Suara Balam - Pada hari senin, 11 Maret 2013 umat Hindu di Desa
Balinuraga, Kecamatan Way Panji, Kabupaten Lampung Selatan melaksanakan upacara
melasti di Pura ulun Suwi Desa Balinuraga. Sejarah baru bagi umat Hindu di
Balinuraga, biasanya melasti mereka lakukan di Pantai merak belantung namun
melasti kali ini cukup sederhana yaitu hanya dilaksanakan di Pura ulun suwi
sebagai pura Dewi Sri (kemakmuran). Upacara melasti yang dilaksanakan umat
Hindu di desa Balinuraga ini merupakan dampak pasca konflik beberapa bulan yang
lalu yang menyebabkan korban jiwa serta kerusakan harta benda.
Setelah melalui pertimbangan dan musyawarah para tetua adat, sulinggih, jero
gede, serta penglingsir dan intruksi dari Parisada Provinsi bahwa untuk
meminimalisir terjadinya gesekan kembali dengan masyarakat lain, sehingga
melasti untuk tahun ini dilaksanakan di desa masing-masing. Di satu sisi
konflik yang menyisakan kepedihan serta kerugian yang cukup besar juga
berdampak pada pelaksanaan upacara keagamaan umat Hindu disana. Terlihat dari
prosesi yang dilaksanakan dari pukul 08.00 Wib selesai pukul 11.00 Wib untuk
melasti, yang kemudian dilanjutkan mecaru atau tawur agung di perempatan Desa
Balinuraga, umat Hindu di desa Balinuraga masih setia mengikuti setiap
rangkaian upacara yang dilaksanakan yang dipimpin oleh sulinggih. Upacara
melasti di Pura ulun suwi desa Balinuraga diikuti oleh seluruh umat Hindu yang
terbagi menjadi 5 (lima) banjar adat. Ribuan umat Hindu di desa Balinuraga
tumpah ruah menjadi satu di utama mandala Pura Ulun Suwi yang cukup luas untuk
menampung umat di Balinuraga. Walaupun sederhana tidak dilaksanakan di laut
tetapi hakikat dari upacara melasti sangat terasa bagi umat Hindu di
Balinuraga.
Setelah persembahyangan selesai disela nunas tirta seorang Pemangku (Jero Gde) menyampaikan dharma wacana tentang hakekat melasti yang dilaksanakan di Pura ulun suwi, dalam wacananya beliau menghimbau bahwa walaupun pelaksanaan melasti untuk menyambut tahun baru saka 1935 kali ini hanya dilaksanakan di pura ulun suwi namun sesungguhnya inti dari pelaksanaan melasti tetap sama yaitu “Angamet sarineng Amerta ring telenging segara”, amerta dapat diperoleh dari keikhlasan dan kesucian hati umat Hindu yang mengikuti melasti, laut / segara hanyalah simbol dari kesucian amerta dan amerta itu dapat diperoleh pada sumber manapun berdasarkan kesucian manusiannya. Apabia manusia yang melaksanakan melasti tidak melakuan Tri Kaya Parisudha, maka simbolis upacara tidak akan cukup mewakili sebuah kesucian diri. Oleh sebab itu umat Hindu khususnya di Balinuraga harus mulai intropeksi diri karena belum ada kata terlambat, seharusnya kita sadar bahwa hal ini disebabkan karena karma kita sendiri yang kita petik pahalanya sekarang. Kepedihan karena konflik harus dijadikan sebagai pelajaran yang sangat berharga untuk umat Hindu di desa Balinuraga maupun umat Hindu di daerah lain di Lampung Selatan dan Provinsi Lampung, karena dampaknya akan sangat luas terutama kepada generasi kita, anak-anak, cucu dan seluruh keturunan kita. Tahun baru 1935 saka harus benar-benar mampu menjadi awal yang baru untuk menuju perubahan diri yang lebih baik, setelah brata penyepian kita harus benar-benar menjadi manusia baru dengan warna baru dalam hidup sosial bermasyarakat dan beragama.
Setelah selesai seluruh rangkaian upacara melasti dilanjutkan dengan mengarak Pratima ke perempatan agung di desa Balinuraga untuk selanjutnya melaksanakan mecaru (tawur agung). Sore harinya pelaksanaan tawur menjadi tambah semarak dengan mengarak ogoh-ogoh dari masing-masing banjar membawa satu ogoh-ogoh. Setelah itu baru melaksanakan pecaruan di rumah masing-masing umat. Dengan harapan semua unsur negatif baik di lingkup desa maupun rumah akan benar-benar dapat harmonis, sehingga pelaksanaan Catur Brata penyepian ke-esokan harinya menjadi benar-benar bermakna, sebagai perenungan akan karma yang baru saja dilalui sebuh konflik horizontal. Semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru.
Rangkaian perayaaan Nyepi umat di Balinuraga belum selesai begitu saja. Atas inisiatif parisada, penglingsir, serta muda-mudi tepatnya pada tanggal 13 Maret 2013 umat di Balinuraga melaksanakan persembahyangan ngembak geni yang dilanjutkan Dharma Santih bersama seluruh umat Hindu di Balinuraga. Catur Brata Penyepian yang telah dilalui benar-benar dapat menjadi moment instropeksi diri umat Hindu di Balinuraga pasca konflik. Dari rangkaian persembahyangan ngembak geni, yang dilanjutkan dengan dharma santih banyak di isi dengan nilai-nilai dharma diantaranya sebelum mulai persembahyangan muda-mudi yang dipandu oleh mahasiswa KKN STAH Lampung melantunkan sloka-sloka suci, kidung, serta lantunan lagu-lagu suci kirtanam yang dibawakan oleh anak-anak pasraman Govinda Ashram banjar
Sidorahayu.Setelah selesai persembahyangan di isi dengan Dharmawacana
oleh Mahasiswa KKN STAH Lampung Aris Biantoro yang memberikan wacana bahwa
moment nyepi tahun saka 1935 ini benar-benar menjadi warna baru bgi umat hindu
balinuraga pasca konflik beberapa bulan yang lalu. Tuhan telah menegur kita
dengan konflik sehingga kia harus mulai berbenah diri untuk selalu mengutamakan
Dharma dalam setiap sisi kehidupan sebagai umat hindu terutama dalam kehidupan
sosial bermasyarakat. Terakhir puncak dari kegiatan Dharma Santih dilanjutkan
dengan bersimakrama saling bersalaman dan memaafkan bersamaseluruh umat Hindu
di Balinuraga. Setelah selesai Dharma Santih di Pure Ulun Sui, umat secara
bergantian melakukan anjang sane ke Griya para Sulinggih yang ada di Desa
Balnuraga. Ini menandakan umat Hindu di Balinuraga benar-benar ingin berubah
menjadi umat hindu yang baik.
No comments:
Post a Comment