
Ramayana XXIV.52 sebagai berikut:
Sang Hyang Indra, Yama, Surya, Candra dan Bayu, Sang
Hyang Kwera, Baruna dan Agni itu semuanya delapan. Semua beliau itu menjadi
pribadi sang raja. Oleh karena itulah beliau harus memuja Asta Brata (Tim
Penyusun,2004:98).
Ada perbedaan sedikit antara konsep Asta Brata dalam
Pustaka Suci Manu Smrti dan Kakawin Ramayana. Pada Pustaka Suci Manu Smrti
disebutkan Prthiwi Brata sementara itu pada Kakawin Ramayana disebutkan Kwera
Brata. Semua raja harus memuja Asta Brata ini. Karena Asta Brata ini merupakan
delapan landasan sikap mental bagi seorang pemimpin. Adapun delapan bagian Asta
Brata tersebut adalah :
1.
Indra Brata,
kepemimpinan bagaikan Dewa Indra atau Dewa Hujan; Di mana hujan itu berasal
dari air laut yang menguap. Dengan demikian seorang pemimpin berasal dari
rakyat harus kembali mengabdi untuk rakyat.
2.
Yama Brata, kepemimpinan
yang bisa menegakkan keadilan tanpa pandang bulu bagaikan Sang Hyang Yamadipati
yang mengadili Sang Suratma.
3.
Surya Brata,
kepemimpinan yang mampu memberikan penerangan kepada warganya bagaikan Sang
Surya yang menyinari dunia.
4.
Candra Brata, mengandung
maksud pemimpin hendaknya mempunyai tingkah laku yang lemah lembut atau
menyejukkan bagaikan Sang Candra yang bersinar di malam hari.
5.
Bayu Brata, mengandung maksud pemimpin harus mengetahui pikiran atau kehendak (bayu)
rakyat dan memberikan angin segar untuk para kawula alitatau wong
cilik sebagimana sifat Sang Bayu yang berhembus dari daerah yang
bertekanan tinggi ke rendah.
6.
Baruna Brata, mengandung
maksud pemimpin harus dapat menanggulangi kejahatan atau peyakit masyarakat
yang timbul sebagaimana Sang Hyang Baruna membersihkan segala bentuk kotoran di
laut.
7.
Agni Brata,
mengandung maksud pemimpin harus bisa mengatasi musuh yang datang dan
membakarnya sampai habis bagaikan Sang Hyang Agni.
8.
Kwera atau Prthiwi
Brata, mengandung maksud seorang pemimpin harus selalu memikirkan
kesejahteraan rakyatnya sebagaimana bumi memberikan kesejahteraan bagi umat
manusia dan bisa menghemat dana sehemat-hematnya seperti Sang Hyang Kwera dalam
menata kesejahteraan di kahyangan.
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Dapat
disimpulkan berdasarkan uraian mengenai konsep ideal seorang pemimpin menurut Hindu ajaran kepemimpinan yang tertuang
didalam Nitisastra dan berbagai literatur Hindu lainnya ini telah diterapkan sejak jaman dahulu kala,
terutama sejak masa kerajaan-kerajaan masih berdiri di nusantara seperti
Majapahit, Demak, Mataram, pada saat mengalami masa kejayaannya. Ajaran ini
digunakan sebagai dasar kepemimpinan agar raja atau pemimpin memahami arti
ajaran tersebut dan mampu membawa rakyat yang dipimpinnya menuju kemakmuran dan
kesejahteraan. Nilai-nilai kepemimpinan berdasarkan Nitisastra dan literatur Hindu
terbukti membawa masa-masa kejayaan pada kerajaan-kerajaan besar di nusantara.
Oleh karena itu, alangkah baiknya apabila masyarakat sekarang dapat mengimplementasikan
nilai konsep kepemimpinan tersebut pada
masa kini demi memperbaiki kondisi Indonesia menjadi lebih baik dengan
harapan kelak akan tumbuh pemimpin-pemimpin bijak dan ideal di masa mendatang.
DAFTAR FUSTAKA
1.
Kautilya. 2003. Arthasastra, terj. Made Astana & C.S.
Anomdiputro, Surabaya:Paramita.
2.
Manser, Martin H., et all. 1995. Oxford Leaner’s Pocket Dictionary.
New York:Oxford University Press.
3.
Pudja, Gede., Tjokorda Rai Sudharta. 2002. Manawa
Dharma Śāstra, Compendium Hukum Hindu. Jakarta : Pelita Nursatama
Lestari.
4.
Surada, Made. 2008. Kamus Sanskerta Indonesia. Denpasar :
Penerbit Widya Dharma.
5.
Tim Penyusun. 2004. Buku Pelajaran Agama Hindu untuk SLTA Kelas 2.
Surabaya:Paramita.
6.
Tim Penyusun. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta :
Balai Pustaka.
7.
Titib, I Made. 1995. Pemuda dan Pola Kepemimpinan Hindu Menurut
Veda, Makalah disampaikan pada acara Pendidikan Kepemimpinan Regional,
diselenggarakan oleh DPD PERADAH 15 September 1995 di Hotel New Victory,
Selecta, Batu, Malang, Jawa Timur.
8.
Wojowasito, S. 1977. Kamus Kawi – Indonesia, Bandung :
Pengarang.
9.
Zoetmulder, P.J. 2006. Kamus Jawa Kuna – Indonesia, terj.
Darusuprapta, dan Sumarti Suprayitna, Jakarta:Gramedia.
No comments:
Post a Comment