Canang
Sari merupakan ciptaan dari Mpu
Sangkulputih yang menjadi sulinggih
menggantikan Danghyang Rsi
Markandeya di Pura Besakih.Canang
sari ini dalam persembahyangan
penganut Hindu Bali adalah kuantitas terkecil namun inti (kanista=inti). Kenapa
disebut terkecil namun inti, karena dalam setiap banten atau yadnya
apa pun selalu berisi Canang Sari.
Canang sari sering dipakai untuk persembahyangan sehari-hari di Bali. Canang sari juga mengandung salah satu makna sebagai simbol bahasa Weda untuk memohon kehadapan Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa yaitu memohon kekuatan Widya (Pengetahuan) untuk Bhuwana Alit maupun Bhuwana Agung.Canang berasal dari kata "Can" yang berarti indah, sedangkan "Nang" berarti tujuan atau maksud (bhs. Kawi/Jawa Kuno), Sari berarti inti atau sumber. Dengan demikian Canang Sari bermakna untuk memohon kekuatan Widya kehadapan Sang Hyang Widhi beserta Prabhawa (manifestasi) Nya secara skala maupun niskala. Dalam dokumen tersebut juga dijelaskan mengenai bentuk dan fungsi canang menurut pandangan Hindu Bali ada beberapa macam sesuai dengan kegiatan upakara yang dilaksanakan. Di bawah ini penjabaran mengapa canang dikatakan sebagai penjabaran dari bahasa Weda, hal ini melalui simbol-simbol sebagai berikut :
Canang sari sering dipakai untuk persembahyangan sehari-hari di Bali. Canang sari juga mengandung salah satu makna sebagai simbol bahasa Weda untuk memohon kehadapan Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa yaitu memohon kekuatan Widya (Pengetahuan) untuk Bhuwana Alit maupun Bhuwana Agung.Canang berasal dari kata "Can" yang berarti indah, sedangkan "Nang" berarti tujuan atau maksud (bhs. Kawi/Jawa Kuno), Sari berarti inti atau sumber. Dengan demikian Canang Sari bermakna untuk memohon kekuatan Widya kehadapan Sang Hyang Widhi beserta Prabhawa (manifestasi) Nya secara skala maupun niskala. Dalam dokumen tersebut juga dijelaskan mengenai bentuk dan fungsi canang menurut pandangan Hindu Bali ada beberapa macam sesuai dengan kegiatan upakara yang dilaksanakan. Di bawah ini penjabaran mengapa canang dikatakan sebagai penjabaran dari bahasa Weda, hal ini melalui simbol-simbol sebagai berikut :
- Canang memakai alas berupa "ceper" (berbentuk segi empat) adalah simbol kekuatan "Ardha Candra" (bulan).
- Di atas ceper ini diisikan sebuah "Porosan" yang bermakna persembahan tersebut harus dilandasi oleh hati yang welas asih serta tulus kehadapan Sang Hyang Widhi beserta Prabhawa Nya, demikian pula dalam hal kita menerima anugerah dan karunia Nya.
- Di atas ceper ini juga berisikan seiris tebu, pisang dan sepotong jaja (kue) adalah sebagai simbol kekuatan "Wiswa Ongkara" (Angka 3 aksara Bali).
- Kemudian di atas point 2 dan 3 di atas, disusunlah sebuah "Sampian Urasari" yang berbentuk bundar sebagai dasar untuk menempatkan bunga. Hal ini adalah simbol dari kekuatan "Windhu" (Matahari). Lalu pada ujung-ujung Urasari ini memakai hiasan panah sebagai simbol kekuatan "Nadha" (Bintang).
- Penataan bunga berdasarkan warnanya di atas Sampian Urasari diatur dengan etika dan tattwa, harus sesuai dengan pengider-ideran (tempat) Panca Dewata. Untuk urutannya saya menggunakan urutan Purwa/Murwa Daksina yaitu diawali dari arah Timur ke Selatan.
Bunga
berwarna Kuning disusun untuk menghadap arah Barat,
adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Ken Sulasih oleh Prabhawa Nya
dalam kekuatan Sang Hyang
Mahadewa agar memercikkan Tirtha Kundalini
untuk menganugerahi kekuatan intuisi.
Bunga
berwarna Hitam (jika sulit dicari, dapat diganti
dengan warna biru, hijau atau ungu) disusun untuk menghadap arah Utara, adalah
sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Nilotama oleh Prabhawa Nya dalam
kekuatan Sang Hyang Wisnu agar memercikkan Tirtha Pawitra untuk menganugerahi
kekuatan peleburan segala bentuk kekotoran jiwa dan raga.
Bunga
Rampe (irisan pandan arum) disusun di
tengah-tengah, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Supraba oleh
Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Siwa agar memercikkan Tirtha Maha mertha
untuk menganugerahi kekuatan pembebasan (Moksa).
Bunga canang, kembang rampe, porosan adalah simbol dari Tarung / Tedung dari Ong Kara (isi dari Tri Bhuwana (Tri Loka) = Bhur-Bwah-Swah).
Bunga canang, kembang rampe, porosan adalah simbol dari Tarung / Tedung dari Ong Kara (isi dari Tri Bhuwana (Tri Loka) = Bhur-Bwah-Swah).
Tatuwesan atau Reringitan dan Plawa
Unsur-unsur banten selain buah-buahan dan bunga, ada juga
yang disebut dengan plawa (dedaunan), tatuwesan atau reringgitan
yang penuh dengan ornamen-ornamen indah, dalam Lontar Yajnya Prakrti
ditegaskan sebagai berikut:
Reringgitan, Tatuwesan Pinaka
Kalanggengan Kayunta Mayajnya, Sekare Pinaka Kaheningan Kayunta Mayajnya, Plawa
Pinaka Peh Pekayunane Suci, Raka-Raka Pinaka Widyadhara-Widyadhari
Terjemahanya:
Bentuk-bentuk ornament (Reringitan)
sebagai lambang ketekunan untuk berkorban, bunga sebagai lambang kesucian,
dedaunan sebagai lambang pikiran baik, buah-buahan sebagai lambang utusan
Dewa-Dewi.
(http:// Stiti Dharma
Online.com/2012/02//Lis _ Stiti Dharma Online.htm diakses 5 Oktober 2012)
Dari penjelasan lontar tersebut maka makna filosofis dari Tatuwesan
atau Reringitan adalah bukti ketetapan hati untuk bhakti kehadapan Ida
Sang Hyang Widhi.
5.
Urasari
Bentuk urasari ini menyerupai tapak dara atau swastika
yang masih netral. Dimana bentuk tapak dara ini merupakan ungkapan secara
Vertikal dan Horisontal dari pikiran umat manusia dalam pemujaan kehadapan Hyang
Widhi dengan berbagai manifestasinya. Kemudian setelah dihias dengan hiasan
yang menyilang ke sudut-sudut menjadilah bentuk Padma Astadala. Padma
Astadala merupakan lambing perputaran alam yang seimbang yang merupakan
sumber kehidupan untuk menuju kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan.
Padma Astadala juga merupakan simbol Dewata Nawa Sanga. Yang dalam
Lontar Dasaksara disebutkan sebagai berikut:
- Timur, warna putih bersthana Dewa Iswara
- Tenggara, warna merah Muda bersthana Dewa Mahesora
- Selatan, warna merah bersthana Dewa Brahama
- Barat Daya, warna orange bersthana Dewa Rudra
- Barat, warna kuning bersthana Dewa Mahadewa
- Barat laut, warna hijau bersthana Dewa Sangkara
- Utara, warna hitam bersthana Dewa Wisnu
- Timur
laut, wrana Abu/biru bersthana Dewa sambhu
- Tengah, warna manca warna bersthana Dewa Siwa (Swastika, 2008: 90)
Makna filosofis dari Urasari yang terdapat dalam canangsari
adalah selain sebagai sthana dari para Dewata Nawa Sanga
juga merupakan permohonan kehadapan para dewa untuk berkenan memberikan
Anugrahnya dalam kehidupan ini untuk menuju kehidupan Tentram, bahagia, dan
sejahtera. Selain itu konsep penyatuan sekte-sekte kedalam konsep Saiwa
Shidanta secara jelas tampak terlihat dalam Urasari.
3.1 Simpulan
Canangsari berasal dari bahasa jawa kuno yang pada berarti: “Sirih”,
yang mana sirih ini disuguhkan kepada para Tamu (Uttama) yang dihormati.
Di Bali kebiasaan bagi para tetua dalam memakan daun sirih disebut dengan
“Pecanagan”.
Canangsari merupakan ciptaan dari Mpu Sangkulputih yang menjadi
sulinggih menggantikan Danghyang Rsi Markandeya di Pura Besakih. Setelah
Danghyang Markandeya moksah.
Makna filosofis dari canangsari adalah secara
teologis adalah tempat Sthana Ida Shang Hyang Widhi dalam prabawa-Nya
sebagai dewata Nawa Sangga yang di mohon kehadirannya untuk memberiakan
anugerah kepada manusia. Kemudian secar etika canangsari memiliki
makna ketetapan hati dan bhakti kehadapan Ida Shang Hyang Widhi. Dan dari sudut
pandang sejarah maka secara filosofis Canangsari merupakan simbol adanya
penyatuan sekte-sekte kedalam satu konsep yang disebut dengan Saiwa
Shidanta.
1 comments:
bagus-bagus, sangat bermanfaat. tolong komennya juga gan di sini http://wasiva.blogspot.com/2014/06/iphone-6.html biar kita saling silahtu rahmi.
Post a Comment