Doktrin-doktrin Agama yang Mengacu Mendorong Manusia
Berprilaku Hidup Rukun Damai Saling Menghargai
Sikap Saling Menjaga Keberagaman yang Ada
Disusun Oleh:
Wayan
Tarna
I Kadek Nova .Wy
I Ketut Sumita
I Wayan Sudarta
Kadek Widi .W
Luh Jumik Antari
Nanda Rizka .S
Sekolah Tinggi Agama Hindu
(STAH) Dharma Nusantara Jakarta2014
1.
ISLAM
Doktrin Agama Islam yang merujuk pada sikap toleransi dan menghormati
trhadap keberagaman yang ada di Indonesia doktrin islam mngenai krukunan antar
umat manusia ditngah keberagaman hal ini mrujuk pada sebutan sebuah ukhuwah
(persaudaraan) hal ini mengaju pada kitab suci Islam al-Quran yang mnjadi
sumber ajaran Islam, dijelaskan
bahwasannya kebragaman dapat dijadikan sumber kekuatan untuk memperkuat
identitas bangsa, Hal ini secara jelas disampaikan dalam surat al-Hujurat ayat
13:
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal”.
Dari Ayat itu saja sudah dijlaskan bahwa aadanya printah saling menjaga
tali prsaudaraan (ukhuwah) diantara umat manusia dngan cara trus saling mengnal
dengan saling mnarik manfaat dari masing masing kebragaman yang ada, dngan
begitu rasa saling mmiliki satu sama lain akan muncul untuk kemudian
selanjutnya dapat membina hubungan yang harminis antar umat bragama. Kbragaman
yang ada seperti 2 mata pisau yang saling bersebrangan satu sisi mnghancurkan
dan satu sisi lagi saling menguatkan mnjadi sebuah identitas bangsa.
2.
KRISTEN
Sebenarnya tujuan yang hendak dicapai
setiap agama adalah umatnya spritual dan bermoral yang terwujud dalam hubungan
Tuhan dan sesamanya toleransi setiap Agama adalah hal yang mutlak yang harus
diterapkan sebagai konskuensi dari cita-cita yang ingin dicapai setiap umat
beragama di Agama Kristen sendiri mengenal adanya itu :
• Gereja
mengecam setiap diskriminasi
• Gereja juga
mengecam penganiayaan
berlandaskan: Warna kulit, Status social, Ajaran yang berbeda
I Petrus 2 ayat 12
“Milikilah cara hidup yang baik di tempat-tempat bangsa bukan
Yahudi supaya apabila mereka memfitnah kamu sebagai orang durjana mereka dapat
melihatnya dari perbuatan-perbuatanmuyang baik dan memuliakan Allah pada hari
Ia melawat mereka”
Jelaslah bahwa Gereja menginginkan adanya keharminisan
antara umat manusia mskipun berlatar blakan suku ras agama dll dijelaskan
kembali dalam Cinta Kasih (I Korintus 13: 4-7)
Kasih itu :
• Sabar, Murah hati, Tidak cemburu, Tidak memegahkan diri dan tidak
sombong, Tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak
mencari keuntungan diri sendiri, Tidak pemarah, Tidak menyimpan kesalahan orang lain, Tidak bersuka cita karena ketidak adilan, Tidak menutupi segala sesuatu, Tidak mengharapkan segala sesuatu dan sabar menanggung
segala sesuatu
3. BUDDHA
Agama Buddha dalam sejarah perkembangannya telah
menunjukkan bahwa agama Buddha pada masa kejayaan Sriwijaya, Majapahit maupun
pada masa kerajaan Mataram Kuno telah mampu mempersatukan dan membina kerukunan
hidup antar umat beragama, sehingga terwujud persatuan dan kesatuan bangsa.
Hal
ini menujukkan bahwa di mana telah terbina kerukanan hidup antar umat
beragama, maka di sana akan terwujud persatuan dan kesatuan dan selanjutnya
apabila persatuan dan kesatuan telah terwujud maka di situ akan dapat dibangun
sebuah kerajaan yang jaya.
Memahami
arti pentingnya kerukunan hidup antar umat beragama dan persatuan dan kesatuan,
maka dipandang perlu untuk diuraikan fakta sejarah perkembangan agama Buddha
dalam memberikan konstribusi bagi terwujudnya sebuah kerukunan.
1. Upali Sutta
Diceritakan
bahwa semasa hidup Sang Buddha, Nigantha Nataputha seorang guru besar dari
sekte agama Jaina mengutus Upali seorang siswanya yang cerdik, pandai dan berpengaruh
di masyarakat untuk berdialog, memperbincangkan tentang ajaran Buddha yaitu Hukum Karma.
Setelah
berdialog cukup panjang Upali memperoleh kesadaran bahwa ajaran Buddha tentang
kamma adalah yang benar. Upali kemudian memohon kepada Sang Buddha untuk
diterima sebagai muridnya. Sang Buddha menyuruh Upali untuk memikirkannya
karena Upali adalah murid dari Guru Besar dan ternama, ia juga orang
berkedudukan dan terpandang di masyarakat.
Akhirnya
Sang Buddha menerima Upali sebagai muridnya dengan mengucapkan: “Kami
terima anda sebagai umatku, sebagai muridku, dengan harapan anda tetap
menghargai bekas agamamu dan menghormati bekas gurumu itu, serta membantunya”.
Dari
cerita tersebut maka tampaklah bahwa masa kehidupan Sang Buddha telah
menunjukkan demikian besarnya toleransi Sang Buddha terhadap keyakinan atau agama lain.
2. Maha Raja Asoka (Prasati Asoka)
Raja
Asoka dalam menjalankan pemerintahannya benar-benar menjaga toleransi dan
kerukunan hidup beragama, semua agama yang berkembang saat itu diperlakukan
adil. Untuk mewujudkan kerukunan hidup beragama tersebut, Raja Asoka telah
mencanangkan Kerukunan Hidup Beragama yang terkenal dengan “Prasasti
Batu Kalinga No. XXII Raja Asoka”.
PRASASTI RAJA ASOKA
“Janganlah
kita hanya menghormati agama sendiri dan mencela agama orang lain tanpa suatu
dasar yang kuat. Sebaliknya agama orang lain pun hendaknya dihormati atas
dasar-dasar tertentu.
Dengan berbuat demikian kita telah membantu agama kita
sendiri, untuk berkembang di samping menguntungkan pula agama orang lain.
Dengan berbuat sebaliknya kita telah merugikan agama kita sendiri, di samping
merugikan agama orang lain.
Oleh karena itu, barang siapa menghormati agamanya
sendiri dan mencela agama orang lain, semata-mata karena didorong oleh rasa
bakti pada agamanya sendiri dengan berpikir; bagaimana aku dapat memuliakan
agamaku sendiri. Dengan berbuat demikian ia malah amat merugikan agamanya
sendiri. Oleh karena itu, kerukunanlah yang dianjurkan dengan pengertian bahwa
semua orang hendaknya mendengarkan dan bersedia mendengar ajaran orang lain”.(Proyek Bimbingan P4, 1983/1984,:
28, SM Rasyid, 1988).
3. Era Kerajaan di Indonesia
Pada
jaman Keprabuan Majapahit telah berhasil menghantarkan bangsa di nusantara kita
ini memasuki jaman keemasan karena adanya kerukunan hidup beragama, yakni
kerukunan hidup antar umat beragama Hindu dan umat beragama Buddha, yang
berhasil mewujudkan persatuan dan kesatuan negara tersebut.
Pada
masa tersebut seorang pujangga besar telah menyusun karya sastra “Sutasoma”, yang
di dalam mukadimahnya tersurat sebuah kalimat yang memiliki makna terdalam guna
membina kerukunan persatuan dan persatuan antar umat beragama, yaitu: “Siwa
Buddha Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa”. Kalimat
sakti tersebut sekarang telah dijadikan motto atau semboyan Bhinneka
Tunggal Ika di lambang negara garuda pancasila.
Kerukunan Hidup Umat Beragama Buddha di Masa Pembangunan
Pada
beberapa tahun yang lalu, sebagai hasil dari dialog intern umat beragama,
Dialog antar umat beragama dan dialog antar umat beragama dengan pemerintah,
akhirnya lahirlah Tri Kerukunan Hidup Beragama, yaitu:
1)
Kerukunan Intern Umat Beragama
2)
Kerukunan Antar Umat Beragama
3) Kerukunan
Umat Beragama dengan Pemerintah
Upaya
yang dapat ditempuh umat Buddha dalam rangka menuju terciptanya dan
melestarikan Tri Kerukunan tersebut adalah dengan meningkatkan Moral, Etika,
dan Akhlak bangsa yang disebut SILA. Moral adalah ajaran tentang hal yang
baik dan buruk, yang menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia. Moral dalam
manifestasinya dapat berupa aturan, prinsip-prinsip, benar dan baik, terpuji
dan mulia.
Selain
menjaga diri dengan Sila, umat Buddha dapat mengembangkan
kesempurnaan-kesempurnaan (Paramita). Menurut Sang Buddha berkembangnya
perpecahan dan hancurnya persatuan dan kesatuan (kerukunan) mengakibatkan
pertentangan, pertengkaran. Sang Buddha bersabda dalam Dhammapada ayat 6,
sebagai berikut:
“Mereka tidak tahu bahwa dalam pertikaian mereka akan
hancur dan musnah, tetapi mereka yang melihat dan menyadari hal ini damai dan
tenang”.
Sumber
dari perpecahan menurut Sang Buddha dijelaskan dalam Dhammapada ayat 5, yaitu:
“Di dunia ini kebencian belum pernah berakhir jika
dibalas dengan membenci, tetapi kebencian akan berakhir kalau dibalas
dengan cinta kasih. Ini adalah hukum kekal abadi”.
Dari
kutipan di atas, dengan jelas diungkapkan bagaimana akibat dari pikiran yang
jahat bagi seseorang, bagi suatu golongan tertentu, bagi suatu bangsa bahkan
bagi umat manusia. Maka diperlukan kedewasaan berpikir. Berkata dan
bertindak (sila). Dasarnya adalah ajaran Buddha dalam Anguttara Nikaya II,
yaitu: Hiri (perasaan malu untuk berbuat tidak baik dan Ottapa (rasa
takut akan akibat perbuatan jahat). Dua dasar tersebut adalah Lokapala
Dhamma atau Dhamma pelindung dunia.
Sehubungan
dengan hal itu, pada masa pembangunan umat Buddha Indonesia hendaknya selalu
menjadikan ajaran-ajaran Sang Buddha sebagai pedoman dalam menjalankan
kehidupan beragama.
Konsep kerukunan yang diajarkan
Sang Buddha bukanlah konsep teoritis namun harus dibarengi dengan praktik nyata.
Memahami kerukunan dapat dilihat segi pasif dan aktif. Banyak manfaat baik
sebagai hasil dari kerukunan merupakan tujuan dari kerukunan itu sendiri. Dalam
hal ini jelaslah tidak ada ada kata “Tidak” untuk hidup rukun bagi umat Buddha.
1. Pada prinsipnya
ajaran agama Buddha mengajarkan kepada umat Buddha untuk membebaskan diri dari
penderitaan, secara universal agama Buddha mengajarkan agar semua makhluk hidup
berbahagia. Konsepsi ini memberikan peluang untuk memungkinkan terciptanya
kerukunan intern dan antar umat beragama.
2. Dengan dasar ajaran cinta kasih (metta) dan
kasih sayang (karuna) terhadap semua makhluk, agama Buddha
memberikan peluang dan wawasan kepada umatnya untuk memiliki wawasan keagamaan
yang insklusif mau menerima dan menghargai
kehadiran golongan agama lain di luar dirinya.
3. Dengan faktor kepribadian
Pancasila, dalam bentuk hubungan kekerabatan dalam masyarakat Indonesia
merupakan faktor peredam terhadap
timbulnya pertentangan antar agama.
4.
HINDU
Dalam ajaran Hindu dikenal adanya butir-butir kerukunan sebagai berikut :
Tri Hita Karana, Tri Kaya Parisudha dan Tat Twam Asi.
Tri Hita Karana
Secara harfiah Tri Hita Karana dapat diartikan tiga penyebab kebahagiaan. (tri artinya tiga, hita artinya kebahagiaan, dan karana artinya penyebab).
Unsur-unsur Tri Hita Karana adalah :
Secara harfiah Tri Hita Karana dapat diartikan tiga penyebab kebahagiaan. (tri artinya tiga, hita artinya kebahagiaan, dan karana artinya penyebab).
Unsur-unsur Tri Hita Karana adalah :
1.
Parhyangan, yaitu membina hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan Yang
Maha Esa.
2.
Pawongan, yaitu membina hubungan yang harmonis antara sesama manusia sehingga
tercipta keselarasan, keserasian dan keseimbangan.
3.
Palemahan, yaitu membina hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam
lingkungannya.
Secara keseluruhan Tri Hita Karana merupakan tiga
unsur keseimbangan hubungan Manusia dengan Tuhan, hubungan Manusia dengan
Manusia dan hubungan Manusia dengan alam lingkungannya yang dapat mendatangkan
kesejahteraan, kedamaian dan kebahagiaan bagi kehidupan manusia.
Ketiga unsur tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan karena merupakan penyebab yang satu dengan yang lainnya berjalan secara bersamaan dalam kehidupan manusia sehari-hari.
Manusia senantiasa ingat akan kebesaran dan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, senantiasa taqwa kepada Tuhan, senantiasa mohon keselamatan dan senantiasa pula tidak lupa memohon ampun atas segala kesalahan yang diperbuat baik kesalahan dalam berpikir, berkata maupun kesalahan dalam perbuatan yang nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Tri Kaya Parisudha
Secara arti kata Tri Kaya Parisudha dapat diterjemahkan prilaku yang suci. (tri artinya tiga, kaya artinya prilaku, parisudha artinya semuanya suci).
Unsur-unsur Tri Kaya Parisudha adalah :
1.
Manacika Parisudha, yaitu berpikir yang suci, baik dan benar.
2.
Wacika Parisudha, yaitu berkata yang suci, baik dan benar.
3.
Kayika Parisudha, yaitu berbuat yang suci, baik dan benar.
Dalam ajaran Agama Hindu, Tri Kaya Parisudha merupakan
suatu etika sopan santun dan budi pekerti yang luhur yang harus dilaksanakan
dalam kehidupan nyata sehari-hari untuk menghindari adanya rasa kurang
menghormati harkat dan martabat manusia yang dapat menimbulkan kemarahan dan
rasa dendam yang berkepanjangan di antara sesama manusia.
Manusia hendaknya selalu berpikir
yang suci, baik dan benar yang merupakan langkah awal untuk melangkah lebih
lanjut. Kesalahan dalam berpikir walaupun tidak dilanjutkan dengan perkataan
dan perbuatan sudah merupakan suatu pelanggaran dan menghasilkan hal yang tidak
baik sebagai
terdapat dalam ungkapan “Riastu
riangen-angen maphala juga ika”.
Manusia hendaknya selalu berkata
yang suci, baik dan benar agar tidak menyinggung perasaan orang lain yang dapat
menimbulkan kemarahan dan rasa sakit hati yang mengakibatkan permusuhan di
antara sesama manusia. Oleh karena itu setiap manusia hendaknya selalu berupaya
agar dapat berkata yang baik sehingga enak didengar yang dapat menimbulkan rasa
simpati setiap manusia dalam berinteraksi. Rasa simpati manusia dapat
mewujudkan kerukunan dalam kehidupan.
Manusia hendaknya senantiasa
dapat berbuat dan bertingkah laku yang suci, baik dan benar sehingga tidak
merugikan orang lain bahkan perbuatan itu selalu dapat menyenangkan orang lain
dan bermanfaat bagi kehidupan manusia yang merupakan kebajikan dapat
meringankan penderitaan sesama manusia. Dalam ungkapan Sarasamuscaya manusia
hendaknya dapat berbuat dan bertingkah laku untuk menyenangkan orang lain (Angawe sukaning wong len) sehingga
akan
terwujud kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat.
Tat Twam Asi
Apabila diterjemahkan secara artikulasi Tat Twam Asi berarti Itu adalah Kamu atau Kamu adalah Itu. Dalam pergaulan hidup sehari-hari hendaknya manusia senantiasa berpedoman kepada Tat Twam Asi, sehingga tidak mudah melaksanakan perbuatan yang dapat menyinggung perasaan bahkan dapat menyakiti hati orang lain dan pada akhirnya menimbulkan rasa iri hati dan benci.
Tat Twam Asi menjurus kepada Tepa Selira atau Tenggang Rasa yang dapat menuntun sikap dan prilaku manusia senantiasa tidak melaksanakan perbuatan yang dapat menimbulkan sakit hati
sehingga terjadi perpecahan dan permusuhan.
Oleh karena itu janganlah suka
menyakiti hati orang lain karena pada hakikatnya apa yang dirasakan oleh orang
lain seyogyanya kita rasakan juga. Jikalau kita memukul orang akan dirasakan
sakit lalu bagaimana kalau kita dipukul orang lain pasti akan sakit pula.
Marilah kita membiasakan diri untuk senantiasa menaruh rasa simpati kepada
orang lain sehingga tidak pernah terlintas dalam hati untuk berbuat yang dapat
menyakiti orang lain,
vasudeva kuthumbhakam : kita semua bersaudara.
“Salahkanlah diri sendiri
terlebih dahulu sebelum menyalahkan orang”.
“Senantiasalah mengoreksi diri
sebelum mengoreksi orang lain”.
Untuk mendapat gambaran lebih lanjut di bawah ini akan disampaikan beberapa sloka Kerukunan yang terdapat dalam Kitab Suci Agama Hindu sebagai berikut :
§
Sam Gacchadhvan Sam Vadadhvam,
Sam Vo Manamsi Janatam, Deva Bhagam Yatha Purvo, Sanjanano Upasate (Rg
Veda X.191.2)
§
Berkumpul-kumpullah,
bermusyawarahlah, Satu sama lain satukanlah semua pikiranmu, Dewa pada jaman
dulu, Senantiasa dapat bersatu.
§
Samani Va Akutih, Samana Hrdayani
Vah, Samana Astu Vo Mano, Yatha Va Susahasati, (Rg Veda X.191.4)
§
Samalah hendaknya tujuanmu,
Samalah hendaknya hatimu, Samalah hendaknya pikiranmu, Semoga semua hidup
bahagia bersama.
§
Sarve Mandati Yasa Sagatena,
Sabhasahena Sakhya Sakhyayah, Kilbisah Prt Pitusanir Hyosamaram, Hito
Bhavati Vajinaya, (Rg Veda X.17.10)
§
Semua teman senang hati dalam
persahabatan yang dating, Dengan kejayaan setelah berhasil dalam
permusyawaratan, Tuhan sesungguhnya pelindung kita dari kejahatan, Yang memberi
makan, bersiap baik untuk pemulihan.
§
Yadi Na Syurmanusyesu, Ksaminah
Prtivismah, Na Syat Sakhyam Manusyanam, Krodhamulahi Vigrahah,
(Sarasamuscaya, 94)
§
Apabila tidak ada orang yang
ksamawan, sabar, tahan uji, Bagaikan Ibu Pertiwi niscaya tidak ada kepastian
persahabatan, Melainkanjiwa murka menyelubungi sekalian makhluk. Karenanya
pasti bertengkar satu sama lainnya.
§
Japye Nalva Samsidhyed, Brahmano
Natra Samcayah, Kuryan Anyan Na Va Kuryan, Maitro Brahmana Ncyate, (Manawa
Dharmasastra II, 87)
§
Tak dapat disangkal lagi seorang
yang utama, Dapat mencapai tujuan yang tertinggi dengan mengucapkan mantra,
Apakah ia melakukan yadnya melalui orang lain atau melalai-kannya, Ia yang
bersahabat dengan semua makhluk dinyatakan manusia utama.
§
Ye Yatha Mam Prapadyante, Tams
Tathal Va Bhajamy Aham, Mama Vartma Nuvartante, Manusyah Partha Arvasah,
(Bhagawadgita, IV.II)
§
Jalan manapun ditempuh manusia,
ke arah-Ku semuanya Kuterima, Dari mana-mana semua mereka
§
Devan Bhavayana Nana, Te Deva
Bhavayantu Vah, Parasparam Bhavayantah, Suyah Param Avapsyatha,
(Bhagawadgita, III,II)
§
Dengan ini pujalah dewata, Semoga
dewata memberkati engkau, Dengan saling menghormati begini, Engkau mencapai
kebajikan tertinggi
KESIMPULAN
Dari contoh ajaran seluruh agama diatas terbuktilah bahwasannya setiap agama mempunyai misi yang mulia, bukan untuk saling mengecam dan
mengklaim bahwa ajaran siapa yang paling benar melainkan mengutamakan hubungan
antar umat manusia dengan Tuhan, dengan jalan apapun melalui agama apapun itu sudah menjadi hak
pribadi masing-masing tak perlu adanya intrvensi dari masing-masing agama untuk
memperluas pengaruhnya
kepada umat lain. Karena pada dasarnya yang diutamakan adalah hidup saling
berdampingan ditengah keberagaman yang ada sehingga mampu mencipkan kedamaian dan konflik-konflik sosial
yang berbau SARA tak akan pernah terulang kembali hingga merenggut nyawa
seperti terdapat dalam semboyan negara kita yaitu “Bhineka tunggal ika” dapat benar-benar diimplementasikan.
Referensi:
1.
Corneles Wowor, MA., Pandangan Sosial Agama
Buddha, penerbit: Aryasuryacandra, 1991.
2.
Corneles Wowor, M.A., Herman S. Endro, S.H., Dr.
Hudoyo Hupudio, Materi Pokok Pendidikan Agama Buddha Modul 1 – 3,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Terbuka, 1986
3.
…., Kitab Suci Dhammapada, Yayasan
Dhammadipa Arama bagian Penerbitan, Jakarta, 1993
4.
…., Pedoman Pelaksanaan P-4 bagi Umat Buddha,
penerbit: Hanuman Sakti, 1993.
5.
…., Pedoman Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama,
Proyek Pembinaan Kerukunan Umat Beragama, Badan Penelitian dan Pengembangan
Agama, Departemen Agama RI, Jakarta, 1989/1990.
6. Wanasari,
Ida Pedanda Gde Wayahan, PEDOMAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DALAM
PERSPEKTIF HINDU., http://ibgwiyana.wordpress.com/2012/04/03/47/ Diakses 3 Oktober 2014
0 comments:
Post a Comment