Air
merupakan sarana yajnya yang penting. Ada dua jenis air yang dipakai dalam
yajnya, yaitu: air untuk membersihkan mulut dan tangan; serta air suci yang
disebut tirta. Tirta ini pun ada dua macamnya. Pertama, tirta yang didapat
dengan memohon kepada Tuhan dan Batara-batari. Kedua, tirta yang dibuat oleh
pendeta dengan puja. Tirta itu berfungsi untuk membersihkan kekotoran maupun
kecemaran pikiran. Adapun pemakaiannya adalah dengan dipercikkan di kepala,
diminum, dan diusapkan di muka, sebagai simbolis pembersihan bayu, sabda, dan
idep. Tirta bukanlah air biasa. Tirta adalah benda materi yang sakral dan mampu
menumbuhkan perasaan, pikiran yang suci. Itu dasarnya adalah kepercayaan. Tanpa
kepercayaan, umat Hindu tidak akan dapat membuktikan bahwa itu bukan air biasa.
Tirta adalah sarana agama. Membuktikan kebenaran agama, dasar utamanya adalah
kepercayaan. Rasio hanya sebagai pembantu saja. Kalau tirta itu dipandang
secara rasional semata, tidaklah lebih daripada air biasa, yang kalau diuraikan
secara ilmu kimia adalah H2O, yaitu dua hidrogen dan satu oksigen. Karena itu
kesucian tirta hanya dapat dibuktikan kalau dia diyakini sebagai benda agama,
di mana di dalamnya terdapat kekuatan spiritual para dewa sebagai manifestasi
Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Karena itu umat Hindu, dalam melakukan
persembahyangan, sikap yang paling penting ditumbuhkan pada diri sendiri adalah
kepercayaan terhadap sarana-sarana tersebut, sebagai pendorong, memperkuat
batin terhadap sarana yang memiliki kekuatan magis religius yang bersumber dari
Tuhan Yang Maha Kuasa. Yakinilah bahwa tirta itu adalah wujud nyata karunia
Tuhan untuk memberkati hidup kita menuju suci dan bahagia. Unsur rasio dalam
memandang tirta itu adalah sebagai pembantu mempersiapkan sarana pembuatannya.
Pakailah air yang benar-benar bersih, sehat secara fisik, tidak ada kuman-kuman
di dalamnya, tempatnya juga dipakai tempat yang bersih. Demikian pula tangan,
bunga, serta alat-alat lain hendaknya alat yang benar-benar bersih secara
higienis. Demikian peranan rasio untuk menunjang keyakinan itu. Tidaklah tepat
keyakinan itu secara membabi-buta. Siapkanlah segala bahan dan alat-alat yang
berhubungan dengan pembuatan tirta itu, yang memenuhi syarat-syarat kesehatan.
Kalau hal ini sudah dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan rasional,
setelah air itu berstatus menjadi tirta barulah dasar utamanya untuk menghayati
kesucian adalah dengan keyakinan. Inilah pola berpikir agama yang dikatakan
oleh umat Hindu di Bali berdasarkan pola berpikir “sekala niskalaâ€.
Berpikir secara nyata dan tidak nyata, untuk lebih meningkatkan keyakinan
kepada tirta. Kata tirta berasal dari bahasa Sansekerta. Kamus
Sansekerta-Indonesia yang diterbitkan oleh Pemda Tingkat I Bali menyebutkan
arti kata tirta sebagai: pemandian atau sungai; kesucian atau setitik air; toya
atau air suci; sungai yang suci; pemandian/sungai/air suci; tempat berziarah;
mengunjungi tempat-tempat suci; bersuci dengan air; air suci; pemandian; tempat
mandi atau tempat yang dapat diseberangi. Dalam lontar Pariti Agama Tirta
disebutkan, “Tirta ngaran amrta,“ artinya tirta adalah hidup (tidak mati).
Sedangkan lontar Agama Tirta menyebutkan, “/U/ ngaran uddhakam ngaran gangga,
ngaran tirta suci.†Kata uddhaka dalam
bahasa Sansekerta artinya ‘laut’. Fungsi laut dalam agama Hindu adalah
sebagai tempat penyucian atau tempat pelebur segala kotoran. Dalam lontar
Kusuma Dewa Gong Wesi disebutkan, “Salwir bebanten yajnyan matirta tan karyan
pedanda putus tan ketampi atuannya.†Artinya: segala
sajian (bebanten) kalau tidak disucikan dengan tirta yang dibuat oleh pendeta
utama, tidak akan diterima persembahannya. Oleh karena inilah setiap upakara
yang disucikan yang digunakan sebagai sarana persembahan, terlebih dahulu
dipercikki tirta panglukatan. Istilah panglukatan berasal dari kata lukat dalam
bahasa Jawa Kuna, berarti membebaskan. Fungsi tirta panglukatan dan tirta pabersihan
merupakan penyucian tahap pertama untuk membebaskan segala sesuatu yang
berhubungan dengan upakara keagamaan, dari segala kotoran fisik dan spiritual.
Sedangkan tirta pabersihan merupakan suatu keyakinan bahwa segala sesuatu itu
benar-benar bersih suci. Tirta untuk melakukan yajnya ada dua jenis, yaitu
tirta pabersihan dan tirta wangsuhpada. Tirta pembersihan berfungsi untuk
menyucikan upakara (babanten) yang akan dipakai sarana persembahyangan dan juga
dipakai untuk menyucikan diri dari segala kekotoran. Tirta pabersihan ini
dipergunakan sebelum inti persembahyangan dilakukan. Setelah upakara dan diri
sendiri diperciki tirta pabersihan barulah dilangsungkan persembahyangan.
Sebagai penutup persembahyangan dipergunakan tirta wangsuhpada dari Ida Batara
yang disembah. Tirta wangsuhpada ini adalah lambang karunia atau waranugraha
Ida Batara kepada umat yang memuja, berupa amrta, artinya kehidupan yang
sejahtera. Selanjutnya tirta dibedakan dari cara memperolehnya, yaitu: tirta
yang dibuat oleh sulinggih; dan tirta yang didapat melalui memohon (nuur) oleh
pamangku, pinandita, dan dalang/balian/sang yajamana. Pembuatan tirta oleh
sulinggih/sang diksita/sang dwijati, khusus untuk tirta pabersihan, sebagai
dasar untuk mempergunakan berbagai jenis tirta yang lainnya. Adapun garis besar
cara pembuatannya adalah sebagai berikut. Pertama-tama semua bahan atau alat
pembuatan tirta dipersiapkan terlebih dulu dalam keadaan bersih dan sehat
(higienis). Bahan dan alat-alat tersebut, misalnya, air yang diambil dari tempat
yang betul-betul bersih, dhupa dan dipa, asaban cendana, wija (bija), daun
alang-alang, dan lainnya. Mula-mula oleh sulinggih (pendeta) air diasapi dan
dituangkan pada siwambha disertai dengan puja mantra nama Gangga, kemudian
dilanjutkan dengan puja kuta mantra, setelah itu diisi dengan wangi-wangian.
Proses berikutnya dengan menulisi air dalam siwambha, memakai bunga, dengan
tulisan aksara “Am, Um, Mam†disertai dengan puja
tri purusa mantra, dilanjutkan dengan menulis aksara “Imâ€.
Ditulis melintang dari utara ke selatan, air alam siwambha diputar tiga kali,
mengarah putaran jarum jam disertai dengan puja amrta saptawaja. Perputaran air
tiga kali ini untuk menyatukan unsur-unsur “Am, Um, Mamâ€
ke tengah menjadi “OMâ€. Adapun aliran air itu
ke kanan menunjukkan lambang amrta (air kehidupan). Ada pula tirta didapat
dengan jalan nuur oleh pamangku, pinandita, atau dalang/balian/sang yajamana
(penyelenggara upacara). Jenis tirta ini disebut tirta wangsuhpada, kekuluh,
atau banyun cokor. Kalau tirta itu dimohon di suatu pura atau tempat suci
lainnya, di mana telah ada pamangkunya, maka permohonan tirta wangsuhpada,
kekuluh, atau banyun cokor itu dilaksanakan oleh pamangku bersangkutan. Selain
tirta panglukatan dikenal pula tirta pabersihan yang fungsinya sama dengan
tirta penglukatan. Cuma tirta pabersihan merupakan penyucian tingkat lanjut.
Kalau tirta panglukatan pemujaan ditujukan kepada Dewi Gangga dan Dewa Siwa,
untuk memohon kelepasan segala kekotoran. Sedangkan tirta pabersihan, puja
permohonannya ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam fungsi-Nya sebagai
pencipta sungai-sungai, lambang penyucian yang bersifat nyata, diciptakan untuk
disucikan, mensucikan, dan memelihara kesucian tersebut. Puja pembuatan tirta
ini selain ditujukan untuk Dewi Gangga, juga ditujukan untuk Pancadewata dalam
lambang Wijaksara sebagai urip bhuwana, sekaligus ditujukan kepada
sungai-sungai suci di India sebagai wujud nyata anugerah Tuhan untuk
membersihkan secara lahir batin semua unsur yang terkait dengan yajnya. Puja
pembuatan tirta pabersihan antara lain: OM Anantasanayanamah, Om
Padmasanayanamah, OM, I, Ba,Sa, Ta, A, Mang Ang Ung Namah, OM AUM Dewa
Prastisthayanamah, OM Sa Ba Ta A I OM Nama Siwaya, Ang Ung Mang Namah OM Gangga
Saraswati Sindhu, Wipasa Kausikinadhi, Yamuna Mahasresta Serayu, ca mahanadhi,
OM Ganggadewi mahapunya Ganggasahastra medhini Makna puja tersebut merupakan
puja yang lebih meningkatkan kesucian dengan memuja kekuatan suci Tuhan yang
diwujudkan dalam tujuh sungai yang dianggap sebagai lambang penyucian di India,
yaitu: Sungai Gangga, Saraswati, Sindu, Yamuna, Serayu, Kausaki, dan
Mahasresta. Ketujuh sungai lambang ini sering disebut saptatirta di India.
Pendeta dalam membuat tirta menggunakan mantram Apsu Dewa, yaitu mantram yang
memohon kepada Dewi Gangga supaya menyucikan atau melepaskan segala pengaruh
negatif yang berhubungan dengan pelaksanaan upacara itu. Selain itu ada pula
pendeta yang menggunakan mantram panglukatan yang lain, untuk panglukatan
segala sesajen, dengan mantram: OM Sidhi Guru Srang Sarasat, OM sarwa wighanaya
namah, sarwa klesa sarwa roga, sarwa satru, sarwa papa, wisanaya namah swaha.
Memperhatikan mantram ini pada hakikatnya bertujuan agar upacara dapat terlepas
dari godaan/hambatan, penyakit, cacat, musuh, dan papa supaya lenyap semuanya.
Mantram tersebut adalah mantram pembuatan tirta panglukatan yang dibuat oleh
pendeta. Sedangkan kalau pembuatan tirta oleh pamangku/pinandita dibuat melalui
“memohon kehadapan Dewa Siwa atau nuur†Dewa Siwa yang
berstana di Pura Besakih (Gunung Agung). Puja permohonan tirta ini untuk
penyucian sesajen dan alat-alat kelengkapan upacara. Adapun puja pembuatan
tirta panglukatan untuk hal-hal lain, misalnya tirta panglukatan untuk
pitrayajnya, berbeda dengan tirta panglukatan ini. Demikian disebutkan dalam
lontar Pitrayajnya. Demikian pula puja panglukatan untuk orang sakit
dicantumkan dalam lontar-lontar usada.
sumber: http://www.denpasarkota.go.id
No comments:
Post a Comment