Provinsi Lampung lahir pada tanggal 18 Maret 1964
dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 31964 yang kemudian menjadi
Undang-undang Nomor 14 tahun 1964. Sebelum itu Provinsi Lampung merupakan
Karesidenan yang tergabung dengan Provinsi Sumatera Selatan.
Kendatipun Provinsi Lampung sebelum tanggal 18
maret 1964 tersebut secara administratif masih merupakan bagian dari Provinsi
Sumatera Selatan, namun daerah ini jauh sebelum Indonesia merdeka memang telah
menunjukkan potensi yang sangat besar serta corak warna kebudayaan tersendiri
yang dapat menambah khasanah adat budaya di Nusantara yang tercinta ini. Oleh
karena itu pada zaman VOC daerah Lampung tidak terlepas dari incaran penjajahan
Belanda.
Tatkala Banten dibawah pimpinan Sultan Agung
Tirtayasa (1651-1683) Banten berhasil menjadi pusat perdagangan yang dapat
menyaingi VOC di perairan Jawa, Sumatra dan Maluku. Sultan Agung ini dalam
upaya meluaskan wilayah kekuasaan Banten mendapat hambatan karena
dihalang-halangi VOC yang bercokol di Batavia. Putra Sultan Agung Tirtayasa
yang bernama Sultan Haji diserahi tugas untuk menggantikan kedudukan mahkota
kesultanan Banten.
Dengan kejayaan Sultan Banten pada saat itu tentu
saja tidak menyenangkan VOC, oleh karenanya VOC selalu berusaha untuk menguasai
kesultanan Banten. Usaha VOC ini berhasil dengan jalan membujuk Sultan Haji
sehingga berselisih paham dengan ayahnya Sultan Agung Tirtayasa. Dalam
perlawanan menghadapi ayahnya sendiri, Sultan Haji meminta bantuan VOC dan
sebagai imbalannya Sultan Haji akan menyerahkan penguasaan atas daerah Lampung
kepada VOC. Akhirnya pada tanggal 7 April 1682 Sultan Agung Tirtayasa
disingkirkan dan Sultan Haji
dinobatkan menjadi Sultan Banten.
Dari perundingan-perundingan antara VOC dengan
Sultan Haji menghasilkan sebuah piagam dari Sultan Haji tertanggal 27 Agustus
1682 yang isinya antara lain menyebutkan bahwa sejak saat itu pengawasan
perdagangan rempah-rempah atas daerah Lampung diserahkan oleh Sultan Banten
kepada VOC yang sekaligus memperoleh monopoli perdagangan di daerah Lampung.
Pada tanggal 29 Agustus 1682 iring-iringan armada
VOC dan Banten membuang sauh di Tanjung Tiram. Armada ini dipimpin oleh Vander
Schuur dengan membawa surat mandat dari Sultan Haji dan ia mewakili Sultan
Banten. Ekspedisi Vander Schuur yang pertama ini ternyata tidak berhasil dan ia
tidak mendapatkan lada yag dicari-carinya. Agaknya perdagangan langsung antara
VOC dengan Lampung yang dirintisnya mengalami kegagalan, karena ternyata tidak
semua penguasa di Lampung langsung tunduk begitu saja kepada kekuasaan Sultan
Haji yang bersekutu dengan kompeni, tetapi banyak yang masih mengakui Sultan
Agung Tirtayasa sebagai Sultan Banten dan menganggap kompeni tetap sebagai
musuh.
Sementara itu timbul keragu-raguan dari VOC apakah
benar Lampung berada dibawah Kekuasaan Sultan Banten, kemudian baru diketahui
bahwa penguasaan Banten atas Lampung tidak mutlak.
Penempatan wakil-wakil Sultan Banten di Lampung
yang disebut "Jenang" atau kadangkadang disebut Gubernur hanyalah
dalam mengurus kepentingan perdagangan hasil bumi (lada).
Sedangkan penguasa-penguasa Lampung asli yang
terpencar-pencar pada tiap-tiap desa atau kota yang disebut "Adipati"
secara hirarkis tidak berada dibawah koordinasi penguasaan Jenang Gubernur.
Jadi penguasaan Sultan Banten atas Lampung adalah dalam hal garis pantai saja
dalam rangka menguasai monopoli arus keluarnya hasil-hasil bumi terutama lada,
dengan demikian jelas hubungan Banten-Lampung adalah dalam hubungan saling
membutuhkan satu dengan lainnya.
Selanjutnya pada masa Raffles berkuasa pada tahun
1811 ia menduduki daerah Semangka dan tidak mau melepaskan daerah Lampung
kepada Belanda karena Raffles beranggapan bahwa Lampung bukanlah jajahan
Belanda. Namun setelah Raffles meninggalkan Lampung baru kemudian tahun 1829
ditunjuk Residen Belanda untuk Lampung.
Dalam pada itu sejak tahun 1817 posisi Radin Inten
semakin kuat, dan oleh karena itu Belanda merasa khawatir dan mengirimkan
ekspedisi kecil di pimpin oleh Assisten Residen Krusemen yang menghasilkan
persetujuan bahwa :
1. Radin Inten memperoleh bantuan keuangan dari
Belanda sebesar f. 1.200 setahun.
2. Kedua saudara Radin Inten masing-masing akan
memperoleh bantuan pula sebesar f. 600 tiap
tahun.
3. Radin Inten tidak diperkenankan meluaskan lagi
wilayah selain dari desa-desa yang sampai saat itu berada dibawah pengaruhnya.
Tetapi persetujuan itu tidak pernah dipatuhi oleh
Radin Inten dan ia tetap melakukan perlawananperlawanan terhadap Belanda.
Oleh karena itu pada tahun 1825 Belanda
memerintahkan Leliever untuk menangkap Radin Inten, namun dengan cerdik Radin
Inten dapat menyerbu benteng Belanda dan membunuh Liliever dan anak buahnya.
Akan tetapi karena pada saat itu Belanda sedang menghadapi perang Diponegoro
(1825 - 1830), maka Belanda tidak dapat berbuat apa-apa terhadap peristiwa itu.
Tahun 1825 Radin Inten meninggal dunia dan digantikan oleh Putranya Radin Imba
Kusuma.
Setelah Perang Diponegoro selesai pada tahun 1830
Belanda menyerbu Radin Imba Kusuma di daerah Semangka, kemudian pada tahun 1833
Belanda menyerbu benteng Radin Imba Kusuma, tetapi tidak berhasil mendudukinya.
Baru pada tahun 1834 setelah Asisten Residen diganti oleh perwira militer
Belanda dan dengan kekuasaan penuh, maka Benteng Radin Imba Kusuma berhasil
dikuasai.
Radin Imba Kusuma menyingkir ke daerah Lingga,
namun penduduk daerah Lingga ini menangkapnya dan menyerahkan kepada Belanda.
Radin Imba Kusuma kemudian di buang ke Pulau Timor.
Dalam pada itu rakyat dipedalaman tetap melakukan
perlawanan, "Jalan Halus" dari Belanda dengan memberikan
hadiah-hadiah kepada pemimpin-pemimpin perlawanan rakyat Lampung ternyata tidak
membawa hasil. Belanda tetap merasa tidak aman, sehingga Belanda membentuk
tentara sewaan yang terdiri dari orang-orang Lampung sendiri untuk melindungi
kepentingan-kepentingan Belanda di daerah Telukbetung dan sekitarnya.
Perlawanan rakyat yang digerakkan oleh putra Radin Imba Kusuma sendiri yang
bernama Radin Inten II tetap berlangsung terus, sampai akhirnya Radin Inten II
ini ditangkap dan dibunuh oleh tentara-tentara Belanda yang khusus didatangkan
dari Batavia.
Sejak itu Belanda mulai leluasa menancapkan kakinya
di daerah Lampung. Perkebunan mulai dikembangkan yaitu penanaman kaitsyuk,
tembakau, kopi, karet dan kelapa sawit. Untuk kepentingan-kepentingan
pengangkutan hasil-hasil perkebunan itu maka tahun 1913 dibangun jalan kereta
api dari Telukbetung menuju Palembang.
Hingga menjelang Indonesia merdeka tanggal 17
Agustus 1945 dan periode perjuangan fisik setelah itu, putra Lampung tidak
ketinggalan ikut terlibat dan merasakan betapa pahitnya perjuangan melawan
penindasan penjajah yang silih berganti. Sehingga pada akhirnya sebagai mana
dikemukakan pada awal uraian ini pada tahun 1964 Keresidenan Lampung
ditingkatkan menjadi Daerah Tingkat I Provinsi Lampung.
terimah kasih atas berkunjung ke blog ini.
sumber: http://lampungprov.go.id/sejarah-lampung.html
0 comments:
Post a Comment