Wednesday, April 15, 2015

Makna Hari Raya Bude Cemeng Kelawu (Odalan Pess)



Rabu (15/4/2015) lalu orang Bali kembali merayakan hari Buda Cemeng Kelawu. Menurut tradisi Bali, Buda Cemeng Kelawu dimaknai sebagai piodalan pipis, saat menghaturkan rasa syukur ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas limpahan karunia uang yang berlimpah. Pada hari itu, orang Bali memuja Hyang Widhi dalam prabhawa Batari Rambut Sadana yang dimanifestasikan sebagai Dewi Penguasa Uang. Inilah tradisi lokal yang dapat disejajarkan sebagai Hari Keuangan gaya Bali.

Masyarakat di wilayah Bali Timur seperti Gianyar, Bangli, Klungkung hingga Karangasem, hari Buda Cemeng Kelawu mendapat perhatian khusus. Masyarakat awam memaknai Buda Cemeng Kelawu sebagai hari piodalan pipis, hari untuk memuja Batari Rambut Sadana atas karunia kemakmuran dan kesejahteraan yang melimpah.

Pada hari itu, kebanyakan keluarga menghaturkan piodalan di sanggah/merajan rumah masing-masing. Belakangan, lembaga-lembaga keuangan seperti bank mulai mengadakan piodalan atau pujawali di padmasana kantor masing-masing pada Buda Cemeng Kelawu. Karenanya, Buda Cemeng Kelawu menjadi begitu semarak dan meriah di seantero Bali.

Memang, dalam lontar Sundarigama disebutkan, Buda Wage Kliwon yang disebut juga Buda Cemeng Kelawu merupakan saat memuja Batari Rambut Sadana, sang Dewi penguasa atas uang. Saat itu diyakini sebagai saat beryoganya Batari Rambut Sadana.
Wayan Budha Gautama dalam buku Rerahinan Hari Raya Umat Hindu disebutkan jenis widi-widana yang mesti dipersembahkan pada Buda Cemeng Kelawu meliputi suci, daksina, peras, penek, ajuman, sodaan putih kuning. Namun, persembahan ini masih bisa berubah lagi sesuai loka dresta masing-masing daerah.

Tempat menghaturkan persembahan widi-widana tersebut di antaranya parahyangan antara lain Pura Melanting atau pura-pura lainnya yang memang memiliki arca lingga Ida Batara Rambut Sadana. Begitu juga di sanggah/merajan serta tempat penyimpanan uang (brankas) dan tempat penyimpanan beras.

Pantangan Bertransaksi (Trasdisi Hindu)
Yang menarik, ada keyakinan di kalangan sebagian orang Bali mengenai pantangan untuk bertransaksi menggunakan uang dan sejenisnya saat Buda Cemeng Kelawu. Di sejumlah daerah juga disebutkan saat Buda Cemeng Kelawu dipantangkan untuk membayar atau menagih utang-piutang atau pun memberikan/menyedekahkan beras kepada orang lain.

Bagi orang yang hidup dalam tradisi modern, pantangan semacam ini tentu saja sulit untuk diterima. Dinamika perekonomian masyarakat yang begitu tinggi membuat tidak mungkin untuk menghentikan transaksi menggunakan uang dalam sehari. Menghentikan transaksi berarti juga menghentikan kegiatan ekonomi. Berhentinya kegiatan ekonomi berarti kerugian.

Namun, pantangan bertransaksi menggunakan uang dan alat pembayaran sejenisnya di hari Buda Cemeng Kelawu mesti dimaknai sebagai sebuah kearifan lokal Bali dalam memandang arti dan makna uang. Orang Bali menyadari uang merupakan sesuatu yang telah menempati posisi sangat penting dalam kehidupan masyarakat saat ini. Terlebih lagi di masa serbaparadoks kini. Seperti disuratkan dalam Nitisastra, di zaman Kaliyuga yang menang adalah ia yang memiliki uang. Dengan uang, orang kini bisa melakukan apa saja untuk memuaskan keinginannya. Mulai dari membeli mobil terbaru, rumah mewah hingga membeli jabatan tinggi.

Karena begitu berkuasanya uang di zaman Kaliyuga, orang Bali senantiasa diingatkan untuk bisa mengendalikan dirinya dalam memandang, memaknai, memperlakukan serta mencari uang. Saat Buda Cemeng Kelawu, orang Bali disadarkan betapa uang bukanlah segalanya, uang bukanlah dewa. Dengan membiarkan uang diam, tidak dibayarkan dan tidak beredar, orang Bali diingatkan tentang hakikat uang. Yang berkuasa atas segala dunia ini adalah Yang Maha Agung, Yang Mahasumber, Yang Maha Pencipta.


Orang Bali juga diingatkan untuk mengelola uangnya secara arif dan proporsional. Dalam kitab Sarasamuscaya disebutkan, harta kekayaan, termasuk uang yang didapat hendaknya dibagi tiga. Sepertiga buat memenuhi keperluan hidup (kama), sepertiga buat diinvestasikan atau diputar lagi (arta) sehingga menjadi terus bertambah. Sisanya sepertiga lagi mestilah didermakan, di-yadnya-kan (dharma). Dharma ini mesti diterjemahkan dalam arti yang lebih luas. Tidak hanya untuk kepentingan upacara agama, juga untuk membantu saudara-saudara kita yang kurang mampu, membiayai pendidikan anak-anak miskin

No comments:

Post a Comment