Thursday, November 6, 2014

Makna Filosofis Air dan Tirta




Air merupakan sarana yajnya yang penting. Ada dua jenis air yang dipakai dalam yajnya, yaitu: air untuk membersihkan mulut dan tangan; serta air suci yang disebut tirta. Tirta ini pun ada dua macamnya. Pertama, tirta yang didapat dengan memohon kepada Tuhan dan Batara-batari. Kedua, tirta yang dibuat oleh pendeta dengan puja. Tirta itu berfungsi untuk membersihkan kekotoran maupun kecemaran pikiran. Adapun pemakaiannya adalah dengan dipercikkan di kepala, diminum, dan diusapkan di muka, sebagai simbolis pembersihan bayu, sabda, dan idep. Tirta bukanlah air biasa. Tirta adalah benda materi yang sakral dan mampu menumbuhkan perasaan, pikiran yang suci. Itu dasarnya adalah kepercayaan. Tanpa kepercayaan, umat Hindu tidak akan dapat membuktikan bahwa itu bukan air biasa. Tirta adalah sarana agama. Membuktikan kebenaran agama, dasar utamanya adalah kepercayaan. Rasio hanya sebagai pembantu saja. Kalau tirta itu dipandang secara rasional semata, tidaklah lebih daripada air biasa, yang kalau diuraikan secara ilmu kimia adalah H2O, yaitu dua hidrogen dan satu oksigen. Karena itu kesucian tirta hanya dapat dibuktikan kalau dia diyakini sebagai benda agama, di mana di dalamnya terdapat kekuatan spiritual para dewa sebagai manifestasi Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Karena itu umat Hindu, dalam melakukan persembahyangan, sikap yang paling penting ditumbuhkan pada diri sendiri adalah kepercayaan terhadap sarana-sarana tersebut, sebagai pendorong, memperkuat batin terhadap sarana yang memiliki kekuatan magis religius yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Yakinilah bahwa tirta itu adalah wujud nyata karunia Tuhan untuk memberkati hidup kita menuju suci dan bahagia. Unsur rasio dalam memandang tirta itu adalah sebagai pembantu mempersiapkan sarana pembuatannya. Pakailah air yang benar-benar bersih, sehat secara fisik, tidak ada kuman-kuman di dalamnya, tempatnya juga dipakai tempat yang bersih. Demikian pula tangan, bunga, serta alat-alat lain hendaknya alat yang benar-benar bersih secara higienis. Demikian peranan rasio untuk menunjang keyakinan itu. Tidaklah tepat keyakinan itu secara membabi-buta. Siapkanlah segala bahan dan alat-alat yang berhubungan dengan pembuatan tirta itu, yang memenuhi syarat-syarat kesehatan. Kalau hal ini sudah dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan rasional, setelah air itu berstatus menjadi tirta barulah dasar utamanya untuk menghayati kesucian adalah dengan keyakinan. Inilah pola berpikir agama yang dikatakan oleh umat Hindu di Bali berdasarkan pola berpikir “sekala niskala”. Berpikir secara nyata dan tidak nyata, untuk lebih meningkatkan keyakinan kepada tirta. Kata tirta berasal dari bahasa Sansekerta. Kamus Sansekerta-Indonesia yang diterbitkan oleh Pemda Tingkat I Bali menyebutkan arti kata tirta sebagai: pemandian atau sungai; kesucian atau setitik air; toya atau air suci; sungai yang suci; pemandian/sungai/air suci; tempat berziarah; mengunjungi tempat-tempat suci; bersuci dengan air; air suci; pemandian; tempat mandi atau tempat yang dapat diseberangi. Dalam lontar Pariti Agama Tirta disebutkan, “Tirta ngaran amrta,“ artinya tirta adalah hidup (tidak mati). Sedangkan lontar Agama Tirta menyebutkan, “/U/ ngaran uddhakam ngaran gangga, ngaran tirta suci.” Kata uddhaka dalam bahasa Sansekerta artinya ‘laut’. Fungsi laut dalam agama Hindu adalah sebagai tempat penyucian atau tempat pelebur segala kotoran. Dalam lontar Kusuma Dewa Gong Wesi disebutkan, “Salwir bebanten yajnyan matirta tan karyan pedanda putus tan ketampi atuannya.” Artinya: segala sajian (bebanten) kalau tidak disucikan dengan tirta yang dibuat oleh pendeta utama, tidak akan diterima persembahannya. Oleh karena inilah setiap upakara yang disucikan yang digunakan sebagai sarana persembahan, terlebih dahulu dipercikki tirta panglukatan. Istilah panglukatan berasal dari kata lukat dalam bahasa Jawa Kuna, berarti membebaskan. Fungsi tirta panglukatan dan tirta pabersihan merupakan penyucian tahap pertama untuk membebaskan segala sesuatu yang berhubungan dengan upakara keagamaan, dari segala kotoran fisik dan spiritual. Sedangkan tirta pabersihan merupakan suatu keyakinan bahwa segala sesuatu itu benar-benar bersih suci. Tirta untuk melakukan yajnya ada dua jenis, yaitu tirta pabersihan dan tirta wangsuhpada. Tirta pembersihan berfungsi untuk menyucikan upakara (babanten) yang akan dipakai sarana persembahyangan dan juga dipakai untuk menyucikan diri dari segala kekotoran. Tirta pabersihan ini dipergunakan sebelum inti persembahyangan dilakukan. Setelah upakara dan diri sendiri diperciki tirta pabersihan barulah dilangsungkan persembahyangan. Sebagai penutup persembahyangan dipergunakan tirta wangsuhpada dari Ida Batara yang disembah. Tirta wangsuhpada ini adalah lambang karunia atau waranugraha Ida Batara kepada umat yang memuja, berupa amrta, artinya kehidupan yang sejahtera. Selanjutnya tirta dibedakan dari cara memperolehnya, yaitu: tirta yang dibuat oleh sulinggih; dan tirta yang didapat melalui memohon (nuur) oleh pamangku, pinandita, dan dalang/balian/sang yajamana. Pembuatan tirta oleh sulinggih/sang diksita/sang dwijati, khusus untuk tirta pabersihan, sebagai dasar untuk mempergunakan berbagai jenis tirta yang lainnya. Adapun garis besar cara pembuatannya adalah sebagai berikut. Pertama-tama semua bahan atau alat pembuatan tirta dipersiapkan terlebih dulu dalam keadaan bersih dan sehat (higienis). Bahan dan alat-alat tersebut, misalnya, air yang diambil dari tempat yang betul-betul bersih, dhupa dan dipa, asaban cendana, wija (bija), daun alang-alang, dan lainnya. Mula-mula oleh sulinggih (pendeta) air diasapi dan dituangkan pada siwambha disertai dengan puja mantra nama Gangga, kemudian dilanjutkan dengan puja kuta mantra, setelah itu diisi dengan wangi-wangian. Proses berikutnya dengan menulisi air dalam siwambha, memakai bunga, dengan tulisan aksara “Am, Um, Mam” disertai dengan puja tri purusa mantra, dilanjutkan dengan menulis aksara “Im”. Ditulis melintang dari utara ke selatan, air alam siwambha diputar tiga kali, mengarah putaran jarum jam disertai dengan puja amrta saptawaja. Perputaran air tiga kali ini untuk menyatukan unsur-unsur “Am, Um, Mam” ke tengah menjadi “OM”. Adapun aliran air itu ke kanan menunjukkan lambang amrta (air kehidupan). Ada pula tirta didapat dengan jalan nuur oleh pamangku, pinandita, atau dalang/balian/sang yajamana (penyelenggara upacara). Jenis tirta ini disebut tirta wangsuhpada, kekuluh, atau banyun cokor. Kalau tirta itu dimohon di suatu pura atau tempat suci lainnya, di mana telah ada pamangkunya, maka permohonan tirta wangsuhpada, kekuluh, atau banyun cokor itu dilaksanakan oleh pamangku bersangkutan. Selain tirta panglukatan dikenal pula tirta pabersihan yang fungsinya sama dengan tirta penglukatan. Cuma tirta pabersihan merupakan penyucian tingkat lanjut. Kalau tirta panglukatan pemujaan ditujukan kepada Dewi Gangga dan Dewa Siwa, untuk memohon kelepasan segala kekotoran. Sedangkan tirta pabersihan, puja permohonannya ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam fungsi-Nya sebagai pencipta sungai-sungai, lambang penyucian yang bersifat nyata, diciptakan untuk disucikan, mensucikan, dan memelihara kesucian tersebut. Puja pembuatan tirta ini selain ditujukan untuk Dewi Gangga, juga ditujukan untuk Pancadewata dalam lambang Wijaksara sebagai urip bhuwana, sekaligus ditujukan kepada sungai-sungai suci di India sebagai wujud nyata anugerah Tuhan untuk membersihkan secara lahir batin semua unsur yang terkait dengan yajnya. Puja pembuatan tirta pabersihan antara lain: OM Anantasanayanamah, Om Padmasanayanamah, OM, I, Ba,Sa, Ta, A, Mang Ang Ung Namah, OM AUM Dewa Prastisthayanamah, OM Sa Ba Ta A I OM Nama Siwaya, Ang Ung Mang Namah OM Gangga Saraswati Sindhu, Wipasa Kausikinadhi, Yamuna Mahasresta Serayu, ca mahanadhi, OM Ganggadewi mahapunya Ganggasahastra medhini Makna puja tersebut merupakan puja yang lebih meningkatkan kesucian dengan memuja kekuatan suci Tuhan yang diwujudkan dalam tujuh sungai yang dianggap sebagai lambang penyucian di India, yaitu: Sungai Gangga, Saraswati, Sindu, Yamuna, Serayu, Kausaki, dan Mahasresta. Ketujuh sungai lambang ini sering disebut saptatirta di India. Pendeta dalam membuat tirta menggunakan mantram Apsu Dewa, yaitu mantram yang memohon kepada Dewi Gangga supaya menyucikan atau melepaskan segala pengaruh negatif yang berhubungan dengan pelaksanaan upacara itu. Selain itu ada pula pendeta yang menggunakan mantram panglukatan yang lain, untuk panglukatan segala sesajen, dengan mantram: OM Sidhi Guru Srang Sarasat, OM sarwa wighanaya namah, sarwa klesa sarwa roga, sarwa satru, sarwa papa, wisanaya namah swaha. Memperhatikan mantram ini pada hakikatnya bertujuan agar upacara dapat terlepas dari godaan/hambatan, penyakit, cacat, musuh, dan papa supaya lenyap semuanya. Mantram tersebut adalah mantram pembuatan tirta panglukatan yang dibuat oleh pendeta. Sedangkan kalau pembuatan tirta oleh pamangku/pinandita dibuat melalui “memohon kehadapan Dewa Siwa atau nuur” Dewa Siwa yang berstana di Pura Besakih (Gunung Agung). Puja permohonan tirta ini untuk penyucian sesajen dan alat-alat kelengkapan upacara. Adapun puja pembuatan tirta panglukatan untuk hal-hal lain, misalnya tirta panglukatan untuk pitrayajnya, berbeda dengan tirta panglukatan ini. Demikian disebutkan dalam lontar Pitrayajnya. Demikian pula puja panglukatan untuk orang sakit dicantumkan dalam lontar-lontar usada.

sumber: http://www.denpasarkota.go.id

No comments:

Post a Comment