Agama
Hindu begitu kaya akan ajaran ketuhanan (theologi) yang semuanya bersumber dari
kitab suci Weda. Dalam agama Hindu sifat-sifat tuhan ada 2 yaitu Nirgunam
Brahman dan Sagunam Brahman. Sifat tuhan yang Nirgunam Brahman adalah tuhan
yang tidak terpikirkan (acintya) dan tanpa rupa dan bentuk. Sedangkan Sagunam
Brahman adalah sifat tuhan yang sudah terkena pengaruhmaya, merupakan tuhan
yang sudah termanifestasikan. Salah satu kepercayaan tentang Sagunam Brahman
adalah kepercayaan tentang dewa-dewa. Kata dewa dalam bahasa Sansekerta berasal
dari katadiv yang berarti bersinar. Dalam bahasa Latin deus berarti dewa dan
divus berarti bersifat ketuhanan. Dalam bahasa Inggris istilah Dewa sama dengan
deity, dalam bahasa Perancis dieu dan dalam bahasa Italia dio. Dalam bahasa
Lithuania, kata yang sama dengan deva adalah dievas, bahasa Latvia menyebut
dievs, kemudian dalam bahasa Prussia
adalah deiwas. Kata-kata tersebut dianggap memiliki makna sama. Devi (atau
Dewi) adalah sebutan untuk Dewa berjenis kelamin wanita. Para Dewa (jamak)
disebut dengan istilah Devata (dewata).
Sebagai wahyu yang pertama, kitab Reg
Weda menyebutkan adanya 33 Dewa, yang mana ketiga puluh tiga dewa tersebut
merupakan manifestasi dari kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Salah satu dari
ke 33 dewa tersebut adalah Dewa Siwa. Siwa adalah salah satu dari tiga dewa
utama (Tri Murti) dalam agama Hindu. Kedua dewa lainnya adalah Brahma dan
Wisnu. Dalam ajaran agama Hindu,Dewa Siwa adalah dewa pelebur, bertugas melebur
segala sesuatu yang sudah usang dan tidak layak berada di dunia fana lagi
sehingga harus dikembalikan kepada asalnya. Oleh umat Hindu Bali, Dewa Siwa
dipuja di Pura Dalem, sebagai dewa yang mengembalikan manusia ke unsurnya,
menjadi Panca Maha Bhuta. Dalam pengider Dewata Nawa Sanga (Nawa Dewata), Dewa
Siwa menempati arah tengah dengan warna panca warna. Ia bersenjata padma dan
mengendarai lembu Nandini. Aksara sucinya I dan Ya. Ia dipuja di Pura Besakih.
Dalam tradisi Indonesia lainnya, kadangkala Dewa Siwa disebut dengan nama
Batara Guru. Menurut cerita-cerita keagamaan yang terdapat dalam kitab-kitab
suci umat Hindu, Dewa Siwa memiliki putra-putra yang lahir dengan sengaja
ataupun tidak disengaja. Beberapa putra Dewa Siwa tersebut yakni: Dewa Kumara
(Kartikeya), Dewa Kala, Dewa Ganesa.
Kata
Siwa berarti yang memberikan keberuntungan (kerahayuan), yang baik hati, ramah,
suka memaafkan, menyenangkan, memberi banyak harapan, yang tenang dan
membahagiakan (Monier dalam Gunawan, 2012 : 56). Sang Hyang Siwa di dalam
mengerakkan hukum kemahakuasaan-Nya didukung oleh sakti-Nya Dewi Durga atau
Parwati. Hyang Siwa adalah Tuhan Yang Maha Esa sebagai pelebur kembali atau
dapat disebut aspek pralaya atau pralina dari alam semesta dan segala isinya.
Siwa yang sangat ditakuti disebut Rudra, karena suara yang menggelegar dan
menakutkan. Kitab Satapatha Brahmana menceritakan tentang kelahiran Rudra.
Penggambaran
tentang dewa Siwa sangatlah unik. Dewa Siwa digambarkan dalam bentuk manusia.
Dewa Siwa digambarkan duduk di kuburan, yang melambangkan kemutlakannya untuk
mengendaliakan kelahiran dan kematian. Tubuhnya telanjang dan dipenuhi dengan
abu. Tubuh yang telanjang melambangkan bahwa Ia bebas dari keterikatan pada
benda material didunia, abu melambangkan intisari dari semua benda dan makhluk
didunia. Abu pada tubuh dewa melambangkan bahwa Ia adalah sumber dari seluruh
penciptaan yang berasal dari dalam dirinya. Penampilan Siwa, Siwa memiliki
rambut ikal yang digelung, berwarna merah. Siwa dikenal dengan nama kapardi. Siwa juga dikatakan sebagai Agni. Memiliki 3 mata (Tri Netra), Phalanetra, Agnilocana, Trolocana dan lain-lain, dua matanya pada
bagian kiri dan kanan melambangkan aktifitas fisiknya di dunia. Yang ketiga di
pusat dahi-Nya yang melambangkan pengetahuan (jnana), dan ini disebut dengan
mata kebijaksanaan atau pengetahuan. Kekuatan pandangan mata ketiga Siwa
bersifat menghancurkan kejahatan. (Pandit, 2006 : 207)
Cerita
tentang mata ketiga dari dewa Siwa dapat di temukan dalam berbagai versi. Diceritakanlah
Siwa sedang asyik bercengkerama dengan sakti-Nya yaitu Dewi Parwati sedang
bermain tutup-tutupan mata, karena mata beliau ditutup oleh kedua telapak
tangan dewi Parwati menyebabkan Siwa sulit melihat, karena terhalangnya
penglihatan Siwa maka dunia menjadi goncang. Maka, dari kening beliau muncul mata ketiga untuk
mengembalikan keadaan dunia seperti keadaan semula, yang terganggu karena kedua
matanya tertutup oleh kedua tangan Parwati.
Uraian
tentang dewa Siwa yang memiliki 3 mata (Trinetra) juga dijumpai dalam kitab
Mahabharata. Kitab Linga Purana menawarkan cerita yang berbeda tentang
timbulnya mata ketiga Siwa. Dikisahkan adalah Sati, anak Daksa istri pertama
Siwa yang bunuh diri dengan cara terjun ke dalam api karena ayahnya (Daksa)
tidak menghiraukan suaminya (Siwa). Karena peristiwa itu, Siwa pergi bertapa di
atas Gunung Himalaya. Parvati, anak Himawan yang jatuh cinta kepada Siwa
sebenarnya adalah Sati “yang lahir kembali”. Sementara itu, makhluk jahat Asura
(raksasa) Tataka mulai mengganggu para dewa. Menurut ramalan, yang dapat
membinasakan makhluk jahat itu hanyalah anak Siwa Dalam kebingungan, para dewa
memutuskan untuk “membangunkan” Siwa Mereka sepakat meminta pertolongan Dewa
Kama. Dengan upayanya, berangkatlah para dewa disertai Parwati ke tempat Siwa
bertapa. Karena keampuhan panah Dewa Kama, Siwa “terbangun”. Siwa yang sedikit
terusik oleh perbuatan Kama membuka mata ketiganya yang menyemburkan api. Api
itu membakar Kama hingga menjadi abu. Pada saat yang bersamaan karena keampuhan
panah Kama, Siwa jatuh cinta pada dewi Parwati.
Rati,
istri Dewa Kama yang mendengar kematian suaminya datang menghadap Siwa dan
mohon untuk menghidupkan kembali Kama. Untuk menghibur Rati, Siwa berjanji
bahwa Kama kelak akan lahir kembali sebagai Pradhyumna. Rati kemudian meminta
anugrah agar dia diberi kehormatan supaya bisa selalu bersama dengan suaminya
yang telah berbadan halus agar lebih mudah menjelma bersama suaminya nanti.
Dewa Siwa memenuhi permintaan Rati, dibakar pulalah Rati dengan mata ketiga-Nya.
Semenjak saat itu Dewa Kama disebut Ananga (tidak berbadan) dan benih-benih
cinta yang ada pada setiap mahluk di dunia adalah percikan abu dari Dewa Kama
dan Dewi Rati. Kisah ini memang berakhir dengan romantika yang indah. Karena
terkena panah cinta dari Dewa Kama akhirnya Dewa Siwa menikah dengan Dewi
Parwati dan melahirkan putra yang
bernama Kumara atau Subrahmanya yang dapat membunuh Asura Tataka.
Di
dalam kitab Purana kita mendapat informasi tentang hiasan yang di gunakan oleh Deva Siwa. Istri para rsi terpikat kepada Siwa, yang
sekali waktu tampil dengan mengenakan pakaian seperti peminta-minta. Para rsi
sangat marah terhadap Siwa atas penampilannya itu dan ingin membunuhnya. Dari
lobang yang di gali, muncul seekor harimau. Siwa membunuh harimau itu dan
mengambil kulitnya. Seekor menjangan mengikuti harimau dan juga muncul dari
lubang yang sama. Siwa memegang binatang itu dengan tangan kirinya. Selanjutnya
muncul dari lubang itu tongkat besi panas berwarna merah. Siwa mengambil
tongkat itu dan menjadikan senjatanya. Terahir dari lubang muncul beberapa ular
kobra dan Siwa mengambil ular dan mengenakan sebagai hiasan. Suatu hari raksasa
bernama Gaya menyamar dalam wujud seekor gajah dan menangkap seorang pandita
yang melarikan diri dan memohon perlindungan di sebuah pura Siwa. Siwa muncul
dan membunuh gajah tersebut, kemudian mengambil kulitnya dikenakan di badannya.
Suatu hari Siwa mengenakan beberapa ekor ular sebagai anting-antingnya, oleh
karena itu ia di kenal dengan nama Nagakundala. Siwa dilambangkan oleh ular di
sekitar lehernya. Ular yang terbelit di lehernya melambangkan kekuatan
penghancurnya. Dalam purana yang lain dikatakan juga bahwa ular tersebut
berfungsi untuk mencegah racun yang diminum saat para dewa dan asura
memperebutkan tirtha amertha masuk kedalam tubuh dewa Siwa. Tasbih melambangkan
sifatnya yang anadi ananta yakni tidak berawal dan tidak berakhir.
Kitab
Kamikagama mengungkapkan mengapa dalam pengarcaannya, Siwa mengenakan hiasan
bulan sabit pada Jatamakuta-Nya (mahkota). Datohan, salah seorang putra Brahma,
menikahkan keduapuluh tujuh (konstelasi bintang) anak perempuannya pada
Santiran, Dewa Bulan. Dia minta agar menantunya memperlakukan semua istrinya
sama dan mencintainya tanpa membeda-bedakan. Selama beberapa waktu, Santiran
hidup bahagia bersama istri-istrinya, tanpa membeda-bedakan mereka. Dua di
antara seluruh istrinya, Kartikai dan Rogini adalah yang tercantik.
Lama-kelamaan, tanpa disadarinya, Santiran lebih memperhatikan keduanya dan
mengabaikan istri-istrinya yang lain. Merasa tidak diperhatikan, mereka mengadu
pada ayah mereka. Datohan mencoba menasihati menantunya agar mengubah sikap,
tapi tidak berhasil. Setelah berunlangkali Santiran diingatkan dan tidak
mengindahkan, Datohan menjadi marah dan mengutuh menantunya; keenam belas
bagian tubuhnya akan hilang satu per satu sampai akhirnya dia akan hilang,
mati. Ketika bagian tubuhnya tinggal seperenam belas bagian, Santiran menjadi
panik dan pergi minta tolong dan perlindungan Intiran. Intiran tidak dapat
menolong. Dalam keadaan putus asa, dia menghadap dewa Brahma yang menasihatinya
agar pergi menghadap Siwa. Santiran langsung menuju Gunung Kailasa dan
mengadakan pemujaan untuk Siwa. Siwa yang berbelas kasihan kemudian mengambil
bagian tubuh Santiran itu dan diletakkan di dalam rambutnya sambil berkata,
“Jangan khawatir, Anda akan mendapatkan kembali bagian-bagian tubuh Anda.
Namun, itu akan kembali hilang satu per satu. Perubahan itu akan berlangsung
terus.” Demikianlah dalam pengarcaannya rambut Siwa dihiasi bagian tubuh
Santiran yang berbentuk bulan sabit di samping tengkorak(ardhacanrakapala).
Versi
yang lain tentang bulan sabit yang ada di kepala dewa siwa di ceritakan dalam
Bhagawata Purana, cerita ini juga agak mirip tapi beberapa nama tokohnya
berbeda. Cerita diawali dari Chandra yang mempunyai dua puluh tujuh istri. Dari
semua istrinya ini, Rohini yang paling cantik dan bergairah sangat disayangi
oleh Dewa Chandra. Karena cintanya kepada Rohini, Dewa Chandra melalaikan
kewajibannya kepada istri-istrinya yang lain, kemudian para istri-istri Dewa
Chandra yang lain tersebut yang juga putri-putri Daksa, mengeluh kepada sang
ayah. Karena merasa ditelantarkan putri-putrinya, Daksa menjadi murka, dan
mengutuk Chandra. Karena dikutuk, Dewa Chandra menderita penyakit paru-paru.
Dari hari ke hari kekuatan dan cahaya Dewa Chandra berkurang. Akhirnya Dewa
Chandra minta perlindungan kepada Dewa Siwa. Dewa Siwa yang penuh kasih
melegakan hati Chandra yang menderita sakit paru-paru dan menaruh Bulan di
kepala-Nya.
Dengan
menumpang di kepala Dewa Siwa, Chandra/Bulan menjadi kekal dan bebas dari
segala bahaya.
Tam
Sivah sekhare krtva cabhavac chandrasekharah,
Nasti
devesu lakesu Sivac caharana-pancarah
(Bhagawata
Purana. 59)
Terjemahan
:
Kemudian
Dewa Siwa dikenal dengan nama Chandrasekhara, sebab beliau menaruh Bulan di
kepalanya. Oh para Dewa, tidak ada seorangpun yang lebih berkasih sayang selain
Dewa Siwa.
Mengetahui
sang suami telah meninggalkan dirinya, putri-putri Daksa itu sedih dan
menangis. Kemudian mereka datang menghadap sang ayah Daksa, putra Dewa Brahma.
Putri-putri Daksa berkata, “Oh Ayah, dahulu kami mohon kepadamu agar kami
mendapat berkah dari suami, tetapi kini bukan mendapat berkah darinya,
melainkan dia telah meninggalkan kami. Oh Ayah,meskipun kami memiliki mata,kami
hanya menemukan kegelapan di mana-mana. Sekarang kami sadar bahwa suami adalah
mata satu-satunya bagi wanita. Bagi wanita, suami itu sendiri adalah Narayana,
ikrar dan agama purba. Wanita yang membenci atau mendengki suami malang dan
bajik dan meninggalkannya, akan menderita di neraka jahanam selama matahari dan
bulan bersinar di Bumi. Di sana (neraka) serangga-serangga yang bagaikan anjing
menggigit dia siang malam. Bila lapar, dia terpaksa makan daging mayat.
Dan untuk meniadakan rasa haus dan dahaga, dia
terpaksa minum air kencing. Selanjutnya dia harus lahir berkali-kali sebagai
burung nazar (yang memakan bangkai), terus lahir sebagai babi betina selama
seratus tahun, kemudian sebagai binatang buas selama seratus kali kelahiran.
Ketika pada akhirnya dia lahir lagi sebagai manusia, dia menjadi Janda,
pengemis dan terus sakit-sakitan. Kemudian putri-putri Daksa berkata
"Mohon kembalikan suami kami, Anda adalah putra Dewa Brahma, dan anda
cukup perkasa untuk menciptakan sendiri satu alam semesta".
Mendengar
kata-kata dari semua putrinya itu, Daksa lalu pergi menghadap Dewa Siwa, Dewa
Siwa bangkit dari tempat duduknya, dan sujud menghormati Daksa. Daksa lalu
memberkati Dewa Siwa, melihat perilaku Dewa Siwa yang rendah hati, kemarahan
Daksa menjadi hilang. Kemudian Daksa berkata, Oh Dewa Siwa, mohon kembalikan
menantuku yang dicintai oleh putri-putriku yang melebihi nyawanya sendiri. Anda
juga adalah menantuku. Jika anda tidak mengembalikan Chandra kepadaku, saya
akan ucapkan kutukan keras atas dirimu".
Setelah
mendengar Daksa bicara, Dewa Siwa mengucapkan kata-kata yang terdengar lebih
manis dari amrita. Dewa Siwa berkata "Anda boleh bakar saya jadi abu, atau
ucapkan satu kutukan atas diriku sesuai kehendakmu, tetapi saya tidak bisa
mengembalikan Chandra (Bulan) yang telah berlindung kepadaku." Mendengar
kata-kata Dewa Siwa demikian, Daksa hendak mengucapkan kutukan atas Dewa Siwa,
Dewa Siwa ingat Govinda, pada saat itu pula Sri Krishna muncul disana dalam
wujud seorang Brahmana tua. Baik Dewa Siwa maupun Daksa sujud kepada Brahmana
tersebut dengan penuh hormat. Beliau memberkati mereka berdua dan berkata
kepada Dewa Siwa. Sri Krishna berkata; "Oh Siwa, tidak ada apapun yang
lebih disayangi oleh semua mahluk hidup selain dirinya sendiri. Dengan
merenungi hal ini, Oh penguasa para Dewa, anda hendaknya selamatkan dirimu
dengan memberikan Chandra kepada Daksa. Anda adalah tempat berlindung terbaik,
anda tenang, anda adalah Vaisnava yang paling terkemuka dan anda memperlakukan
segala makhluk dengan cara yang sama. Anda bebas dari tindak kekerasan dan
kemarahan. Daksa adalah putra perkasa Dewa Brahma dan dia berwatak pemarah.
Dewa yang mulia mengalah dihadapan yang sedang marah".
Dewa
Siwa tersenyum dan berkata "Saya bisa mengorbankan pertapaan saya,
kemuliaan saya, semua keberhasilan saya, kekayaan dan bahkan nyawa saya
sendiri. Tetapi saya tidak bisa meninggalkan orang yang telah berlindung kepada
saya. Dia yang telah mencampakkan seseorang yang telah berlindung kepadanya,
akan ditinggalkan oleh Dharma. Oh Tuhanku, anda tahu betul tentang Dharma.
Mengapa anda mengucapkan kata-kata yang dipengaruhi khayalan?. Anda adalah
pencipta dan pelebur segala sesuatu. Orang yang berbhakti kepada Mu tidak takut
kepada siapapun".
Tuhan
yang mengetahui betul perasaan setiap orang, mendengar kata-kata Dewa Siwa
dengan seksama. Kemudian beliau mengambil setengah bagian Chandra (Bulan) yang
sakit dan memberikannya kepada Daksa. Selanjutnya Beliau mengambil setengah
bagian Bulan yang sehat dan menaruhnya di kepala Dewa Siwa. Melihat Bulan
tergerogoti oleh penyakit paru-paru, Daksa kemudian berdoa kepada Sri Krishna.
Beliau lalu mengatur bahwa Bulan akan bercahaya penuh selama dua minggu, dan
tidak akan bercahaya selama dua minggu berikutnya. Demikianlah ketetapan alam
yang dibuat oleh Sri Krishna. Setelah memberkati Dewa Siwa dan Daksa, Sri
Krishna kembali ketempat tinggal-Nya . (Sumber :
http://purabhaktiwidhi.blogspot.com/2010/10/bulan-sabit-di-kepala-dewa-Siwa.html,
diakses Jumat 30 Maret 2012 Pukul 19.02 Wita).
Dewi
Gangga dan Ardhacandra (bulan sabit) bertengkar pada kepalanya, oleh karena itu
disebut Gangadhana dan Candracuda. Bulan sabit yang terlihat pada kepala Dewa
Siwa tersebut sebagai hiasan, dan bukan menjadi bagian dari tubuh-Nya.
Pembahasan dan pengecilan bulan melambangkan siklus waktu dimana penciptaan ada
didalamnya dari awal sampai akhir dan kembali ke awal lagi. Karena Tuhan adalah
Kenyataan yang Abadi, bulan sabit hanyalah hiasan dan bukan bagian penting
diri-Nya. Bulan juga melambangkan sifat hati seperti cinta, kebaikan, dan
kasih. Bulan sabit yang dekat dengan kepala Dewa memilki makna bahwa seorang
pemuja harus mengembangkan sifat-sifat ini agar dapat lebih dekat dengan Dewa.
(Pandit, 2006 : 208)
Kitab
Mahabharata menguraikan asal mula sapi jantan atau banteng menjadi kendaraan
Siwa dalam dua versi. Versi pertama, Bhisma menjelaskan kepada Yudistira
mengenai asal mula sapi jantan menjadi wahana Siwa. Daksa, atas perintah
ayahnya, yakni Brahma, menciptakan sapi. Siwa yang sedang bertapa di dunia
terkena susu yang tumpah dari mulut anak sapi yang sedang menyusu pada
induknya. Untuk menjaga agar Siwa tidak marah, Dakasa menghadiahkan seekor sapi
jantan pada Siwa. Siwa sangat senang menerima pemberian itu dan dijadikannya kendaraan.
Versi
kedua, mirip cerita di atas, hanya peran Daksa dipegang oleh Brahma. Di sini
Siwa menjawab pertanyaan Uma mengapa kendaraan Siwa itu adalah banteng dan
bukan binatang lain. Dikisahkan pada waktu penciptaan pertama, semua sapi
berwarna putih dan sangat kuat. Mereka berjalan-jalan penuh kesombongan.
Tersebutlah Siwa sedang bertapa di Pegunungan Himalaya dengan cara berdiri di
atas satu kaki dengan lengan diangkat. Sapi-sapi yang sombong itu berjalan
bergerombol di sekeliling Siwa, sehingga ia kehilangan keseimbangan. Atas
kejadian itu, Siwa sangat marah dan dengan mata ketiganya ia membakar sapi-sapi
yang sombong itu, sehingga warna mereka berubah hitam. Itulah sebabnya ada sapi
berwarna hitam. Banteng yang melihat kejadian itu mencoba melerai dan meredakan
amarah Siwa. Sejak itu banteng menjadi kendaraan Siwa. Sapi-sapi yang melihat
dan mengakui kehebatan dan kesaktian Siwa sangat kagum dan mengangkatnya
sebagai pemimpin, serat memberi julukanGopari pada Siwa.
Seekor
sapi, yang dikenal dengan nama Nandi, yang dihubungkan dengan Siwa dan
dikatakan sebagai kendaraannya. Sapi jantan ini melambangkan kekuatan dan
ketidakpedulian. Siwa mengendarai sapi menandakan bahwa Śiwa menghilangkan
ketidakpedulian dan menganugerahkan kekuatan kebijaksanaan pada pemujanya. Sapi
dalam Sanskertanya Vṛṣa. Dalam bahasa Sanskṛta Vṛṣa juga berarti Dharma
(kebenaran). Sehingga sapi disamping Siwa melambangkan persahabatan abadi dan
kebenaran. Nandi juga melambangkan kesadaran seseorang (sṛṣṭa puruṣa) atau
manusia yang sempurna, yang terserap secara permanen dalam pandangan Kenyataan.
Siwa
menghancurkan segalanya dengan mebawa Trisula. Trisula senjata yang utama
Siwa, Dalam berbagai gambar Siwa
digambarkan memegang Trisula di tangan belakang. Siwa Purana IV.20 menyebutkan,
Dewa
yang bersenjatakan Trisula ,
Brahman
yang agung, yaitu Siwa adalah asal mula penciptaan, pemeliharaan, dan
penghancuran. pelenyapan, serta pemberkatan.
Tanpa
campur tangan beliau maka tidak seujung rambut pun benda atau makhluk bisa
dihancurkan.
Sebuah
Trisula memiliki tiga ujung, yang menandakan tiga sifat alam : sattva
(keaktifan), rajas (kegiatan), dan tamas (ketidakaktifan). Trisula melambangkan
bahwa dewa jauh dari jangkauan ketiga sifat alam ini. Trisula juga melambangkan
senjata yang digunakan Dewa untuk menghancurkan kejahatan dan ketidakpedulian
di dunia. (Pandit, 2006 : 208). Selain trisula
ada pula senjata lain disebutpinaka, oleh karena itu Siwa disebut dengan
nama Pinakapani (Siwa yang memegang pinaka di tangannya). Siwa digambarkan memiliki
2,2,8, dan 10 tangan. Disamping membawa Pinaka, Siwa juga memegang tongkat yang
dinamakan khatyanga, busur (Ajagava), seekor menjangan, genitri, tengkorak,
damaru (gendang kecil), dan benda-benda suci lainnya
Sebuah
damaru (kendang kecil) yang menghasilkan suara yang bergetar. Seperti yang
disebutkan dalam kitab Hindu suara yang bergetar dari suku kata Om yang suci
dipercaya sebagai sumber dari penciptaan. Sebuah damaru pada salah satu tangan
mengandung makna bahwa ia menyangga seluruh ciptaan di tangannya, mengatur
sesuai dengan keinginannya. Karena harimau menyimbolkan kekuatan, kulit harimau
yang menjadi tempat duduk Dewa Siwa melambangkan Ia adalah sumber dari kekuatan
yang pasti yang Ia kendalikan sesuai dengan keinginan-Nya. (Pandit, 2006 : 208).
0 comments:
Post a Comment